Film “Ngeri-Ngeri Sedap (NNS)” Belajar Jadi Orangtua dan Anak yang Baik

197
Film "Ngeri-Ngeri Sedap" bercerita tentang kehidupan keluarga khas Batak.

Narwastu.id – Film yang mengangkat tentang keluarga dan disuguhkan dengan adat atau budaya tertentu memang tak pernah sepi peminat. Sebut saja salah satu contohnya film “Ngeri-Ngeri Sedap (NNS).” Film besutan sutradara muda cerdas dan inspiratif, Bene Dion Rajagukguk ini bercerita tentang orangtua yang rindu terhadap anak-anaknya yang merantau. Diceritakan bahwa keluarga Domu Purba yang diperankan oleh Arswendy Beningswara Nasution dan Mama Domu dimainkan oleh Tika Panggabean, memiliki empat anak yang terdiri dari Sarma E. Purba (Gita Bhebhita Butarbutar), Domu (Boris Bokir Manullang), Gabe (Lolox) dan Sahat (Indra Jegel). Ketiga putranya tersebut di perantauan sibuk dengan pekerjaannya, sehingga enggan untuk pulang ke tanah kelahirannya di tanah Batak (kawasan Danau Toba), Sumatera Utara.

Suatu saat, Sarma anak perempuan yang tinggal dengan orangtuanya mengabarkan kepada ketiga saudaranya bahwa bapak dan ibunya akan bercerai. Tentang perceraian tersebut rupanya hanya akal-akalan Pak Domu dan istri agar ketiga putranya bersedia pulang ke kampung halaman sekaligus bisa menghadiri pesta syukuran adat khas Batak keluarganya.

Sebetulnya keengganan ketiga anaknya itu ditengarai karena hubungan mereka dengan Pak Domu yang agak tegang. Anak laki-laki pertama, Domu diharuskan Pak Domu menjadi penerus marga malah ingin menikahi seorang gadis Sunda. Hal itu ditentang sang ayah yang percaya bahwa kekasih anaknya itu akan kesulitan beradaptasi dengan budaya Batak.

Sang sutradara muda yang kreatif, Bene Dion Rajagukguk.

Sedangkan Gabe yang adalah sarjana hukum memilih jadi seorang komedian. Dan putra bungsu, Sahat lulusan UGM yang seharusnya mendampingi orangtuanya di kampung sesuai dengan adat Batak justru memilih tinggal dengan Pak Pomo, seorang petani tua. Akhirnya ketiga putranya tersebut pulang dan berharap orangtuanya mengurungkan niat bercerai. Setelah selesai acara makan malam keluarga tidak juga didapatkan solusi, dan anak-anaknya pun mengajak orangtuanya itu menaiki Bukit Holbung dan bicara dari hati ke hati. Di situ Pak Domu meminta agar ketiga putranya membelanya, sebab ia kepala keluarga yang menafkahi selama ini. Sikap suaminya tersebut justru membuat sang istri lelah dan marah karena sikap otoriter Pak Domu.

Namun siapa sangka, rencana perceraian yang awalnya hanya kepura-puraan justru membuat Mama Domu berniat bercerai sungguhan. Ia pun hengkang ke rumah ibunya. Di sana sang ibu menasihatinya bahwa setiap keluarga berbeda, termasuk dalam cara memimpin. Pak Domu akhirnya sadar dan berjuang menemui anak-anaknya dan belajar berbagai hal tentang nilai-nilai kehidupan keluarga. Ternyata calon istri Domu bersedia untuk belajar adat Batak. Sedangkan Gabe sang komedian memiliki kolega yang pengertian, sehingga ia bisa berdamai dengan sang ayah. Sahat pun rupanya adalah orang terhormat di desa Pak Pomo, dan ia disenangi masyarakat. Pak Domu akhirnya bisa memahami keadaan Sahat.

Dari film yang musiknya digarap Vicky Sianipar dengan amat apik ini kita dapat belajar bahwa orangtua tidak selamanya bisa memaksakan kehendak pada anak-anaknya, yang sudah hidup dengan globalisasi. Selama ada komunikasi yang terbuka satu dengan yang lain, maka segala persoalan akan dapat diselesaikan dengan baik. Sedangkan anak-anak seperti diajarkan di dalam Hukum Allah Titah ke-5 mutlak harus menghormati orangtua agar ia berumur panjang dan berkat senantiasa akan menyertai ke mana pun kakinya melangkah. Film keluarga khas Batak ini menarik ditonton. Ada tawa dan tangis ditampilkan, serta ada nilai-nilai kehidupan serta nilai-nilai budaya Batak yang diperkenalkan Bene Rajagukguk yang alumni UGM Yogyakarta. BTY

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here