Narwastu.id – Negeri tercinta kembali dikejutkan dengan aksi para teroris yang melakukan serangan bom bunuh diri di beberapa tempat di tanah air. Gereja dan kantor polisi menjadi sasaran mereka. Korban jiwa berjatuhan, bahkan anak-anakpun termasuk di dalamnya. Kekuatan BOM yang luar biasa. Media sosial sontak ramai dengan berbagai tanggapan, negatif maupun positif. Sejak hari pertama, Twitter, Face Book, Instagram, Whatsapp diramaikan dengan komentar soal bom, teroris, polisi, dan gereja, walau di awal peristiwa ini terjadi netizen sudah diminta untuk tidak men-share foto dan video dari tempat kejadian yang disinyalir justru menjadi tujuan utama para teroris untuk membuat takut dan resah masyarakat.
Sebagai anak-anak Tuhan, bagaimana kita menyikapi peristiwa ini, khususnya lewat media sosial? Peristiwa yang membunuh banyak jemaat gereja yang pagi itu justru akan datang beribadah. Status saya pada tanggal 13 Mei 2018 lalu di Face Book berbunyi seperti ini: “Lepaskan pengampunan bagi siapapun yang merencanakan dan melakukan pemboman di tempat-tempat ibadah pagi ini. Polri akan melakukan bagian mereka untuk kita semua. Stop share foto-foto akibat dari peristiwa tragis tersebut. Tunjukkan kepada mereka bahwa #KamiTidakTakut #GodBlessIndonesia”.
Sebagai seorang Kristen saya merasa itulah reaksi normal saya atas peristiwa tersebut. Tidak ada yang bisa kita buat lagi atas para teroris tersebut, mereka yang tertangkap dan masih hidup, apalagi bagi mereka yang sudah meninggal karena aksi bom bunuh diri itu atau karena ditembak mati aparat keamanan. Rupanya beberapa teman yang notabene juga Kristen, menanggapi status saya tersebut, baik secara langsung merespons status tersebut atau yang menghubungi saya lewat Whatsapp dan kemudian membuat status mereka sendiri di Face Book yang terang-terang mengatakan hal-hal berikut (saya kutip beberapa), “Adalah tugas Tuhan untuk mengampuni para teroris, tapi tugas saya adalah mengirim mereka untuk segera menemui Tuhan”, “Jangan sok suci. Kalau orang tua atau anak Anda yang mati karena peristiwa ini, tidak bakalan ada ayat yang kita tulis di status”, “Mereka harus diganjar hukuman mati karena kebiadaban mereka.”
Inilah yang terjadi saat ini. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar kita, yang mengancam keimanan kita sebagai anak-anak Tuhan, kita sikapi persis sama dengan mereka yang tidak mengenal Tuhan. Status dan komentar-komentar kita di media sosial justru terkesan provokatif. Bahkan, justru banyak dari saudara-saudara yang tidak seiman mengeluarkan pernyataan yang terkesan sejuk, dan yang justru mereka kutip dari ayat-ayat Alkitab, sadar ataupun tidak. Dan apapun bentuk komentar kita di media sosial, di sanalah setiap orang membaca kita secara terbuka sebagai anak-anak Tuhan.
Saya percaya bahwa semua yang terjadi di negeri kita belakangan ini ada dalam sepengetahuan Tuhan. Kita tidak mungkin lagi dapat mengembalikan saudara-saudara seiman kita yang meninggal, karena aksi teroris ini untuk hidup dan ada kembali di tengah-tengah keluarga yang ditinggalkan. Yang dapat kita lakukan adalah menyaksikan kepada mereka yang lain bahwa apa pun yang sudah mereka lakukan atas diri kita, bahkan sampai menimbulkan kematian orang-orang terkasih kita, sebagai anak-anak Tuhan yang mengerti kebenaran, kita dimampukan oleh Tuhan untuk tegar dan bahkan berbalik mendoakan kesejahteraan dan keselamatan mereka.
Seorang ibu yang kehilangan kedua buah hatinya di Surabaya kemarin, mampu mengungkapkan bahwa dia dan suaminya sudah mengampuni pelaku pemboman yang menewaskan kedua anak laki-lakinya. Ibu ini pasti dengan iman yang luar biasa mengatakan itu. Iman dan kasih dari seorang anak Tuhan.
Pertanyaan kemudian, apakah para teroris yang masih hidup tersebut benar-benar sudah tidak lagi punya kesempatan untuk bertemu Tuhan dan menyadari akan kesalahannya tersebut walaupun kelak akhirnya harus juga menerima hukuman dari negara? Mari kita sejenak merenungkan siapa itu Paulus, sebelum dia bertemu langsung dengan Tuhan Yesus. Dia, yang sebelumnya bernama Saulus, adalah seorang yang membenci ajaran Kristen dan gencar mengejar, membakar, dan membunuh anak-anak Tuhan pada masa itu. Jika Paulus hidup pada zaman ini, pastilah dia akan juga diberi gelar teroris.
