Narwastu.id – Di dalam Injil Lukas 2:11, 14-16 (TB) ada tertulis: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud. “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang maha tinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepadaNya.” Setelah malaikat-malaikat itu meninggalkan mereka dan kembali ke sorga, gembala-gembala itu berkata seorang kepada yang lain, “Marilah kita pergi ke Betlehem untuk melihat apa yang terjadi di sana, seperti yang diberitahukan Tuhan kepada kita.” Lalu mereka cepat-cepat berangkat dan menjumpai Maria dan Yusuf dan bayi itu, yang sedang berbaring di dalam palungan.
Bila saya membaca ayat-ayat di atas sangat terasa suasana gembira, sukacita, kekompakan kelompok karena berita telah lahir Juruselamat umat manusia. Hubungan manusia dengan Allah yang telah “rusak” oleh dosa, akhirnya akan beres, akan dipulihkan dengan hadirnya Yesus Kristus ke dunia untuk menebus dosa warisan itu. Nah, salah satu poin penting yang juga saya rasakan manakala membayangkan para gembala itu pergi ke Betlehem adalah, ketulusan hati mereka untuk bergerak berangkat. Ya, para gembala itu, yang adalah profesi yang kurang dilirik mata, pada zaman itu ternyata merasakan kebahagiaan dengan dilandasi hati yang tulus.
Berdasarkan kenyataan fakta di atas, saya pun tergerak menarik relevansinya ke zaman kekinian. Timbul pertanyaan besar, apakah ketulusan hati sudah menjadi “barang” yang mahal dan langka pada masa ini?Tuntutan pamrih, harus ada timbal baliknya, relasi transaksional, di area sekuler bahkan di area kerohanian perlu kita beri catatan. Yakni, kedua area tadi tentu pun sudah terkontaminasi dengan mulai tidak hadirnya ketulusan hati.
Mari kita fokus, pada area kehidupan kekristenan/kerohanian kita. Bila “hati yang tulus” sudah mulai tergerus di area ini maka apa yang terjadi? Apa dampak negatifnya. Paling tidak, akan muncul konflik, akan hilang kesehatian, akan runtuh semangat kebersamaan, dan muncul saling curiga. Bayangkan! Bila hal tersebut ada di seluruh aspek kehidupan, maka betapa tidak “enak” hidup dalam situasi tersebut. Maka, penekanan saya dalam hal kita tahun 2020 akan merayakan Natal dan terkoneksi juga dalam merayakan Tahun Baru 2021, untuk dua situasi ini sangat diperlukan hati yang tulus. Merayakan Natal adalah juga menerima pesan bahwa tulus itu tidak mengharapkan balasan balik (pamrih). Allah di sorga dengan tulus mengutus AnakNya yang tunggal untuk menyelamatkan umat manusia. Mari kita tangkap “ketulusan” ini sebagai bagian penting dalam kehidupan rohani kita sepanjang masa.
Pun ketika tiba saatnya merayakan tahun baru, mari dengan tulus hati kita masuki dan nikmati tahun baru tersebut. Bahwa tahun sebelumnya ada banyak kesalahan, dosa, yang merugikan diri kita sendiri, orang lain, dan bahkan mengecewakan hati Tuhan, maka mari kita dengan tulus mohon ampun pada Tuhan. Orang yang tulus pada akhirnya membawa dirinya menjadi orang yang jujur. Orang jujur disayang Tuhan. Maka itu juga berarti berkat-berkat dari Tuhan tidak akan menghindar darinya. Ya, Natal dan tahun baru kita rayakan dengan tulus, maka paradigma hidup kita semakin baik dan benar.
Saya tutup tulisan ini dengan firman Tuhan di Mazmur 37:37-38 (TB), Perhatikanlah orang yang tulus dan lihatlah kepada orang yang jujur, sebab pada orang yang suka damai akan ada masa depan, tetapi pendurhaka-pendurhaka akan dibinasakan bersama-sama, dan masa depan orang-orang fasik akan dilenyapkan.
* Penulis adalah rohaniwan, akademisi, penyiar senior di radio rohani dan anggota pengurus FORKOM NARWASTU.