Narwastu.id – Hitungan pesta demokrasi sudah hanya hitungan bulan saja, tetapi konfigurasi calon belum ada gambaran yang jelas. Masing-masing partai sibuk untuk menghitung untung ruginya berkoalisi.
Saling intai siapa mendukung siapa, siapa mendapatkan apa, seolah membuat partai makin intens menjalin komunikasi dengan penuh kehati-hatian. Sebenarnya masing-masing parpol juga saling menunggu, karena saling ketergantungan dengan parpol lain juga tinggi. Penetapan Presidential Threshold 20% membuat parpol tidak leluasa bergerak seperti PDIP. Semua saling menunggu dan mengharapkan mendapatkan rekan koalisi yang setia, jujur dan mempunyai komitmen.
Perjalanan Koalisi Perubahan Persatuan (KPP) juga menarik disimak. Koalisi yang hanya terdiri dari 3 partai saja, proses tercapainya kesepakatan juga tidak cepat. Proses-proses internal mempunyai berbagai tahapan yang harus dilalui dan kemudian kesepakatan dengan 2 partai yang lain juga mempunyai dinamika tersendiri. Sampai hari ini KPP pun belum dapat menentukan cawapresnya karena berbagai faktor internal dan eksternal. Sedangkan 6 partai yang lain, makin tidak mudah untuk koalisi walaupun sudah ada Presiden RI yang “merestui”, namun kepentingan dan pertimbangan internal partai tidak mudah disinkronkan.
Pertimbangan arah anggota partai, efek elektabilitas calon legislatif, pertimbangan cost and benefit juga mewarnai komunikasi politik yang dijalin antarpartai. Sehingga makin besar, makin kompleks juga.
Di antara penggagas koalisi besar yang sementara ini terdiri dari 5 partai, yakni Gerindra, Golkar, PAN, PKB dan PPP juga masih tersimpan banyak masalah. Dari 5 partai tersebut, ada 3 ketum partai sudah menyatakan diri sebagai capres di internal partainya, bahkan KIR (Koalisi Indonesia Raya), Prabowo Soebianto sudah menyatakan sebagai capresnya. Golkar dengan hasil Munas telah menunjuk Airlangga Hartarto sebagai capres.
Belum lagi kalau PDIP yang diundang bergabung juga mengajukan nama capresnya karena PDIP adalah pemenang Pemilu 2019, masalah bertambah panjang.
Koalisi besar yang sekarang sedang menjadi perbincangan dapat dipastikan akan banyak mengalami tarik menarik dan mungkin pada akhirnya masuk dalam bagi-bagi kekuasaan. Partai yang tidak mendapatkan posisi capres atau cawapres pada akhirnya akan minta kompensasi lebih banyak. Dan akhirnya pola pragmatisme akan dipakai juga untuk penyelesaian masalah. Memang tidak mudah untuk membuat kesepakatan pembentukan koalisi atau kerjasama (istilah dari PDIP), karena semua partai mempunyai kepentingan untuk mendapatkan perolehan suara melebihi batasan Parlementary Threshold 4% agar partai tetap eksis di parlemen dan juga dapat menempatkan kadernya di pemerintahan semaksimal mungkin.
Batas waktu untuk memajukan capres dan cawapres masih sekitar 5 bulan lagi, maka makin intens para ketua umum parpol menjalankan komunikasi politik, terutama bagi parpol yang belum jelas arah koalisinya.
Masa Lebaran bisa dianggap sebagai masa persiapan dan konsolidasi internal parpol yang belum menentukan arah koalisi. Dan perkiraan akan lebih nampak arah koalisi dan capres yang diusung oleh parpol sekitar bulan Juni atau Juli tahun ini. Lebih lambat dari Juli akan makin sulit untuk capres yang diusung memperkenalkan diri atau sosialisasi diri. Sehingga para pengamat politik memprediksikan sekitar bulan Juli akan nampak capres yang akan berkontestasi di 2024.
Yang menarik untuk dicermati adalah proses menuju terbentuknya koalisi KIB- KIR dan PDIP. Akan banyak terjadi tarik menarik, dan bahkan koalisi ini dikhawatirkan pada akhirnya tidak terbentuk tetapi akan berbeda konfigurasi akhir yang tidak sama lagi seperti awal pertemuan. Untuk itu mari mulai saat ini para pemerhati perpolitikan dan para cendekiawan dapat mulai melihat secara jeli dari berita-berita di medsos tentang proses sampai terjadinya koalisi besar atau koalisi sangat besar (kalau PDIP masuk di dalam).
Yang terpenting dalam menghadapi pesta demokrasi 5 tahunan, masyarakat dapat riang gembira mensukseskan pesta tersebut. Pesta yang pada hakekatnya adalah harapan baru bagi bangsa Indonesia untuk lebih sejahtera, lebih baik dan lebih berkeadilan.
* Penulis adalah pemerhati masalah politik dan perburuhan, serta Ketua Umum DPN Vox Point Indonesia.