Narwastu.id – Kembali Forum Komunikasi Tokoh-tokoh Kristiani Pilihan NARWASTU (FORKOM NARWASTU) menggelar diskusi terbatas bertajuk “Demokrasi dan Implikasi Pilkada Serentak 2017” di Graha Bethel, Jakarta Pusat, pada Kamis malam 9 Februari 2017 lalu. Diskusi yang diawali dengan ibadah dan diakhiri makan malam bersama ini berlangsung menarik dan mencerahkan para peserta. Sehingga peserta diskusi mendapat pendidikan politik seputar pilkada.
Dalam diskusi itu disimpulkan, bahwa tensi politik di negeri ini, terutama di DKI Jakarta, begitu tinggi, sehingga para elite politik kurang peduli lagi pada pilkada di 101 daerah, seperti Banten. Disampaikan juga dalam acara ini, pilkada merupakan aktivitas demokrasi untuk mencari “sopir-sopir” guna memimpin sebuah daerah atau wilayah. Sehingga rakyat mesti berbicara untuk menyampaikan aspirasinya. Sekalipun ada ormas-ormas intoleran dan radikal, kita perlu bicara dan menyampaikan sikap politik kita.
Pemberita Firman Tuhan Pdt. Marihot Siahaan, S.Th, anggota FORKOM NARWASTU dan mantan Sekjen Sinode Gereja Punguan Kristen Batak (GPKB) di awal acara mengambil renungan dari Kitab Roma 11 dan 1 Korintus 27. Dikatakannya, Allah punya kekayaan hikmat luar biasa, dan jalanNya tak bisa kita selami. Sehingga, kata mantan Sekretaris Majelis Pertimbangan PGI Wilayah DKI Jakarta ini, dalam menyikapi keadaan bangsa dan negara ini, kita perlu meminta hikmat Allah.
Dalam enam bulan terakhir ini, ujar Pdt. Marihot, bangsa kita terutama warga DKI Jakarta merasa khawatir dan galau karena ada demo-demo besar yang terkait dengan Pilkada DKI Jakarta. Nah, kita tokoh-tokoh yang tergabung di FORKOM NARWASTU dalam menyikapi Pilkada DKI Jakarta, apakah kita pendukung nomor 1, nomor 2 dan nomor 3, perlu memiliki hikmat Allah. Hikmat Allah itu akan mendatangkan damai sejahtera dan menjadi sebuah keputusan yang tepat.
“Di group WA (WhatsApp) FORKOM NARWASTU kita selalu diingatkan Pak Jonro Munthe (Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi NARWASTU) agar berhati-hati dalam berpendapat dan bijaksana di group WA itu, apalagi terkait soal dukung mendukung di politik. Karena di dalam group WA itu ada pendukung calon gubernur nomor 1, nomor 2 dan nomor 3 dari berbagai partai politik. Dan kita berdoa agar di Pilkada DKI Jakarta suara rakyat itulah yang menjadi suara Tuhan. Dan biarlah kemuliaan Tuhan yang muncul kalau kita sudah berhikmat di dalam menyikapi Pilkada DKI Jakarta,” ujarnya.
“Jika kita takut akan Tuhan dan berserah kepadaNya, maka hikmat Tuhan akan hadir dan mendatangkan damai sejahtera,” pungkas Hamba Tuhan yang melayani di GPKB Pulomas, Jakarta Timur, dan bekas Sekretaris Umum FKKJ (Forum Komunikasi Kristiani Jakarta) ini. Katanya lagi, umat Kristen tak usah takut menghadapi keadaan bangsa saat ini, karena Tuhan akan menunjukkan pemimpin terbaik buat kita.
Pembicara dalam diskusi ini, Pdt. Saut Sirait, M.Th (Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dan pengamat politik), Prof. Dr. Marten Napang, S.H., M.H., M.Si (Pakar hukum dan demokrasi serta Ketua FORKOM NARWASTU) dan moderator plus pembawa acara (MC) Dr. Tema Adiputra (wartawan senior/akademisi). Dan berhalangan hadir pembicara Gregorius Seto Harianto (Tokoh nasionalis dan mantan anggota DPR-RI).
