Pada 17 April 2019 menjadi hari bersejarah bagi bangsa Indonesia, sebab di hari itu seluruh rakyat melakukan Pemilihan Presiden/Wakil Presiden RI dan anggota legislatif di Pileg 2019, sebuah momentum untuk menentukan siapa yang akan membawa bangsa ini lima tahun ke depan. Pesta demokrasi ini tentunya harus disambut dengan baik sebagai anugerah Tuhan bagi bangsa kita.
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) telah mengeluarkan Pesan Pastoral bagi Pemilu 2019. Demikian pula Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Dua lembaga keagamaan Kristen dan Katolik ini melihat pentingnya umat Kristiani di Indonesia untuk menyukseskan pesta demokrasi ini.
“Pesta demokrasi ini kita sambut dengan sukacita sebagai anugerah Allah bagi masyarakat Indonesia. Bagi umat Kristen, pesta demokrasi ini juga sesuatu yang tidak terlepas dari iman Kristiani. Sebab, tugas panggilan setiap warga masyarakat, khususnya umat Kristen, adalah bagaimana kita mengusahakan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia,” tegas Ketua Umum PGI, Pdt. Dr. Henriette Hutabarat-Lebang saat jumpa pers di Grha Oikoumene, Jakarta Pusat, pada Senin, 11 Maret 2019 lalu.
Sebab itu, dia mengajak semua unsur dalam masyarakat harus ikut secara aktif dengan pergi ke TPS, jangan lewatkan kesempatan ini, sebab, katanya, kita akan menentukan masa depan bangsa. Kita memilih pemimpin bangsa, dan wakil-wakil rakyat yang diharapkan akan sungguh-sungguh memikirkan masa depan bangsa ini, bagi kemaslahatan semua umat.
Dalam pesan pastoralnya, PGI mengajak gereja-gereja agar mendoakan proses Pemilu 2019 berjalan dengan baik sesuai kehendak Tuhan, mendampingi warga gereja dalam mempersiapkan diri menghadapi pesta demokrasi ini, menyadarkan warga gereja tentang tanggung jawabnya sebagai warga negara dalam ikut menentukan dan membangun masa depan bangsa yang lebih adil, sejahtera dan berkeadaban, meyakinkan mereka bahwa keikutsertaan dalam Pemilu 2019 adalah tindakan iman dan bukan hanya hak konstitusi, serta ikut serta mengawal proses demokrasi ini, serta memastikan bahwa proses ini berjalan baik, transparan, dan damai.
Selain itu, gereja perlu secara serius memotivasi warganya agar mampu bersikap kritis terhadap penyalahgunaan gedung gereja, politik uang, maupun kepentingan primordial atau sektarianisme yang bisa membawa perpecahan internal gereja, dan bahkan perpecahan dalam masyarakat. Hendaknya gedung gereja tidak dijadikan sebagai ajang kampanye demi kepentingan aktor-aktor maupun partai-partai politik mana pun.
Sedangkan kepada warga gereja, MPH PGI mengingatkan agar ikut hadir di Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan menggunakan hak pilihnya secara bertanggunga jawab. Dengan demikian kita meminimalisasi kemungkinan penyalahgunaan kertas suara oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Jangan Golput.
“Kami mendorong seluruh warga jemaat untuk proaktif mencek Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan memastikan namanya tercantum di sana. Jika hendak bepergian hendaknya mengurus Formulir A5 agar dapat mencoblos di daerah yang dituju. Diharapkan seluruh warga gereja dapat memastikan seluruh anggota keluarga, teman kerja, asisten rumah tangga dan orang-orang di sekitar lingkungannya yang telah memiliki hak pilih namun tidak berada di tempat asal pada waktu pemilihan agar segera mengurus Form A5 di kantor KPU kabupaten/kota tempat yang dituju. Jika hendak berlibur pada hari pemilihan agar segera mengurus Form A5 di kantor KPU kabupaten/kota tempat yang dituju. Jika hendak berlibur pada hari pemilihan, kami sarankan untuk berangkat setelah menyelesaikan pencoblosan di TPS,” demikian Pesan Pastoran PGI yang ditandatangani oleh Ketua Umum PGI, Pdt. Henreitte Hutabarat-Lebang dan Sekretaris Umum PGI, Pdt. Gomar Gultom, M.Th.
Dalam menentukan pilihan, menurut PGI, hendaknya merujuk kepada nasihat ketika hendak memilih pemimpin umat, yaitu, ”….carilah dari seluruh bangsa itu orang-orang yang cakap dan takut akan Allah, orang-orang yang dapat dipercaya dan yang benci kepada pengajaran suap…” (Keluaran 18:21). Selain itu, pelajari track record atau rekam jejak para calon, apakah sudah terbukti dalam memikirkan dan melakukan hal-hal yang mensejahterakan seluruh rakyat atau baru sebatas janji-janji. Dan utamakan pemimpin yang memiliki integritas, menghargai kemajemukan, menjunjung hak asasi manusia, kebebasan beragama serta kesetaraan gender, berwawasan lingkungan, jujur dan santun, tidak terindikasi korupsi dan melakukan politik uang, serta berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan dan mengutamakan persatuan bangsa.
Kepada para kontestan, Capres/Cawapres RI dan caleg, PGI mengapresiasi keikutsertaan mereka dalam kontestasi Pemilu 2019 kali ini, yang diyakini oleh PGI sebagai wujud keterpanggilan untuk membangun bangsa ini ke arah yang lebih baik. PGI mengingatkan bahwa kekuasaan adalah sarana untuk melayani. Karena itu, komitmen untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, terutama yang miskin, termarginal dan terdiskriminasi, adalah hal yang mutlak. Hendaklah ada bersikap jujur, menjauhkan diri dari suap maupun penggunaan dana-dana pemerintah, seperti dana bantuan sosial, yang tidak transparan. Mereka juga diingatkan tidak menghalalkan cara-cara yang melanggar hukum atau memanipulasi isu gender, etnik, gereja atau agama yang bersifat sektarian dan primordial sempit demi mengejar kepentingan pribadi dan kelompok.
