Hati-hati Bicara di Mimbar Gereja, Jangan Menghina

58
Pdt. Gilbert Lumoindong saat mendatangi mantan Wapres RI Jusuf Kalla dan meminta maaf.
Narwastu.id-Mulutmu harimaumu. Ungkapan tersebut berlaku bagi setiap orang dalam menggunakan mulutnya saat berbicara tentang apapun juga. Kondisi itulah yang dialami pendeta terkenal Pdt. Gilbert Lumoindong, M.Th akibat komentarnya yang dinilai menyinggung zakat dan gerakan shalat umat Islam. Pernyataannya itu dilontarkan ketika dirinya berkhotbah di gerejanya yang bernaung di GBI Glow Fellowship Centre Church, Jakarta, beberapa waktu silam. Dalam video yang beredar di YouTube dan menjadi perbincangan hangat warganet hingga menuai kecaman dari berbagai pihak itu, Pdt. Gilbert memang sudah offside. Bukan rahasia umum lagi bahwa segala sesuatu yang menyangkut isu SARA (suku, agama, ras, antar golongan) adalah persoalan paling sensitif di republik ini. Ingat saja kasus Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok pada 2016 lalu, muncul persoalan serius karena ucapannya.
Namun sebelum Pdt. Gilbert, ayah tiga anak ini dilaporkan pengacara Farhat Abbas ke Polda Metro Jaya, Gembala Sidang GBI Glow Fellowship Centre ini mengambil langkah cepat dengan mendatangi kediaman Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI), Jusuf Kalla yang mantan Wakil Presiden RI. Dalam kunjungannya itu Pdt. Gilbert mengatakan, dirinya tidak bermaksud menghina agama Islam. Ia mengaku tumbuh dan besar di lingkungan Muslim dan belajar agama sewaktu duduk di bangku sekolah dasar. “Tetapi karena jemaat kita ada dua, ada jemaat gereja, ada jemaat online jadi otomatis ada di YouTube kami. Tetapi, itu jelas ada tulisan ibadah Minggu. Jadi, karena itu sama sekali tidak dimaksudkan untuk umum,” terang Pdt. Gilbert.
Menanggapi hal itu Jusuf Kalla mengatakan, ia telah mengingatkan Pdt. Gilbert agar saling menghargai antarumat beragama. “Agama saya agama saya, dan agamamu agamamu. Kita saling menghargai, tapi tidak saling mengkritik ataupun menghina apalagi. Karena itulah, janganlah sebelum meluas, kita harus selesaikan, padamkan. Tadi ia minta maaf, Islam itu pemaaf, jangan lagi. Itu alasannya,” pungkasnya. Selain mendatangi kediaman mantan Wakil Presiden RI itu, Pdt. Gilbert juga menyambangi Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan meminta maaf atas isi khotbahnya yang menimbulkan kegaduhan itu. Respons MUI menerima permintaan maaf Pdt. Gilbert.
“Gilbert telah menyadari bahwa MUI adalah rumah besar umat Islam, sehingga ia hadir untuk memaparkan kronologi dan isi lengkap khotbahnya yang menimbulkan kegaduhan itu. Ia menyatakan tak ada niatan untuk menghina ajaran Islam, apalagi menciptakan perpecahan,” ungkap Cholil.
Akibat dari tindakannya tersebut, tak ayal pendeta berdarah Manado itu pun dilaporkan kepada pihak berwajib atas dugaan penistaan agama. Tentang hal itu secara terpisah Ketua PBNU, Ahmad Fahrur Rozi (Gus Fahrur) menanggapi pelaporan Pdt. Gilbert Lumoindong ke Polda Metro Jaya. “Saya kira tidak perlu dipolisikan. Sebaiknya cukup dengan ia meminta maaf kepada umat Islam. Bila seseorang sudah mengakui bersalah, maka dengan lapang dada kita harus bisa menerima dan memberi maaf. Mungkin ia hanya bercanda dan tidak ada niat melakukan penistaan ajaran agama Islam,” tukasnya.
Terlepas dari kasus tersebut di sini kita dapat belajar bahwa apa yang dikatakan Alkitab tentang lidah benar adanya. “Demikian juga lidah, walaupun suatu anggota kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan perkara-perkara yang besar. Lihatlah, betapapun kecilnya api, ia dapat membakar hutan yang besar (Yakobus 3:5).” Sekalipun perkataan yang dilontarkan dalam khotbah dan tidak ada niatan untuk menyinggung agama lain atau bahkan atas nama guyonan, ada baiknya pengajaran yang diberikan kepada jemaat adalah ajaran-ajaran yang sejuk dan sehat berdasarkan Alkitab.
Kalaupun harus melemparkan candaan tentu harus guyonan yang sehat. Bukan menghina individu, kelompok atau kepercayaan lain. Oleh sebab itu, pemimpin mesti mampu mengendalikan diri kala mengeluarkan kata-kata dan berhikmat. Dan kata-kata pemimpin itu mesti memberikan manfaat dan berkat bagi yang mendengarnya. Sebab sejatinya setiap kita dipanggil untuk menjadi berkat dan bukan menjadi batu sandungan bagi sesama. Kasus Pdt. Gilbert ini patut diperhatikan semua pihak agar dalam memberitakan Injil mesti nama Tuhan yang dimuliakan. Dan, sekali lagi, jangan menghina, karena Tuhan bukan dimuliakan saat kita menghina sesama. Satu hal lagi yang tak kalah pentingnya, pemimpin seperti pengkhotbah  itu mesti cerdas dan bijak memanfaatkan media sosial, seperti YouTube, Facebook, Instagram, Tiktok dan yang lain. Dan di mimbar gereja sampaikanlah hal-hal yang sejuk, sehat, memotivasi dan memuliakan Tuhan. BTY/Dbs

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here