Pdt. Saut Sirait yang juga mantan Wakil Ketua Panwaslu Pusat menerangkan, pilkada di DKI Jakarta unik, karena tensi sebelum pilkada sampai sekarang tinggi. Apakah akan ada jatuh korban atau terhindar jadi korban. Jadi, kata pendeta asal HKBP ini, di sinilah perlu misi para tokoh agama, termasuk gereja untuk menyikapinya. “Di Pilkada DKI Jakarta untuk memenangkan jagoannya sampai dikeluarkan ‘lipan’, ‘ular’ bahkan hoax. Dan ada pula yang mengatasnamakan gereja untuk mendukung jagoannya dan menaikkan doa untuk si calon. Dan ini demokrasi. Bahkan, saat ada Natal di Gedung DPR-RI baru-baru ini, pendeta senior sudah menyebut nama jagoannya lewat mimbar,” pungkasnya.
Padahal, kata Saut Sirait, panitia Natal DPR-RI ada dari PDIP, Partai Gerindra dan Partai Demokrat. “Pilkada atau pemilu ibaratnya sebuah sungai besar yang sedang mengalir. Dan airnya pasti akan sampai di kamar kita, di dapur kita dan perut kita. Kalau airnya kotor, maka bahaya. Air itu ibarat pemilih. Kalau dibiarkan sungai itu kotor, maka dampaknya akan terasa kepada kita. Dan gereja tak bisa membiarkan air itu kotor,” ujar mantan Wakil Sekjen KIPP dan mantan Ketua DPP PUDI itu.
Menurutnya, tugas pemimpin gereja atau pendeta adalah menuntun umatnya di dalam menyikapi calon-calon kepala daerah. “Kalau ada calon-calon kepala daerah yang tampil, mestinya didatangi, dan ditanya apa yang mau dia lakukan kalau ia terpilih, agar diketahui,” paparnya. Sekarang, imbuhnya, banyak orang terlibat transaksi politik. Misalnya, seseorang untuk menjadi anggota dewan, tentu mesti keluar juga uangnya.
“Luar biasa kalau ada anggota dewan yang tak keluar uangnya saat pencalonan. Para gembala harus cerdas dan mengetahui tentang calon-calon kepala daerah, agar umat tahu memilih figur terbaik. Gembala pun mesti menyiapkan kader-kader yang baik,” cetusnya. Prof. Marten Napang menuturkan, menyikapi pertarungan politik di Pilkada DKI Jakarta, kita tentu harus libatkan Tuhan di dalam setiap pergumulan yang kita hadapi itu, karena kita diberikanNya hikmat. “Melihat pilkada di DKI Jakarta yang ketat ini, kita pun pernah melihat pergumulan Yesus di Taman Getsemani. Pergumulan Yesus saat itu begitu hebat, sampai Dia berdoa tiga kali,” ujar Prof. Marten Napang.
Di Pilkada DKI Jakarta, kata Prof. Napang, nama Tuhan juga disebut-sebut untuk memenangkan jagoannya. Ada yang ‘menghunus pedang’ atau mengandalkan kekuatan sendiri, tapi seperti pengalaman Yesus di Taman Getsemani, saat Petrus menghunus pedang, Yesus mengatakan agar ia menyarungkan pedangnya. “Di Pilkada DKI Jakarta kita lihat isu-isu SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) begitu mencekam, dan seolah-olah kebhinnekaan kita sudah punah. Yang memprihatinkan lagi, tim sukses sering membuat masalah,” paparnya.
Menurut Prof. Napang, justru di Pilkada DKI Jakarta ini, orang luar yang membuat masalah. “Dan di pilkada itu perlu diperhatikan aturan kampanye dan pengenalan massa. Dalam dunia politik, Yesus pernah mengatakan, ‘Berikan kepada kaisar apa yang patut diberikan kepada kaisar, dan kepada Tuhan apa yang harus kita berikan kepada Tuhan.’ Dan kita harus terus berdoa agar proses demokrasi di tengah bangsa ini terus berjalan dengan damai dan aman,” ujarnya.
Dalam proses demokrasi ini, imbuhnya, kalau kualitas iman seseorang sudah baik, maka dalam proses demokrasi pun karakternya akan lebih baik. Perlu diperhatikan etika demokrasi di dalam pilkada. Jangan dipaksakan kehendak kepada orang lain, dan jangan orang lain dirugikan. Misalnya, kalau ada pendeta yang terjun berpolitik, etikanya agar jabatan pendetanya dilepaskan dulu. Menurut Prof. Marten Napang lagi, dalam demokrasi, yang namanya pemimpin mesti dikawal konstitusi.