Sedangkan kepada penyelenggara pemilu dan aparat keamanan, PGI berharap mereka dimampukan untuk melaksanakan mandat ini secara profesional dan bertanggung jawab, jujur, adil, transparan dan tidak memihak. Sebab masa depan demokrasi ini bergantung pada integritas, kejujuran dan komitmen mereka, serta menjaga keamanan agar pesta demokrasi ini dapat berjalan dalam suasana yang kondusif, aman, dan tenteram bagi seluruh warga, terutama mereka yang akan menggunakan hak pilihnya.
Menghidupi, Merawat, dan Mengupayakan
Sementara itu, KWI melihat Pemilu 2019 merupakan panggilan bagi umat Katolik untuk menghidupi, merawat, dan mengupayakan kehidupan demokrasi yang rasional, sehat, dan bermartabat. Sebab itu, terdapat beberapa hal yang baik untuk menjadi perhatian. Pertama, meyakini bahwa politik itu pada dasarnya baik karena sarana untuk untuk kesejahteraan bersama (bonum commune). Politik dalam dirinya sendiri mengandung nilai-nilai luhur, seperti pelayanan, pengabdian, pengorbanan, keadilan, kejujuran, ketulusan, solidaritas, kebebasan, dan tanggung jawab.
Oleh karena itu, dunia politik harus diisi oleh orang-orang yang mempunyai kapasitas, loyalitas, integritas, dan dedikasi yang tinggi dalam mengemban jabatan dan menggunakan kekuasaan. Pemilu harus dilaksanakan dalam batas-batas moral, sehingga kehidupan bersama yang lebih baik akan menjadi kenyataan (bdk. Gaudi Umet Spes No. 74).
Kedua, bangsa ini membutuhkan orang-orang yang cerdas dan baik untuk menjadi pemimpin. Mereka hanya bisa jadi pemimpin kalau kita pilih. Memilih untuk tidak memilih (Golput) sama artinya membiarkan bangsa ini dikuasai oleh siapapun, termasuk orang-orang yang ingin merongrong Pancasila dan meruntuhkan negeri ini. Sebagai warga gereja dan warga negara yang baik, “100% Katolik dan 100% Indonesia”, sudah selayaknya umat Katolik, khususnya orang muda Katolik yang akan menjadi pemilih pemula, memberikan suaranya dalam Pemilu ini.
Ketiga, umat Katolik dipanggil dan diutus oleh Allah untuk menjadi garam dan terang dunia (bdk. Matius 15:13-14). Dalam konteks Pemilu 2019 ini, garam dan terang dunia diwujudkan dengan menjadi pemilih, penyelenggara dan pengawas, serta kandidat. Sebab itu, KWI mengingatkan kepada pemilih untuk mempunyai informasi yang cukup terkait kandidat yang akan dipilih dan partai politiknya, serta mengetahui hal-hal teknis seputar Pemilu 2019, meluangkan waktu ke TPS untuk memberikan suara, mencoblos kartu suara secara benar, dan ikut mengawasi penghitungan suara.
Selain itu, menolak politik uang dengan tidak menerima uang atau barang apapun yang diberikan dengan maksud agar mereka memilih kandidat tertentu, memilih kandidat yang beriman, mengamalkan Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika, memilih kandidat yang berani menolak segala bentuk radikalisme dan intoleransi, memilih kandidat yang dapat memperjuangkan kepentingan umum dan tidak mempolitisasi agama dan suku, memilih berdasarkan suara hati dan bukan karena adanya tekanan dan pesanan tertentu, serta peka dan peduli dengan sesama pemilih, khususnya mereka yang mengalami disabilitas atau keterbatasan lain.
Sedangkan kepada kandidat, KWI mengingatkan agar berkampanye bersih tanpa mengumbar kebencian dan menyebar berita bohong, mempunyai komitmen memperjuangkan kepentingan umum dan Gereja Katolik, mempunyai wawasan ke-Indonesiaan yang memadai dan kemampuan untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa yang saat ini masih ada, setia terhadap Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika, dan bersih dari cacat hukum dan moral.
Sementara itu, terhadap penyelenggara dan pengawas Pemilu (KPU, Bawaslu, DKPP), KWI mengharapkan agar memahami dan melaksanakan secara konsisten Undang-Undang Pemilu serta aturan yang berlaku, bekerja secara profesional dan netral, melayani masyarakat, kandidat, dan partai politik secara baik, memberikan informasi yang cukup dan akurat kepada masyarakat terkait pemilu, serta menegakkan kode etik penyelenggara pemilu secara konsisten.
“Kepada umat Katolik, mengharapkan agar ikut menciptakan suasana aman dan damai, sebelum, pada saat, dan sesudah pemilu berlangsung dengan tidak terprovokasi oleh berbagai ajakan, ajaran, dan tawaran yang mengarah pada munculnya konflik, perpecahan, dan kekerasan dalam masyarakat. Umat Katolik bersikap aktif membangun komunikasi dan kerjasama dengan kelompok dan umat beragama lain karena pesta demokrasi ini menjadi tanggung jawab semua warga masyarakat,” demikian pesan moral yang ditandatangani oleh Mgr. Vincentius Sensi Potokota (Ketua), dan RD. PC. Siswantoko (Sekretaris) dari Komisi Kerasulan Awam KWI. LK