Narwastu.id – Pria asal Poso, Sulawesi Tengah, ini boleh disebut sosok Hamba Tuhan yang langka. Soalnya, sekalipun ia punya keterbatasan fisik, karena tidak bisa melihat (tuna netra), namun semangat juangnya untuk melayani sesama dan mengurus usaha cengkehnya luar biasa. Bahkan, ia masih bisa menyelesaikan S1 dari STT Agape dan S2 di STT Jaffray Jakarta dengan hasil amat memuaskan. Ev. Ritson Manyonyo, M.Th kini punya satu anak dari pernikahannya dengan Christina Silva. Di Yayasan Elsafan yang dipimpinnya ada sekitar 70 orang tunanetra yang dibinanya.
Dan sekarang ada 42 orang tunanetra yang dibinanya. “Ada juga yang hanya buta, autis dan terganggu berbicara. Kalau pada 2016 ini Yayasan Elsafan bisa berusia 10 tahun, itu semua karena anugerah Tuhan. Yayasan ini berdiri pada 7 Februari 2006, dan selama ini aktif sebagai panti sosial, LSB dan balai latihan kerja untuk tunanetra. Dan pada 14 Februari 2016 kami mengadakan sebuah ibadah syukur di Istana Kana, Jakarta Pusat, atas kebaikan Tuhan,” ujar Ev. Ritson yang mulai menderita kebutaan sejak April 1999 lalu, karena penyakit syaraf mata glukoma.
Ev. Ritson menerangkan, ia terjun melayani kaum tunanetra, karena kaum itu sering dianggap remeh dan mendapat penolakan. Padahal banyak tunanetra yang unggul dan mandiri. “Selama ini ada stigma yang muncul di tengah masyarakat bahwa orang cacat, termasuk yang buta adalah kelompok peminta-minta yang harus ditolong sesamanya. Sementara tunanetra pun bisa bekerja seperti orang sehat lainnya,” cetus Ev. Ritson yang juga punya usaha perkebunan cengkeh di Poso. Dan ia mampu membuka lapangan kerja di kampung halamannya itu.
Ev. Ritson yang punya 46 karyawan di Yayasan Elsafan menerangkan, dan enam di antaranya tunanetra, ia punya obsesi agar kaum tunanetra bisa juga menjadi berkat di tengah gereja dan masyarakat. “Ada tunanetra yang sering ditolak masuk sekolah, dan ini menyedihkan. Makanya saya punya obsesi agar kaum tunanetra jangan mendapat diskriminasi. Memang di dunia ini banyak orang yang dapat melihat, namun mata hatinya buta. Kalau kami, mata hati kami bisa melihat,” ujar Ev. Ritson yang terbiasa mengirim SMS (pesan pendek) dan juga bisa membaca media, setelah sebelumnya handphone-nya di-instal kemudian ada program khusus berupa suara untuk membantunya memakai gadget dan membaca di layar komputer.
Dalam pandangan Ev. Ritson, dari data WHO dan ILO di Indonesia ada 24 juta orang cacat, termasuk yang lumpuh dan tunanetra. Di Indonesia kaum tunanetra ada 3,6 juta jiwa, dan di DKI Jakarta hanya ada empat yayasan yang fokus menangani tunanetra, dua dari swasta, salah satunya Yayasan Elsafan dan dua yang dikelola pemerintah. “Jadi kaum tunanetra ini membutuhkan perhatian besar, karena mereka pun orang-orang yang dikasihi Kristus,” tukas pria 38 tahun ini.
Ia berkisah, saat ia merasa dunia ini gelap ketika ia tak bisa lagi melihat ia nyaris putus asa. “Saya pernah marah kepada Tuhan, kenapa saya tidak bisa dipulihkan, padahal ayah saya seorang pendeta,” ujar putra dari pasangan Pdt. Pededa Manyonyo dan Daryana Ancura, yang keduanya sudah dipanggil Tuhan ke sisiNya itu. Namun, kedua orangtuanya itulah yang terus memotivasi Ritson, sehingga ia punya semangat untuk menjalani kehidupan. “Orangtua banyak membentuk saya, baik secara akademik maupun agar peduli pada sosial pelayanan. Mereka juga dipakai Tuhan sebagai motivator bagi saya,” paparnya.
Pernah suatu ketika ia meminta didoakan oleh seorang pendeta terkenal yang kerap muncul di TV. Namun ia kecewa, karena Ritson justru dituding buta karena kebanyakan dosa. Namun melalui perjalanan yang penuh liku-liku dan tetesan air mata, ia terus berjuang dan berdoa meminta kekuatan dari Tuhan. Hingga ia mampu mensyukuri kasih Tuhan terhadap dirinya. Sebelumnya pada 1995 Ritson juga sudah merasakan bimbingan rohani dari keluarga Pdt. DR. Benny Nenoharan dan Pdt. DR. Anna Nenoharan yang juga asal Poso, yang sangat dihormatinya.
Ev. Ritson berpendapat, pasangan Hamba Tuhan itu juga guru rohaninya. “Saya pernah tinggal di rumah mereka. Saya melihat keduanya hamba Tuhan yang sangat tekun berdoa, giat membaca Alkitab dan suka menolong sesamanya. Dan siapapun yang datang ke rumahnya, apapun suku dan asalnya selalu diterima seperti bagian dari keluarganya. Jadi rumahnya ibarat terminal. Dan banyak orang Poso yang ditampung di rumahnya, diberi bekal rohani, diberi makan da dimotivasi. Luar biasa mereka. Mereka Hamba Tuhan yang mau berkorban,” ujarnya.
“Kehidupan mereka sebagai Hamba Tuhan patut diteladani. Hidupnya selalu mengandalkan Tuhan. Dan saya tak lupa dengan kebaikan beliau,” papar Ev. Ritson tentang Pdt. Benny Nenoharan dan Pdt. Anna Nenoharan, yang pernah masuk dalam “Tokoh Kristiani Pilihan NARWASTU.” Sedangkan Pdt. Anna Nenoharan berkomentar, “Ritson itu anak rohani kami yang gigih, cerdas dan moralnya baik, serta semangat misinya luar biasa.”
Anggota jemaat GKI (Gereja Kristen Indonesia) Buaran, Jakarta Timur, yang sering diundang berkhotbah di gereja GBI dan GSJA ini, sehari-harinya selalu melakukan aktivitasnya dengan bantuan tongkat. Dan ia selalu berupaya agar tidak merepotkan orang lain sekalipun ia punya keterbatasan fisik. Di Yayasan Elsafan yang dipimpinnya banyak terjadi mukjizat Tuhan. “Misalnya, anak-anak yang kami bina tadinya punya kesulitan, akhirnya bisa berbicara, bisa berjalan, mandiri dan unggul. Tuhan juga memelihara kami selama 10 tahun ini, dan guru-gurunya Tuhan cukupkan segala kebutuhannya,” paparnya.