“Dan konstitusi harus mampu melindungi hak-hak minoritas. Demokrasi sebenarnya konsep Kristiani. Yesus mengatakan, Aku datang untuk melayani, bukan untuk dilayani, karena kerajaanNya ada di surga,” tukasnya. Pemerintah adalah pelayan masyarakat. Soal mayoritas dan minoritas, itu mestinya dihitung di dalam penghitungan suara, dan tak dikenal di dalam kehidupan bermasyarakat. “Kalau di DKI Jakarta Ahok (Ir. Basuki Tjahaya Purnama, M.M.) tak terpilih, maka akan banyak masyarakat frustrasi dan jargon Revolusi Mental tidak jalan. Demikian juga kalau ia terpilih, akan ada juga yang mempersoalkannya. Namun kita berharap agar Ahok terpilih supaya program pemerintah berlanjut,” paparnya.
Ir. Soleman Matippanna, S.T. dalam kesempatan itu mengatakan, gereja memang tak bisa menutup mata dalam proses demokrasi ini, termasuk di DKI Jakarta. Dan kita memang masih berproses belajar berdemokrasi. Tina Purba, S.E., M.Si, berpendapat di Pilkada DKI Jakarta banyak orang takut bicara, karena ada kelompok intoleran, padahal dalam berdemokrasi kita mesti bersuara dan tidak bisa takut. Nikson Gans Lalu, S.H., M.H. pun berpendapat calon-calon yang tampil di Pilkada DKI Jakarta ini masing-masing punya ambisi politik, dan seolah-olah ada yang mewakili Kristen.
Halomoan Sianturi, S.H. berpendapat, dalam berpolitik atau berdemokrasi mestinya kita tak perlu takut. Sehingga di sinilah perlu diperhatikan etika berdemokrasi. “Dalam dunia pengacara, tak ada istilah takut, dan kita hadapi setiap persoalan dengan pendekatan hukum,” paparnya. Jhonny Nelson Simanjuntak, S.H. pun mengatakan, dalam menyikapi pilkada kita harus bersuara. Dan kita harapkan agar calon yang terpilih jangan membuat malu karena masalah korupsi, seperti di Toba Samosir, Sumatera Utara.
Sementara Laksma TNI (Purn.) Bonar Simangunsong, M.Sc menuturkan, tokoh-tokoh yang tergabung di FORKOM NARWASTU adalah figur-figur yang wawasan dan pengalamannya di atas rata-rata, dan beda dengan yang lain. “Dan tentu kita harus bisa melihat perkembangan situasi sosial bangsa dan negara saat ini, termasuk Pilkada DKI Jakarta. Kita pun harus bisa berkontribusi di dalam melihat keadaan bangsa dan negara yang kita cintai ini,” ujar mantan Staf Ahli di Dewan Ketahanan Nasional ini.
Sekretaris FORKOM NARWASTU, Sterra Pietersz, S.H., M.H. yang juga mantan anggota DPR-RI dan bekas Sekjen DPP PIKI mengatakan, acara ini diadakan agar tokoh-tokoh Kristiani yang tergabung di FORKOM NARWASTU bisa pula bersikap dan memberi solusi ketika berhadapan dengan event politik, seperti Pilkada DKI Jakarta.
Peserta diskusi di FORKOM NARWASTU kali ini, ada mantan anggota DPR-RI, jenderal purnawirawan, pakar demokrasi, advokat/pengacara, pemimpin gereja, pimpinan ormas, mantan anggota Komnas HAM, jurnalis dan politisi. Juga ada tim sukses dari ketiga calon pasangan Pilkada DKI Jakarta. Diskusi ini menyimpulkan, dalam menyikapi pilkada atau event-event politik kita mesti kedepankan etika demokrasi, arif bijaksana dan utamakan menjaga persaudaraan sekalipun berbeda pilihan, serta mintalah hikmat dari Tuhan kalau memilih calon kepala daerah.
Disampaikan pula di diskusi ini bahwa pemimpin yang diidamkan di negeri ini adalah figur Pancasilais, bisa merawat Bhinneka Tunggal Ika, berjiwa melayani dan punya cita-cita untuk mensejahterakan orang banyak. Selain itu, masyarakat diimbau agar mampu menggunakan media sosial (medsos) secara cerdas dan bertanggung jawab, tidak memancing konflik dan menimbulkan kebencian antarsesama. Acara ini dibuka dengan doa oleh Pdt. Suyapto Tandyawasesa, M.Th, dan ditutup dengan doa makan oleh Drs. Sahrianta Tarigan, M.A. SD