Tapi Paulus punya kesempatan untuk bertemu Tuhan dan diselamatkan, sehingga kemudian berbalik menjadi seseorang yang secara militan mengasihi Tuhan dan memberitakan InjilNya. Apakah para teroris tersebut bisa kita pastikan tidak akan punya kesempatan yang sama di sisa akhir hidupnya, sehingga kita berhak menuntut mereka untuk segera dihukum mati? Bagaimana mereka kemudian diperlakukan oleh negara akan menjadi tugas aparat keamanan. Tak penting bagi kita untuk menuntut mereka harus diperlakukan ini dan itu. Apalagi keluarga korban bahkan sudah menyatakan bahwa mereka mengampuni para pelaku. Lalu sebagai anak-anak Tuhan, apa yang harus kita lakukan? Bagaiman kita bersikap?
Berdoa
Serahkan keberadaan keluarga korban yang ditinggalkan kepada Tuhan, agar ada kekuatan dan penghiburan bagi mereka untuk menerima dengan tabah kejadian tersebut. Dukung dalam doa para korban yang masih dirawat di rumah-rumah sakit bagi kesembuhan dan pemulihan kesehatan fisik dan psikis mereka. Pemerintah dan para petugas keamanan, petugas kesehatan dan lain-lain yang bekerja keras saat ini pun sungguh membutuhkan dukungan doa anak-anak Tuhan. Terus bawa negeri tercinta Indonesia dalam doa-doa rutin kita setiap hari. Biarlah Allah menyelamatkan dan memulihkan negeri ini.
Doakan juga para teroris di mana pun mereka berada. Biarlah Roh Kudus menjamah hati mereka untuk berbalik dari jalan sesat mereka. Tuhan Yesus mengajarkan agar kita tetap mengasihi musuh kita dan berdoa bagi mereka (Matius 5:44). Seperti banyak orang di negara lain yang menaikkan doa-doa mereka bagi kita di Indonesia, biarlah kita juga terus tekun mendoakan negeri kita sendiri. Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. Apa yang terjadi atas perjalanan hidup Paulus, tidak mustahil terjadi juga bagi para teroris.
Bijaksana
Kita perlu bijaksana saat menyikapi kejadian teror ini. Bijaksana dalam berkata-kata serta bersikap, juga bijaksana berkomentar di media sosial. Jangan mengucapkan kutuk, memaki atau bahkan menuduh. Percayalah bahwa semua terjadi dalam sepengetahuan Allah. Sebagai manusia kita terbatas dalam banyak hal sehingga janganlah dalam keterbatasan itu kita justru salah dalam menanggapi. Menyadari kita hidup di tengah perbedaan, janganlah respons kita justru memperkeruh suasana. Tuhan mengajarkan kita anak-anakNya untuk memberkati orang yang menganiaya kita dan bukan mengutuk mereka (Roma 12:14). Apapun alasannya kita tidak diajarkan untuk membalas kejahatan dengan kejahatan. Percayakan juga penanganan masalah tersebut oleh pemerintah dan aparat keamanan.
Dalam Matius 5:39, Tuhan Yesus mengajarkan agar kita tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Bahkan siapa pun yang menampar pipi kanan kita, diajarkan agar kita memberi juga kepada mereka pipi kiri kita. Apakah kita diminta melakukan suatu perbuatan konyol? Tidak! Justru di dalam kondisi seperti ini kita dituntun tidak hanya diam, tapi melakukan sesuatu sebagai respons positif kita atas peristiwa negatif yang kita alami. Hidup toleransi di antara umat beragama lain perlu kita terus jaga. Justru di sanalah ladang kita menyaksikan kebaikan dan kasih Kristus bagi mereka.
Paulus pernah menyatakan bahwa apa yang baginya dulu merupakan kebanggaan dalam hidupnya sekarang dia anggap sampah. Suatu kebanggaan baginya jika dapat membunuh orang Kristen pada masa itu. Dan hal tersebut saat ini juga yang sedang dilakukan oleh para teroris itu. Dari pernyataan Paulus kita tahu bahwa apa yang saat ini dilakukan oleh mereka sebenarnya adalah perbuatan sampah yang dimungkinkan karena tidak adanya pengenal akan Allah di dalam Kristus Yesus. Sehingga kita tahu bagaimana seharusnya kita menyikapi semuanya.
Kekuatan dahsyat BOM yang mengguncangkan dan membunuh haruslah kita lawan dengan kekuatan DOA yang juga tak kalah dahsyatnya dan didengar Tuhan (Amsal 15:29). Tuhan ada di pihak orang-orang benar dan jauh dari orang-orang fasik. Kita mungkin tidak dapat melawan mereka dengan senjata tapi dengan doa yang adalah senjata rohani, kita akan terus dimampukan untuk tetap berdiri sebagai anak-anak Tuhan yang bukan saja tidak gentar terhadap musuh-musuh kita tapi dapat juga melepaskan pengampunan dan memberkati mereka. Cuitan dan status kita di media sosial seharusnya juga menjadi doa-doa terbuka kita. Bukan sebaliknya menjadi bom bagi orang lain yang membacanya.
- Penulis adalah lulusan Fakultas Komunikasi IISIP Jakarta.