Narwastu.id – Ibu Oditha Hutabarat sangat luar biasa dalam kepemimpinannya, dan ia seorang wanita yang tangguh. Jenjang kariernya dimulai dari Kasubdit Pendidikan Tinggi, sesudah itu pindah di Manokwari, Papua, kurang lebih 8 bulan. Lalu balik dan dipromosikan menjadi Sekretaris Dirjen Bimas Kristen, sesudah itu melompat menjadi Dirjen Bimas Kristen. “Semua urusan di bawah kepemimpinannya tuntas serta menolong banyak sekolah teologi se-Nusantara dalam hal akreditasi. Setiap masa ada orangnya, dan setiap orang ada masanya. Itu statement saya buat Ibu Oditha,” ujar Pdt. Dr. Jerry Rumahlatu, M.Th, cendekiawan Kristen yang juga mantan Rektor STT Jaffray, Jakarta, dan mantan Sekretaris Umum Penjamin Mutu Perguruan Teologi Agama Kristen di Ditjen Bimas Kristen Protestan Kementerian Agama RI. Pdt. Jerry Rumahlatu juga penulis buku “Psikologi Kepemimpinan” dan “Revolusi Mental Jokowi.” Ia juga termasuk dalam “21 Tokoh Kristiani Inspiratif 2017 Pilihan Majalah NARWASTU.”
Terkait dengan Dr. Oditha Rintana Hutabarat, ia pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Bimas Kristen Kemenag RI periode 2013-2016. Setelah ia pensiun tidak berarti Dr. Oditha Rintana Hutabarat (Beliau bukan Pendeta, seperti yang dimuat di Majalah NARWASTU Edisi November 2022. Sekaligus ini ralat) berhenti beraktivitas. Oditha terlahir sebagai praktisi pendidikan. Dan perempuan yang lahir di Bogor, 31 Agustus 1956 itu memang tak bisa jauh dari dunia ajar mengajar. “Kegiatan saat ini menjadi dosen di perguruan tinggi swasta dan negeri, termasuk di STT Wesley Methodist Indonesia (WMI) menjabat sebagai Ketua Penjamin Mutu Internal dan Direktur Pascasarjana di IAKN Kupang,” terang Oditha dalam sebuah perbincangan dengan Majalah NARWASTU.
Tentu bukan tanpa perjuangan jika istri dari Dr. Radjiman Sitopu ini dapat menduduki puncak karier seperti sekarang ini. Ia mengawali kariernya sebagai PNS Ditjen Bimas Kristen Kemenag RI pada tahun 1987. Kemudian ia dipercaya untuk menjadi Kakanwil Agama Provinsi Papua Barat dan menjadi Sekretaris Ditjen Bimas Kristen hingga akhirnya duduk sebagai Dirjen Bimas Kristen pada 2013-2016. Selesai menunaikan tugasnya, lalu ibu yang punya tiga anak dan tiga cucu ini kembali ke dunianya sebagai dosen homebase di STAKN Kupang (sekarang IAKN) dan di STT WMI (Wesley Methodist Indonesia), dan sekarang menjadi dosen swasta/non PNS. Sebagai orang yang pernah menjabat sebagai Dirjen Bimas Kristen ketika ditanya soal penolakan izin pendirian gedung gereja yang terjadi di Cilegon, Banten, Oditha mengatakan, penolakan pendirian gereja karena kesulitan mematuhi persyaratan dalam Peraturan Bersama (Perber) Menag dan Mendagri, khususnya menghimpun sejumlah warga di sekitar yang setuju dan memberikan data identitas berupa KTP. “Pada sisi lain, banyaknya denominasi gereja sekarang 327 induk gereja, yang satu sama lain dogma berbeda, belum dipahami oleh masyarakat secara luas, sehingga seolah-olah bangunan gereja sudah cukup. Padahal, masing-masing denominasi perlu membangun rumah ibadahnya sendiri,” jelas perempuan lulusan Sarjana Teologi dari STT Duta Wacana, Yogyakarta ini. Bicara kebijakan pemerintah dalam izin pendirian rumah ibadah, peraih gelar Magister Teologi Konsentrasi Pendidikan Agama Kristen (PAK) di STT Jakarta ini berpendapat, harus mengacu dan berpedoman pada UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 dan 2. Dengan demikian jelas, bahwa kebebasan beribadah merupakan hak setiap warga negara yang dijamin oleh UUD 1945 dan negara.
