Narwastu.id – Di benak Pdt. Jimmy Jackson Iskandar tak pernah terbersit untuk menjadi seorang hamba Tuhan. Menjalin kasih kemudian menikahi Mela Febrina, yang sebelumnya beda keyakinan dengannya merupakan tantangan sekaligus titik mula Pdt. Jimmy mengenal Kristus. Berguru rohani kepada Pdt. DR. Jusuf Roni belasan tahun, yang keinginannya sebatas dapat memberi jawab kepada sang istri, malah membawanya lebih dalam pada pengenalannya akan Tuhan. Tanpa dikomando oleh siapa pun, lalu bersama istri dan kedua anaknya ia memutuskan untuk melayani kaum prasejahtera sebagai wujud ucapan syukur sekaligus panggilan hidupnya.
Dan kesehariannya sebagai pengusaha sukses tidak membuatnya lupa akan tugasnya sebagai seorang hamba Tuhan. Hal itu tidak dianggapnya sebagai beban, melainkan sebagai sebuah kepercayaan dari Allah kepadanya. Maka melayani di ladang Tuhan diyakini sebagai sebuah panggilan (calling) bagi hidupnya. “Yesus hanya minta apa yang ada di dirimu, bukan untuk orang lain yang beri ke kita, tapi dimulai dari apa yang ada di dirimu. Ketika sudah mengucap syukur, di situlah terjadi mukjizat,” kata Pdt. Jimmy menjelaskan tentang konsep pelayanan yang memakai analogi 5 roti dan 2 ikan, seperti cerita mukjizat di Alkitab.
Pdt. Jimmy menambahkan, mengerjakan panggilannya sebagai hamba Tuhan harus konsisten dan dibutuhkan komitmen kuat. Sebab, katanya, kalau tidak yakin dengan panggilan kita pasti akan tarik menarik. “Walaupun ada suka duka dan masalah, pasti kita pertahankan. Nggak usah jauh-jauh ketika kita berkeluarga tapi saat kita meragukan, apa iya dia pasangan hidup saya dan mulai ragu. Pasti akan terjadi lebih baik cerai. Tapi, kalau memang ini komitmen untuk hidup semati, walaupun ada badai tapi pasti akan ada jalan keluar,” tegasnya.
Lalu dengan penuh komitmen dan konsisten Pdt. Jimmy memenuhi panggilannya untuk melayani jemaat yang tak diperhitungkan dalam kelas sosial. Dan itu tidak membuat pria yang lahir pada 29 September 1970 ini berkecil hati. Justru tanpa berpikir dua kali, ayah dari Vanessa E. Jackson dan Gabrielle A. Jackson ini langsung mengiyakan untuk melayani GKA jemaat prasejahtera di kawasan Pademangan, Jakarta, yang berjumlah sekitar 50-60 orang yang nyaris akan dibubarkan. “Saya saja dari rambut sampai kaos kaki basah. Tapi, kok, Tuhan beri belas kasihan. Saya seumur-umur tak pernah masuk gang seukuran badan dan gelap. Cuma, kok, teman saya bilang tidak ada yang mau urus,” ujar Pdt. Jimmy menceritakan kisahnya pertama kali melayani.
Sejak itulah pendeta yang pernah mengecap ilmu di STT Apostolos, Jakarta, ini meminta izin kepada Pdt. Jusuf Roni untuk menggelar ibadah setiap minggunya, dan dinamai Pos Pelayanan Calon Jemaat. Ia diberikan waktu selama tiga sampai enam bulan untuk melihat apakah tetap berdiri atau sebaliknya. Dengan penuh semangat dan kerelaan hati, ia melakukan bagiannya yang terbaik. Seperti memberikan makan dan membagikan sembako secara rutin. Kendati tak sepeser pun dana dikucurkan dari kas gereja, tapi hal itu tidak menjadi persoalan untuknya. Walaupun ada saja oknum yang menghembuskan kabar kurang sedap tentang pelayanannya.
Pdt. Jimmy sebagai pengusaha sekaligus Gembala Gereja Murid Yesus, merasa bersyukur, sebab ia ditegur dengan suatu masalah lalu bertobat. Bukan penyakit atau kebangkrutan. Melainkan diberi tantangan agar imannya naik kelas. “Tuhan sangat baik. Saya ingin agar firman Tuhan itu bisa berwibawa. Mengapa? Maaf kalau pendeta-pendeta yang mengharapkan PK (persembahan kasih) akhirnya dia tidak berwibawa karena mengharapkan supaya diundang ulang. Dia nggak berani kasih teguran padahal tujuan firman itu untuk membuat orang bertobat, hanya untuk menghibur orang (entertainment) apalagi kayak stand up comedy,” ujarnya.
“Boleh saja, tapi tolong ada pendalaman ilmu teologinya. Jangan dikutip satu ayat tapi justru itu yang laku. Saya hanya ingin agar firman Tuhan berwibawa, dan saya siap mendukung gereja-gereja kecil yang sederhana, bahkan mendukung pengajaran dan bantuan materi dalam arti mereka punya perbaikan dan segala macam. Karena, saya tidak mau membesarkan organisasi. Apa yang Tuhan berikan kepada saya sudah cukup,” tukas Pdt. Jimmy yang mengaku prihatin dengan apa yang sekarang tengah terjadi di gereja-gereja, bahwa agama menjadi life style dan bukan lagi bicara bobot.
Sebelum melayani sepenuhnya di jemaat Pademangan, selama setahun Pdt. Jimmy melayani anak dan istrinya ibadah di hari Minggu. Untuk Pdt. Jimmy, sangatlah penting anak dan istrinya diberikan pengajaran firman Tuhan secara langsung dan rutin. “Kamu boleh punya uang segunung, tapi apakah anakmu mau dengar firman bapaknya. Karena sehari-hari belum tentu bisa khotbah karena dengan pelajaran sekarang, saya sudah nggak sanggup untuk ajarin mereka, sudah lain kurikulumnya. Yang bisa saya berikan nilai-nilai keimanan. Pendeta-pendeta yang sukses belum tentu anak-anaknya mau dengar firman dari bapaknya. Itu yang buat saya bahagia,” imbuh Pdt. Jimmy.
Pdt. Jimmy menuturkan, ia bersedia berbagi pengajaran dan membantu gereja-gereja kecil sekaligus sebagai seorang hamba harus ia mau diutus sampai ke ujung dunia. “Kalau memang Tuhan yang berkehendak, saya mengalir saja apa yang Tuhan mau seperti di Pademangan itu. Saya nggak pernah tahu dan malah dipercayakan, Tuhan yang beri petunjuklah,” pungkasnya.