Narwastu.id – Sejak Mahkamah Konstitusi (MK-RI) mengabulkan permohonan judicial review Undang-Undang Administrasi Kependudukan 2017 lalu, terlihat adanya kemajuan konstitusional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sudah sekian lama masyarakat dari komunitas penghayat kepercayaan mengalami berbagai perlakuan diskriminasi, dan tidak mendapatkan secara penuh hak-haknya sebagai warga negara yang sepatutnya.
Sebagai manusia yang hidup di satu bumi, tentunya langkah Pemerintah untuk memberikan hak konstitusional kepada warga negara secara setara patut diapresiasi. Persoalannya kemudian adalah pasca putusan MK tersebut, meskipun Penghayat Kepercayaan sudah mendapatkan hak konstitusinya, namun dalam interaksi sosial dan/atau ruang publik masih belum terlihat pengakuan yang setara kepada komunitas penghayat kepercayaan, baik oleh pemerintah maupun organisasi-organisasi sipil lainnya.
Demikian latar belakang dari webinar bertajuk “Rekognisi Penghayat Kepercayaan di Ruang Publik” yang dilaksanakan oleh Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), pada Jumat, 12 Juni 2020 lalu. Webinar yang dipandu oleh Nia Sjarifuddin ini, menghadirkan nara sumber Pdt. Gomar Gultom, M.Th (Ketua Umum PGI), K.H. Imam Pituduh (PBNU), Augustine Dwi (Yayasan Satunama), dan Retno Lastani (MLKI).
Mengawali webinar, Retno Lastani menuturkan, ketika era reformasi, intern penghayat sendiri mulai bangkit, didukung oleh LSM, dan para tokoh agama. Kemudian disahkanlah Undang-Undang Adminduk yang harus diterima meski masih terasa adanya diskriminasi. Sebab itu, rekognisi di ruang publik dibutuhkan para penghayat kepercayaan untuk dapat melaksanakan ibadahnya, bekerja dan bermasyarakat tanpa dikucilkan atau dianggap aneh. Dan mendapatkan image yang setara dengan yang lainnya. Menurutnya, dengan adanya rekognisi ini diharapkan ada perlindungan, dan implementasinya dijalankan dengan konsisten. Sehingga kita bisa hidup bersama-sama dan merasa aman melakukan keyakinan kita masing-masing di ruang publik.
Hal senada disampaikan Augustine Dwi. Dia melihat, rekognisi bagi penghayat kepercayaan memang masih harus diperjuangkan tiada henti, dan melalui jalan panjang. Sebab itu, yang perlu dilakukan adalah kerja bersama, kerja kolaboratif, dan melibatkan kawan-kawan penghayat kepercayaan. “Penghayat kepercayaan sudah lama ada di Indonesia, sebelum zaman modern, sudah ada agama lokal. Dari data yang kita dapatkan ada 190 komunitas penghayat kepercayaan terorganisasi. Pasang surut sudah dijelaskan Bu Retno, dan saya sangat sedih, apa yang dialami teman-teman tidak bisa diterima. Mereka berpikir ini suatu yang primitif, mistik, ghoib, apa yang dilakukan teman-teman penganut kepercayaan menyimpang,” kata Augustine.
Sementara itu, Pdt. Gomar Gultom melihat akar persoalannya ada di UU PMPS Nomor 1 Tahun 1965. Perjalanan sejarah Indonesia seolah-olah dikavling oleh 6 agama yang ada. “Kesimpulan ini cukup valid, perhatikan regulasi yang ada terkait penyebaran agama, misal surat edaran Menteri Agama, keputusan menteri, selalu ditekankan dakwah disebut kepada mereka belum beragama dari ke 6 agama itu. Yang di luar agama itu sah-sah saja didakwah. Dengan kata lain penghayat itu semua dapat dijadikan target dakwah atau misi. Ini fatal yang dilakukan negara dan agama diam,” ujarnya.
Selain itu, adanya sekarang ini budaya atau dekade kerakusan. Hampir tidak ada hari kita tanpa hura-hura, mengumbar amarah, bukan hanya ekonomi tapi juga dalam kehidupan beragama. Akhirnya agama-agama merebut ruang publik. “PGI ikut mendukung adanya judicial review terhadap UU PMPS ini. Bagaimana kerasnya mencabut ini, sayangnya kita dikalahkan, tetapi kita masih ingat, dalam keputusan MK masih sempat Sunda Wiwitan bertemu dengan ketua ditegaskan perlunya eksekutif review dan legislatif review. Ini yang tidak jalan. Tetapi kita ingat 2018, kembali MK menolak gugatan Ahmadiyah yang mengatakan kontitusional tidak diadukan. Dari sini saya mau katakan perlunya jaminan konstitusional, bukan hanya agama juga berkeyakinan,” ujarnya.
Pdt. Gomar mengusulkan untuk tetap dilakukan advokasi dalam legislasi nasional. Di sisi lain, perlu kampanye internal masing-masing agama untuk perlu menghidupi bergama secara substansial, beragama dengan cinta. Berhadapan dengan seluruh umat beragama dapat dihadapi dengan cinta dan kemanusiaan. Sedangkan Imam Pitudu melihat, tantangan yang kita hadapi sekarang ini di era reformasi industri 4.0 di mana percepatan perubahan yang luar biasa, kemanusiaan juga ikut bergerak. Dikhawatirkan orang tidak lagi peduli terhadap agama, relasi antariman, juga bagaimana menjaga kedaulatan pangan. “Adanya tatanan dunia baru, di mana posisi kawan penghayat kepercayaan, sekarang bisa digerus. Local society, jangankan yang seagama, yang berbeda agama dianggap itu menyakitkan, hari ini batuk juga dibenci, langsung dianggap corona,” ujarnya.
Kaitannya dengan rekognisi, menurut Imam, bukan hanya sekadar afirmasi, tapi bagaimana pemerintah menjamin keadilan di tengah keberagaman. “Agama juga mendorong keadilan itu, jika ada agama mengeluarkan fatwa yang tak benar, berarti belum memahami agama. Keputusan pemerintah harus kita tindak lanjuti,” katanya. Imam menambahkan, perlu ada kepastian hukum, dan tidak membuat tafsiran sendiri. Di sinilah kelemahan kita karena tidak ada pemuka agama yang masuk pada regulator. Kita harus berjuang jihad di regulasi, kalau tidak terus menerus judial review. Selain itu, pentingnya komitmen membangun kepercayaan ini penting, kita dorong pemerintah membuat perlindungan. Bagaimana kita juga menjaga keberagaman, beragam caranya, melihatnya secara utuh. VC