Pada 2009 silam, Badan Pengurus Wilayah GBI (Gereja Bethel Indonesia) Langkat, Sumatera Utara (Sumut) dan DPD Persatuan Pemuda Batak Dalihan Na Tolu Indonesia Langkat, sudah mengadakan seminar bertajuk “Potret Pemajuan HAM Mengungkap Kasus Begu Ganjang” di Gedung Pertamina, Pangkalan Berandan, dan dihadiri sejumlah aktivis gereja, aktivis LSM dan tokoh masyarakat. Pembahasan dalam seminar itu bisa memberi pencerahan kepada kita untuk mengetahui lebih dalam mengenai begu ganjang santet).
Begu ganjang adalah isu yang akhir-akhir ini cukup ramai dibicarakan masyarakat, dan diberitakan media massa di Sumut, bahkan media nasional. Begu ganjang dalam istilah sekarang berarti: santet. Seseorang bisa dibunuh warga dengan mengerikan bila dianggap memiliki santet. Menurut panitia, seminar ini diadakan untuk mengungkap kasus begu ganjang yang pernah terjadi di Langkat, Sumut, dari perspektif agama dan sosiologis yang keduanya juga membahas dari perspektif hukum dan hak azasi manusia (HAM).
Begu ganjang dibahas pula dari pandangan agama Katolik, Islam, Protestan dan HAM, karena akibat isu begu ganjang ini, banyak kekerasan, intimidasi, pengusiran bahkan pembunuhan seperti yang dialami keluarga Pangihutan Sinambela (almarhum) di Desa Sendayan, Langkat, pada 2007 lalu.
Keluarga Pangihutan Sinambela, seperti kesaksian istrinya, Nurhaida Manurung, diperlakukan tidak adil di desanya, karena dituduh memelihara begu ganjang. Tak hanya itu, rumah mereka dibongkar, dibakar, lalu diusir oleh masyarakat sekitar yang percaya bahwa mereka memelihara begu ganjang. Kepala rumah tangga dalam keluarga ini pun dianiaya warga, hingga Pangihutan meninggal. Padahal, ia tidak terbukti memelihara begu ganjang.
Pangihutan dituding memelihara begu ganjang, karena ia pernah berupaya menyembuhkan seorang pria bermarga Manalu yang sakit dan kesurupan, lalu meninggal. Oleh seorang warga bermarga Ginting, yang mengaku bisa menyembuhkan orang kesurupan, Pangihutan yang dituding membuat Manalu meninggal. Padahal, Manalu meninggal sesaat setelah disuntik seorang bidan desa. Namun oleh warga desa Sendayan, Manalu dipercaya mati karena kuasa begu ganjang yang dipelihara Pangihutan.
Seminar itu diselenggarakan mengingat keadilan dalam kasus pembunuhan terhadap Pangihutan Sinambela, belum berpihak kepada korban. Di mana negara dalam hal ini aparat kepolisian tidak mampu memberi jaminan perlindungan keamanan kepada keluarga korban. Selain itu, para pelaku belum ditangkap dan ini memberikan dampak yang begitu besar terhadap keluarga korban. Padahal, kata panitia, seharusnya aparat kepolisian bisa bertindak profesional dalam memberikan jaminan perlindungan terhadap korban dan keluarganya.
Kata pihak penyelenggara, dari perspektif sosiologis, begu ganjang kerap dijadikan alat untuk melakukan provokasi, intimidasi, pengusiran, bahkan pembunuhan terhadap orang lain. Pembicara yang tampil dalam seminar ketika itu, yakni Drs. Muba Simanihuruk, M.Si (Sosiolog dari USU, Medan), Ustad Ramdan Sah Nasution (Tokoh Islam dan Pengamat Metafisika), dan Pdt. Hulman Simanungkalit, S.Th, M.A. (Dosen STT Seminari Bethel, Medan).
Dalam seminar itu, para pembicara menyimpulkan, dalam suku Batak isu begu ganjang sering dipercaya sebagai sebuah kekuatan, yang konon sanggup mematikan seseorang, sesuatu yang rasanya tidak relevan di saat seperti sekarang. Khususnya bagi pemuka agama Kristen, dan isu atau kasus begu ganjang lebih sering terjadi di tengah-tengah suku Batak yang beragama Kristen. Begu ganjang menjadi masalah besar, karena telah menimbulkan banyak korban.
Menurut Ustad Ramdan Sah Nasution, begu ganjang sama dengan santet. “Begu ganjang pun sama dengan setan, iblis dan siluman dan sering dianggap juruselamat, sehingga ada yang memeliharanya seperti mahluk gaib untuk mencelakakan manusia. Mahluk ini awalnya akan mengabdi kepada manusia yang memeliharanya, namun akhirnya akan memperbudak manusia. Parahnya lagi, jasad orang yang memeliharanya nantinya juga akan diambil oleh mahluk gaib tersebut,” ujarnya. Manusia, kata Ramdan, menginginkan segala sesuatu secara instant. Termasuk untuk meraih kekuasaan secara instant, namun risiko di belakang tidak disadari.
Setan di Masyarakat Batak
Pdt. Hulman Simanungkalit berpendapat, kasus ini memang sangat sulit untuk mendapatkan pembuktian logis. Karena kasus ini adalah supranatural, tidak bisa diselesaikan dengan tuntas, bahkan penyelesaiannya sering dilakukan secara anarkis. Dalam konteks begu ganjang, kata Pdt. Hulman, aktor yang terlibat di dalamnya adalah setan, “Dan kita harus melawan aktornya, bukan manusia yang menjadi agen dari setan itu sendiri. Seperti juga begu ganjang, itu juga nama, yang juga nama setan untuk teritorial Batak.”
