Narwastu.id – Lidya Natalia Sartono, S.Pd., M.Pd. yang kini menjabat sebagai Sekjen (nonaktif) DPN Vox Point Indonesia (VPI), karena ia maju sebagi caleg (Kini: Pjs. Sekjen Vox Point Indonesia dipercayakan kepada Ansel Alaman) pernah menuturkan, ia berharap pesta demokrasi atau Pemilu 2019 akan menarik, ramai dan seru. Lidya yang merupakan mantan Ketua Presidium Pengurus Pusat PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) periode 2013-2015 berpendapat, ada beberapa parpol baru yang ikut di Pemilu 2019, dan bisa dibilang partai yang punya masa depan bagus. Parpol itu, katanya, mengerti proses yang benar, sehingga mereka lolos dari verifikasi oleh KPU.
Dan peserta pemilu yang baik harus bisa mengikuti eksekutif dan legislatif. Untuk eksekutif, kata Lidya, masyarakat luas mesti bisa melihat lebih kritis dan mampu memilih siapa yang layak menjadi pemimpin (Presiden RI) lima tahun ke depan. Gadis cerdas dan jelita asal Kalimantan Barat ini melihat masyarakat sekarang sudah mulai kritis, siapa yang akan menjadi pemimpin lima tahun ke depan. Tetapi ada yang mesti dihindari, yaitu jangan sampai nanti membelokkan semangat persatuan kita di dalam pemerintahan.
Sementara untuk legislatif, menurutnya, kita tinggal memilih, dan berharap masyarakat tidak memilih karena urusan money politics atau karena urusan kepentingan diri sendiri dan golongan. “Tetapi harus bisa memilih berdasarkan kepentingan bersama,” tegasnya. Lidya berharap kepada parpol peserta Pemilu 2019 agar memiliki azas yang benar-benar mengarah kepada ideologi Pancasila, meskipun ada partai yang mungkin masih dipertanyakan ideologinya.
“Saya berharap masyarakat bisa melihat parpol-parpol itu. Dan jangan seperti orang bermain judi, menghalalkan berbagai cara, sehingga mengorbankan rakyat Indonesia. Mari kita melihat kepentingan bangsa, bukan kepentingan golongan,” cetus Lidya yang mengikuti pendidikan SD, SMP dan SMK di Kalimantan Barat. Lidya yang mantan Sekretaris Ikatan Mahasiswa Katolik STKIP PGRI Pontianak (2007) berpendapat, parpol yang diharapkan masyarakat itu idealnya, pertama, ketika merekrut anggotanya setidaknya bisa jeli dan kritis.
Dan jangan hanya mementingkan bahwa partainya menjadi besar tetapi mengorbankan kepentingan orang banyak. Parpol itu pun, ujarnya, jangan merekrut orang yang latar belakangnya belum bisa dimaafkan secara hukum di negara ini, maupun secara moral di republik ini. “Untuk urusan apa dia berjuang. Apakah untuk kepentingan masyarakat atau kepentingan pribadi. Dan jangan sampai pula merekrut orang yang hanya ingin besar namanya, tetapi mengorbankan kepentingan rakyat,” tambah Lidya yang juga mantan Seksi Kerohanian di OSIS SMK Budi Luhur Sintang (2002).
Menurut Lidya, mari kita memanage bangsa ini sebaik mungkin. Direktur Pendidikan dan Kesejahteraan Masyarakat NCBI (National Character dan Building Institute) ini menuturkan, “Kita harus mengutamakan semangat gotong royong, dan mengutamakan nilai untuk menjaga keutuhan bangsa. Jangan dalam pesta demokrasi yang diutamakan adalah nilai-nilai SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), dan memunculkan hal-hal yang masa lalu. Sekarang sedang panas-panasnya muncul isu-isu PKI.”
Ia yakin bangsa Indonesia bisa melihat ke depan, dan berpandangan luas dengan kemajuan teknologi sekarang. Indonesia harus membuka diri seluas-luasnya tentang pola pikir kebangsaan, bahwa kita ini bukan hidup di masa lalu. “Tapi kita hidup di masa datang, yang tentunya melihat kemajuan teknologi yang semakin pesat. Jangan pula menggunakan gaya-gaya konvensional yang itu-itu saja, atau mengangkat isu-isu masa lalu,” ujar putri tercinta Helarius Sartono, S.Pd dan Rosalia Yuliana ini.
Kita ini, imbuhnya, bukan manusia zaman dulu, tapi manusia hari ini, yang berpikir maju. “Kita bisa belajar dari negara-negara maju, dan jangan hanya ikut-ikutan. Tapi jadilah bangsa yang move on dari masa lalu,” ujar gadis kelahiran Palla Hilir, 13 November 1988 yang sejak sekolah sudah aktif berorganisasi ini. Lidya yang mantan Bendahara Umum Pengurus Pusat PMKRI menerangkan, pelajaran yang dapat kita petik dari Pilkada tahun 2014-2018, yaitu kurangi cara berpikir untuk menghalalkan berbagai cara untuk memenangkan calon.
“Kita tidak mau melukai orang lain. Kepentingan kita hari ini adalah kepentingan yang matang. Melihat Pilkada kemarin, juga Pileg dan Pilpres 2014, kita tak mau memunculkan isu-isu SARA atau isu lain,” ujar delegasi dari Indonesia di acara pertemuan International Movement Chatolic Student (IMCS) Asia Pasifik di Bangladesh (2012) ini.
“Sebagai bangsa yang maju dan cerdas, mari kita melihat ke depan kepentingan sesama. Bukan kepentingan kelompok. Kita sebagai rakyat biasa mari wujudkan pesta demokrasi yang benar-benar mementingkan kepentingan sesama. Kita mesti utamakan kepentingan bersama, karena bangsa Indonesia yang majemuk. Bangsa kita mesti cerdas, dan bangsa yang fleksibel dengan zamannya. Jadi dengan itu, kita bisa melihat bahwa kebutuhan kita sehari-hari bisa dicapai dengan hasil keputusan hati nurani kita pada saat mengikuti pesta demokrasi,” papar Ketua Delegasi mewakili International Movement Chatolic Students (IMCS) Asia Pasifik pada Kongres International Movement Chatolic Student (IMCS) International di Filipina pada 2015 lalu.
Lidya Natalia Sartono kini masih menekuni studi S3 Ilmu Manajemen Pendidikan di UNJ (Universitas Negeri Jakarta). Sedangkan pekerjaannya sehari-hari mengajar atau dosen di Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta. Dan ia mengajar mata kuliah Teknik dan MIPA.