Dalam kesehariannya Oditha sedapat mungkin selalu berupaya agar dapat memberi dampak bagi kehidupan orang di sekitarnya. Doktor Konsentrasi PAK dari STT Cipanas, Jawa Barat, tahun 2015 ini pun memiliki obsesi hidup agar dapat menginspirasi bagi banyak orang, terutama kaum perempuan Kristen. Menurutnya, perempuan Kristen sesungguhnya dapat memberi kontribusi, salah satu caranya melalui pendidikan dengan belajar terus sepanjang hayat dan berkarya maksimal yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan gereja. Makanya Oditha pun memiliki keinginan atau cita-cita untuk mengembangkan kualitas sebagai pendidik, sehingga berdampak pada lulusannya.
Ia pun berharap bahwa negara Indonesia dapat maju, adil dan sejahtera. Tidak terkecuali gereja juga bersatu serta bersama-sama menjalankan misi Allah agar mendatangkan kesejahteraan lahir dan batin bagi Indonesia.
Baru-baru ini, Oditha mengikuti sebuah acara wisuda di STT WMI di Jakarta. Dan kala itu ada 17 wisudawan yang terdiri dari Sarjana Teologi sebanyak 10 orang, Sarjana Musik satu orang, dan Magister (S2) sekitar lima orang. Meskipun yang diwisuda sedikit, namun STT WMI selalu mengutamakan kualitas bagi lulusannya. Tak dipungkiri bahwa STT WMI yang didirikan oleh dr. Hosea Kurniadi dan Rev. Dr. Peter Auh itu lebih mengedepankan kualitas daripada kuantitas. “Memang kami menyeleksi ketat dan lebih mengutamakan untuk calon-calon hamba Tuhan, baik untuk di lingkungan Gereja Methodist Indonesia maupun interdenominasi,” terang Dr. Oditha Hutabarat selaku Ketua Penjamin Mutu Internal di STT WMI.
Sekadar tahu tentang sekolah tinggi teologia ini, yang menarik para mahasiswa STT WMI sejak awal hidup dalam lingkungan asrama. Tujuannya selain dibina dengan penuh kedisiplinan juga diajarkan untuk hidup saling tolong menolong melalui kebersamaan. “Jadi mereka dididik secara mental rohani, karakter dan harus bisa memasak, berbagi dan sebagainya. Penggemblengan tersebut mulai dari asrama sampai ke perkuliahan. Kami juga memiliki program di setiap weekend dengan mengirimkan mereka ke berbagai gereja untuk membangun dirinya bersama orang lain di luar kampus,” tukas Oditha.
Para lulusan STT WMI selain dididik oleh para pengajar yang memiliki kompetensi dan integritas yang telah teruji juga terus mengembangkan diri dengan menjalin kerjasama dengan Perguruan Tinggi Negeri khusus untuk Agama Kristen, Pemerintah maupun dengan luar negeri, seperti Amerika Serikat, Korea Selatan, Thailand dan sebagainya. Terlebih saat ini STT WMI juga tengah mempersiapkan kurikulum Merdeka. Menurut Oditha, hal itu sesuai dengan yang dicanangkan Mendikbud agar mahasiswa yang berminat dalam satu bidang tertentu bisa menempuh pendidikan di tempat lain yang adalah mitra STT WMI. “Tujuan kami adalah bermisi. Sebab itu, kami ingin mencetak hamba Tuhan yang kuat dalam bermisi, tidak hanya untuk internal Gereja Methodist Indonesia tapi juga harus keluar. Itulah mengapa kami harus bekerjasama baik dengan instansi pemerintah, PTN maupun negara di Asia dan Amerika karena memang ada permintaan untuk calon-calon misionaris,” ujarnya.