
Narwastu.id-Baru-baru ini, saya pelayanan ke luar pulau, yakni ke Kota Manado, Sulawesi Utara. Saya ingat-ingat sudah tiga kali saya pelayanan ke kota tersebut dan sekitarnya. Dua momentum dulu itu saya bersama tim ministry dan kami bersiaran di tiga radio rohani sebagai bonus yang kami upayakan, dan yang satu lagi saya pribadi memberi pelatihan kepada kru radio rohani El-Gibbor. Nah, yang baru-baru ini saya ke Manado bersama tim dari kampus pascasarjana profesi sekolah tinggi teologia tempat saya menjadi dosen.
Mengapa judul tulisan saya ini seperti itu? Ya, karena ternyata sangat berhargalah bila kita adakan pelayanan ke luar kota/pulau dan kita berkesempatan bersiaran di stasiun radio setempat. Ini alasan sederhana dan mendasar: Dengan kita bersiaran rohani di radio setempat maka kita telah memberkati kota/pulau itu melalui udara. Dan bila radio setempat juga menggunakan perangkat media sosial untuk menopang siarannya ya, tetaplah dikatakan kita bersiaran menjangkau seluruh Indonesia dan seluruh dunia. Aplikasi YouTube dan audiostreaming sangat besar peranannya. Dan satu hal lagi, biasanya orang-orang Jakarta melayani ke luar kota/pulau akan datang ke gereja atau keluarga tertentu karena diundang untuk berkhotbah. Audiens/jemaat terbatas jumlahnya. Sangat berbeda bila kita “mengudara” menyampaikan khotbah dan sebagainya, maka seluruh penduduk di kota atau pulau itu akan menikmati “berkat” tersebut (bahkan akan lebih besar lagi jumlahnya bila ditopang siaran menggunakan media sosial).
Oh iya, teringat juga saya pada Juli 2019 saya dan tiga sahabat (sama-sama pendeta) pelayanan ke Pulau Nias (Sumut), khususnya kota Gunungsitoli dan sekitarnya. Kami berhasil mendapat jatah siaran di RRI Gunungsitoli dua hari berturut-turut. Hari pertama kami bersiaran untuk segmen remaja. Hari kedua kami bersiaran untuk target audiens umum. Luar biasa senangnya hati kami. Terlebih dibuka dialog/interaktif dengan para pendengar via telepon dan SMS/WA.
Memang sampai saat ini masih ada pandangan di tengah-tengah masyarakat bahwa siaran di radio itu hanyalah biasa-biasa saja. Tidak banyak berdampak. Sudah ketinggalan zaman. Ah, tidak bisa melihat wajah/tampilan si penyiar, ah, hanya mendengar suaranya saja. Dan lain-lain komentar yang sedikit “merendahkan” siaran di radio. Hm…hm…saya mau menegaskan bahwa pandangan tersebut tidak benar.
Radio siaran (broadcasting) tetap hidup dan dinamis. Yang dulu dianggap aplikasi media sosial akan “meruntuhkan” dunia siaran radio, ternyata salah besar. Justru sekarang media sosial dipakai oleh pemilik stasiun radio sebagai “suplemen” (perangkat penopang) sebagai penambah jangkauan siarannya semakin luas; mendunia. Menikmati siaran dari radio saat ini sudah bisa: Di mana saja, kapan saja, oleh siapa saja, dan bisa memakai gadget bukan pesawat radio khusus lagi. Puji Tuhan.
Nah, inilah catatan penting dari saya. Melalui “suara” firman Tuhan yang diberitakan/disiarkan/diudarakan akan berdampak positif luar biasa. Perihal akan terjadi pertobatan hidup dari si pendengar yang hidupnya sudah jauh dari Tuhan, sudah meninggalkan Tuhan atau bahkan belum mengenal Tuhan, maka Roh Kudus akan bekerja di hatinya. Dia akan mendapatkan keselamatan kekal itu. Ya, mari kita renungkan firman Tuhan berikut ini: Kisah Para Rasul 13:49, “Lalu firman Tuhan disiarkan di seluruh daerah itu.” Roma 10:17, “Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.”
* Penulis adalah rohaniwan, akademisi, penyiar senior radio, penulis buku, pencipta lagu rohani, pengamat sosial kemasyarakatan dan anggota pengurus FORKOM NARWASTU.