Ronald T.A. Simanjuntak, S.H., M.H. memegang pigura penghargaan dari Majalah NARWASTU.

Narwastu.id – Pertemuan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Prof. Mahfud MD, S.H. dan PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) yang dipimpin Pdt. Gomar Gultom, M.Th, beberapa waktu lalu, salah satunya terkait Surat Keputusan Bersama (SKB) 2 Menteri atau Perber tentang Pendirian Rumah Ibadah 2006.  Prof. Mahfud mengklaim, permasalahan pendirian rumah ibadah di sejumlah daerah telah selesai, bahkan dia mengatakan, keadaan di Minahasa Utara dan Karimun juga telah kembali kondusif, serta penuntasannya mengikuti aturan hukum yang ada.

“Itu sebenarnya sudah enggak ada apa-apa, sudah selesai di sana. Jadi itu sudah terjadi kesepakatan antara semua pihak, pihak gereja, pihak bupati, pihak forum umat Islam, forum apa sudah datang ke kantor Menteri Agama dan mereka sudah bersepakat menjaga kondusifitas daerah. Sambil menunggu putusan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), karena di situ semuanya sepakat kembali ke hukum,” ujar Prof. Mahfud di kantornya, pada Kamis (13 Februari 2020). Prof. Mahfud mengatakan, selama ini permasalahan pendirian rumah ibadah bisa diselesaikan dengan baik, hanya saja informasi dan unggahan di media sosial seringkali justru membuat masalah tersebut dibesar-besarkan.

Sementara itu, menurut Pdt. Gomar Gultom, Peraturan Bersama (Perber) Menteri 2006 intinya memfasilitasi sebetulnya. “Itu Peraturan Bersama Menteri untuk memfasilitasi dan memudahkan umat beragama, bukan untuk membatasi,” kata Ketua Umum PGI, Pdt. Gomar Gultom usai pertemuan itu. Pdt. Gomar menilai, dalam perkembangannya sampai saat ini, pemberlakuan SKB 2 Menteri justru membatasi pendirian rumah ibadah. Untuk itu, pihaknya mendorong adanya revisi SKB 2 Menteri tersebut.  “Dalam kerangka inilah kami meminta revisi. Misalnya, sebagai penguatan terhadap pemerintah daerah terhadap kebutuhan umat beragama, juga revisi terhadap posisi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB),” ujar Pdt. Gomar Gultom.

Terkait dengan hal itu, hal senada dikatakan advokat senior dan pakar hukum, Ronald T.A. Simanjuntak, S.H., M.H. Pengacara yang termasuk dalam “21 Tokoh Kristiani 2019 Pilihan Majalah NARWASTU” ini selalu tegas dan konsisten meneriakkan itu untuk direvisi. Menurutnya, jika kita bicara soal mendirikan rumah ibadah, hal itu tak bisa dilepaskan dari konstitusi. Di dalam UUD Pasal 28, Pasal 28E ayat 2 UUD 1945 juga menyatakan, bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu, dalam Pasal 28I ayat 1 UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. “Setiap orang bebas menyelenggarakan kegiatan agama dan kepercayaannya. Rumah ibadah dengan penyelenggaraan ibadah itu tak bisa dipisah,” ujar mantan Ketua Tim Pembela Kemerdekaan Hak Azasi Manusia (TPK-HAM) yang dikenal cerdas dan kritis ini.

Pertemuan Menkolpolhukam RI, Prof. Mahfud MD dengan petinggi PGI di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Menurutnya, permasalahan kita selama ini Pasal 28 itu tidak dijadikan acuan undang-undang dalam pelaksanaan konstitusi, mestinya ada Undang-Undang Perlindungan Terhadap Umat Beragama, bukan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama. “Menyelenggarakan dan menjalankan ibadah itu juga tak bisa lepas dari ibadah,” ujarnya. Oleh karena itu, menurut Ronald, teknisnya harus diatur, dibuat berupa undang-undang.

“Permasalahan kita sekarang ini ada gap, tidak ada undang-undang padahal sudah diatur dalam konstitusi. Atas hal itulah dibuat Perber. Karenanya perlu lagi dibuat pertemuan dengan tokoh-tokoh agama, dibuat kesepakatan bagaimana teknisnya untuk memformulasikan mendirikan rumah ibadah, agar ini jangan nantinya menjadi konflik di lapangan,” ujar pria Batak yang semasa mahasiswa pernah jadi mahasiswa teladan di kampusnya itu.

Ronald menambahkan, permasalahan kita sekarang tak ada undang-undang yang mengatur perlindungan umat beragama. Sebagaimana gereja yang di Karimun, sudah berdiri 92 tahun lalu tetapi didemo, padahal itu hanya untuk renovasi, bahkan gereja itu sudah dianggap cagar budaya. Harusnya masalah seperti itu adalah simbol keberagaman yang juga mesti menjadi tanggung jawab pemerintah setempat.

Lalu, terhadap adanya kelompok yang meminta Perber itu dicabut, ujar Ronald, tak tepat. “Saya kurang sepakat itu dicabut, justru kalau itu dicabut ada kekosongan hukum, dan akan ada potensi timbul banyak masalah. Orang akan sewenang-wenang oleh karena tak ada role yang mengatur,” ujarnya.

“Tentu, jika disempurnakan iya, saya setuju.  Yang paling baik menurut saya presiden harus mengambil langkah tegas, dibuat saja Perpu tentang Perlindungan Umat Beragama, kalau bukan Perpu dibuat Peraturan Pemerintah, dalam hal ini oleh presiden. Jadi Perpu itu bukan lagi seperti yang ada dalam SKB atau Perber yang sekarang,” pungkasnya. Salah satu yang memberatkan, kata Ronald, misalnya persyaratan 60 dan 90, enam puluh orang tanda tangan dari warga di lingkungan rumah ibadah itu berada, dan 90 orang persetujuan dari anggota tempat ibadah tersebut. “Inilah yang membuat kita selama ini terkotak-kotak. Faktanya selama ini sulit mencari orang untuk memberikan rekomendasi,” ujarnya. HM

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here