“Di dalam Kitab Suci (Alkitab), nama setan ada disebut sebanyak 52 kali. Di dalam bahasa Ibraninya adalah Satan, yang artinya musuh atau lawan. Setan artinya memang sudah musuh, lawan. Jangan lagi dan tidak mungkin kita bersekutu dengan musuh. Kenapa? Karena kita akan menjadi korban-korbannya. Itulah arti dari kata setan. Dalam Kejadian 3:15, Tuhan sudah mengatakan, Aku sudah mengadakan pemusnahan antara Aku dengan engkau. Antara manusia dengan setan. Jadi sejak awal Tuhan memang sudah menentukan bahwa ada permusuhan dengan setan,” tegasnya.
Pdt. Hulman yang pernah tinggal di Pulau Jawa, mengatakan, di Pulau Jawa ada istilah pesugihan. Orang bisa kaya mendadak hanya karena bersekutu dengan setan. “Itu riil. Orang bisa terkenal, punya popularitas, punya jabatan karena bersekutu dengan setan. Jangan kita bilang, itu ilusi. Itu ada, tapi ada risikonya, setan itu akan meminta yang lebih besar kepada orang yang bersekutu dengannya. Hidup kita sudah ada dalam cengkeramannya. Dia juga iblis, dia dari awal kerjanya memfitnah. Dalam istilah kita sekarang ini provokator. Dia juga disebut si jahat yang artinya, karakternya memang jahat,” tuturnya.
Menuru Pdt. Hulman, setan dapat membuat taktik dengan membuat dirinya berubah-ubah. Dia akan selalu menyerang orang-orang dengan sosok apa yang dia sukai di tempat apa saja. Selanjutnya, kegiatannya berkaitan dengan bangsa-bangsa, menipu dan mengelabui bangsa-bangsa, sehingga bangsa-bangsa akan terus terprovokasi, memerangi dan saling serang. Dan itulah cita-cita dari setan.
Ada banyak hukum, peraturan dan ketentuan internasional yang tujuannya adalah menciptakan perdamaian dunia internasional. Tapi setan tidak suka itu, dia akan selalu berusaha untuk menghancurkan dunia yang damai. Mengumpulkan raja-raja untuk senantiasa berperang, menerima anti-Kristus sebagai Juruselamat. Kalau kita dengan sungguh-sungguh mau mendengarkan hati nurani, maka kita tidak akan tergoda untuk melakukan kejahatan. Tapi seringkali setan membutakan hati dan nurani dari manusia. Setan mampu membutakan nurani manusia, menimbulkan sakit fisik, kebutaan, kematian dan penyakit ayan.
Untuk itu, kata Pdt. Hulman, kita harus mewaspadai rancangan-rancangan iblis yang berusaha menyerang manusia. Iblis itu, imbuhnya, seperti singa yang mengaum-ngaum mencari mangsanya. Dengan iman kita harus hadapi dia. “Setan memiliki kekuatan untuk melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh manusia, seperti meramal, memasuki binatang dan sebagaimana yang dilakukan oleh roh jahat. Untuk menangkal itu semua, manusia harus memiliki kualitas iman yang kuat,” paparnya.
Pdt. Hulman berpendapat, begu ganjang sebenarnya adalah setan. Setan yang mempengaruhi dan mengilhami orang-orang Batak untuk melakukan perbuatan yang mencelakakan orang lain melalui kekuatan setan itu sendiri. Sifatnya sama dengan santet. Mengenai kesurupan yang dianggap memberi petunjuk akan adanya pemeliharaan begu ganjang, itu adalah perbuatan setan yang memasuki dan memanfaatkan tubuh manusia untuk memanipulasi sosok dari setan itu sendiri. Adapun aktor utama begu ganjang adalah iblis.
Setan Berupaya Merusak Ciptaan Tuhan
Pdt. Hulman menambahkan, setan yang ingin merusak rancangan Tuhan terhadap penciptaan manusia itu sendiri, sebagaimana halnya iblis pun pernah melakukan hal yang sama dengan menggoda Yesus dengan tiga godaan yang antara lain berupa keinginan daging, keinginan mata dan keinginan roh. Tapi, kata Pdt. Hulman, Yesus mengusir setan tersebut dan melalui karunia yang diberikan kita juga akan mampu menengking setan itu.
“Hal yang terpenting di sini untuk bisa menang melawan kuasa, dan segala tipu muslihat setan adalah terima kuasa dari Yang Maha Kuasa, alami kuasa, alami Firman Tuhan setiap saat, dan jangan membaca bacaan yang mempengaruhi pikiran kita. Tengking setan itu sendiri,” paparnya.
Muba Simanihuruk pun menegaskan dari sisi sosiologis, begu ganjang merupakan dampak yang sangat dahsyat daripada demonisasi, yaitu mempersetankan suatu kelompok, suku atau komunitas untuk menghancurkan musuh itu sindiri, yang berkembang di banyak negara, khususnya Indonesia. “Mengapa demonisasi berkembang begitu subur di Indonesia? Itu terjadi, karena kita masih mengandalkan hal-hal yang irasional, supranatural atau adikodrati dalam menjawab persoalan hidup,” tegasnya.
Menurut Muba, kekuatan-kekuatan gaib dipercaya menjadi jalan untuk menyelesaikan persoalan. Contoh nyata, apabila tidak mendapat rezeki, disuruh berziarah ke makam. “Saya pernah mengunjungi Pulau Telo, salah satu pulau terpencil di Nias. Sebelum saya sampai ke sana, sudah ada peringatan agar tidak memakan sajian penduduk di sana. Terus terang, 10 hari lamanya saya di sana dengan perasaan waswas mengingat apa yang telah disampaikan orang-orang yang berasal dari luar Pulau Telo tersebut,” ujarnya. NU