Narwastu.id – Emanuel Dapa Loka, yang merupakan salah satu pendiri Perkumpulan Wartawan Media Kristiani Indonesia (PERWAMKI) dan pernah jadi Ketua Umum PERWAMKI adalah figur jurnalis cerdas. Selain giat menulis di berbagai media nasional, berkarya di media Kristiani, Eman, begitu ia akrab dipanggil juga giat menulis buku. Buku berjudul “Takdir Manusia Bekerja Bukan Korupsi” adalah salah satu karyanya. Dan beberapa buku yang memotivasi sudah pernah ditulisnya. Eman yang pernah meraih juara dalam sanyembara menulis yang diadakan “Kompas” pernah juga menjadi Ketua Persatuan Wartawan Katolik Indonesia. Dan ia pun termasuk dalam “21 Tokoh Kristiani 2013 Pilihan Majalah NARWASTU.”
Buku “Takdir Manusia Bekerja Bukan Korupsi” yang terdiri dari 9 bab dan tebalnya 212 halaman ini menarik disimak. Dan buku ini bisa dijadikan referensi untuk membahas persoalan korupsi yang marak terjadi di negeri ini. Dalam salah satu tulisannya, Eman menguraikan, ketika lahir ke dunia, setiap manusia sudah membawa serta hasrat atau semangat dan beban sekaligus, Keduanya berasal dari Tuhan dengan harapan sang manusia mengolahnya dalam kehidupan yang menuntut kerja keras dan totalitas ini. Dalam bahasa sosiologi dikatakan, diri manusia merupakan tempat terjadinya dialektika antara hasrat dan beban. Manusia adalah tegangan bolak-balik antara hasrat dan beban. Hasrat bertugas mengantar atau menuntun manusia mencapai visi, sedangkan visi menggerakkan hasrat untuk terus merangsek maju mencapai tujuan.
Dari pengalaman keseharian, proses yang manusia lalui dalam perjuangan memang tidak jarang diiringi “penderitaan.” Namun seperti kata Rasul Paulus dalam Roma 5:3-5, penderitaan semacam ini akan menimbulkan ketekunan. Dan selanjutnya ketekunan menimbulkan tahan uji yang berujung pada pengharapan. Menurut Rasul Paulus, hidup manusia haruslah bermakna. Dalam konteks ini, makna hidup itu ditemukan dalam kerja. “Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah,” begitu ia katakan dalam Filipi 1:22a. Nampak bahwa Paulus mempunyai suatu kesadaran penuh atas arti hidupnya di dunia, yaitu bekerja menghasilkan buah.
Paulus membuktikan perkataannya dengan melakukan perjalanan misi yang panjang dan lama sekali, memberitakan Injil di banyak tempat, mendirikan banyak komunitas Kristen dan rajin mendidik orang dalam spiritualitas Sang Guru. Ya, Paulus tidak hanya omdo alias tidak omong doang. Di mana pun seseorang menjunjung langit, dia pasti berhadapan dengan persoalan. Menuntut persoalan itu untuk menyesuaikan diri dengan kita, tentu saja merupakan sebuah kesia-siaan. Kitalah yang harus menggunakan kecerdasan pikiran dan budi untuk menyiasati keadaan itu. Tidak ada pilihan lain. Ambil sikap sekarang juga, bergerak dan lakukan yang bisa kita lakukan. Bekerja untuk menghasilkan buah.
Ketika menghasilkan delapan buah novel berkelas dunia selama empat belas tahun dalam penjara di Pulau Buru, sastrawan Pramudya Ananta Toer tengah menghadapi soalan besar. Dalam keadaan minim fasilitas dan tekanan batin dan fisik, Pram mampu bekerja tekun penuh keberanian dan kecerdikan melawan kekejaman sipir penjara dan kerja rodi tak berperi kemanusiaan. Tidak bisa dibayangkan semangat apa yang menggerakkan dirinya waktu itu.
Empat buah novelnya Bumi Manusia, Jejak Langkah, Rumah Kaca dan Anak Segala Bangsa ia selesaikan dengan gemilang, dan telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Dengan rekam jejak dalam karya-karya itu, pada tahun 1986, ia masuk nomine pemenang hadiah Nobel bidang sastra. Ia pun mengoleksi aneka penghargaan tingkat internasional atas karya-karyanya itu.
Semua penghargaan itu adalah pengakuan pada karya-karyanya yang bermutu tinggi, kepribadiannya yang tangguh, karakternya yang tak kenal tunduk pada kezaliman. Dia tetap bekerja sepenuh hati dan menjaga martabatnya di tengah keadaan yang teramat sulit. Bagi Pram, sastra adalah kehormatan, dan untuk itu ia bekerja tekun penuh keunggulan. Setiap orang dari bidang keahlian masing-masing harus membangun tekad dan prinsip yang sama. Seorang politikus mestinya berkata, “Politik adalah kehormatan.” Atau seorang pengusaha berkata, “Bisnis adalah martabat” dan seterusnya. Bagaimana dengan kita? Tidak terkecuali. Kerja keras adalah energi dan kehormatan kita. Kita harus berbeda dengan para koruptor. Kerja keras yang para koruptor lakukan hanyalah melatih diri untuk lihai dan lincah agar bisa sesangkil dan semangkus mungkin mengisap keringat dan darah orang lain dan tidak ketahuan.
Kita, manusia bermartabat dan berkehormatan sebaiknya berpeluh karena bekerja. Sekali lagi “takdir” manusia adalah bekerja dan berpeluh, bukan korupsi. Korupsi adalah sebuah kebusukan sekaligus tindakan membusukkan. Bermandi peluh (dan darah) lebih terhormat dan bermartabat daripada melakukan korupsi. Korupsi itu racun mematikan yang bisa membunuh masusia sejagad. Pada gilirannya akan membunuh raga dan jiwa sang koruptor itu sendiri. Ya, takdir manusia adalah bekerja, bukan korupsi. Buku ini menarik disimak, dan bahasanya mudah dicerna. Buku ini pun punya pesan moral supaya setiap insan menghargai kerja keras. Karena kerja keras itu mulia. JS