Pater Dr. Otto Gusti, SVD: Gereja Tidak Diutus untuk Melayani Dirinya Sendiri

182
Pater Dr. Otto Gusti Madung, SVD (kiri) saat memaparkan materi dalam seminar, dengan dipandu Albertus Muda Atun, S.Ag (kanan).

Narwastu.id – Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, Maumere, Kabupaten Sikka, Provinsi NTT (Nusa Tenggara Timur), Pater Dr. Otto Gusti Madung, SVD menegaskan, gereja tidak diutus untuk melayani dirinya sendiri, melainkan untuk menjadi berkat bagi semua manusia apa pun latar belakangnya dan bagi alam semesta ciptaan Allah. Inilah sejatinya model misi atau pelayanan yang terbuka terhadap dunia. “Jika tidak demikian, gereja akan menghabiskan sumber daya yang ada padanya dan gagal menjadi kabar baik bagi lingkungannya,” ucap Pater Otto Gusti saat menjadi pembicara dalam seminar yang bertopik “Mengembangkan Pastoral Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan” di Gereja Santu Arnoldus Janssen Waikomo (SAJW), Dekenat Lembata, Keuskupan Larantuka, pada Minggu, 12 Juni 2022 lalu. Moderator yang memandu seminar itu Albertus Muda Atun, S.Ag., Guru SMAN 2 Lewoleba, dibantu dua orang notulis, yakni Frater Roy Telupun, dan Vian Telupun.

Seminar itu diselenggarakan dalam rangka merayakan 100 Tahun SVD Berkarya Misi di Tanah Lembata. Seminar dihadiri 150 orang utusan dari 17 Paroki se-Dekenat Lembata, Ketua DPP SAJW Wens Muga Wutun, Ketua Panitia Markus Labi Waleng, Wakil Ketua Marsel Aluken, Sekretaris Freddy Tokan, dan Pater Frans Soo, SVD yang mewakili Deken Lembata. Hadir mewakili JPIC Provinsi Ende adalah Pater Miky SVD, Pater Eman SVD, Pater Eman Embu SVD, dan Pater Vande Raring, SVD. Koresponden Majalah NARWASTU untuk NTT, Karolus Kia Burin melaporkan, dalam seminar itu Pater Otto mengawali paparan materinya dalam seminar dengan mengutip pandangan Paus Fransiskus, yang mengatakan, “Saya lebih bersimpati pada gereja yang rapuh, terluka dan kotor karena menceburkan diri ke jalan-jalan ketimbang sebuah gereja yang sakit lantaran tertutup dan mapan mengurus dirinya sendiri.”

Menurut Pater Otto Gusti, gereja tidak boleh menarik diri dari dunia, tapi harus masuk ke tengah dunia. “Gereja harus menjadi gereja misioner. Itu berarti, gereja harus mewartakan sabda Allah yang membebaskan. Ia harus mampu mendengarkan jeritan para tawanan, menyembuhkan yang sakit, mengadvokasi para korban yang dirampas hak-haknya, dan menurunkan semua yang congkak dari singgasana kekuasaan termasuk singgasana imperium ekonomi yang dibangun di atas piramida korban manusia,” papar Pater Otto dalam nada kritis.

Keterlibatan misioner gereja ini harus dibangun atas basis spiritualitas yang kokoh, yakni iman akan inkarnasi. “Lewat peristiwa inkarnasi, Putera Allah telah mengundang kita menuju revolusi cinta yang mesra,” demikian Pater Otto Gusti, merujuk pada EG88. “Yesus adalah seorang revolusioner, dan sekaligus panutan satu-satunya bagi semua orang Kristen,” tegas Pater Otto Gusti.

 

HAM Tak Dapat Dihilangkan

Pastor kelahiran Lengko Elar, Manggarai Barat, Flores, 20 Mei 1970 ini menekankan pentingnya seluruh elemen bangsa dan negara untuk menghargai hak azasi manusia (HAM). Dia menjelaskan, Undang-Undang Nomor 39/1999 tentang Hak Azasi Manusia mendefinisikan HAM sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 ayat 1 UU No. 39/1999).

Sedangkan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia melihat HAM sebagai hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan, yang tak boleh dirampas atau diabaikan oleh siapa pun. “HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia karena kemanusiaannya. Karena itu, hak-hak asasi manusia bersifat kodrati dan keberadaannya mendahului sebuah institusi negara. Keberadaan HAM tidak bergantung pada faktor-faktor kontingen seperti asal-usul, ras, jenis kelamin, bangsa dan agama,” ungkap Pastor Otto Gusti yang meraih gelar doktoralnya di Jerman.

Karena bersifat kodrati, lanjut Pater Otto Gusti, HAM tidak dapat dihilangkan atau dinyatakan tidak berlaku oleh negara. Negara dapat saja tidak mengakui hak-hak asasi itu. Tetapi, hak-hak asasi tidak dapat dituntut di depan hakim, dan itulah yang menentukan, hak-hak itu tetap dimiliki. “Orang boleh saja merampas jam tangan saya, tapi jam tangan tersebut tetap milik saya. Karena itu hak-hak asasi seharusnya diakui. Negara yang tidak mengakui hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia, menunjukkan bahwa dalam negara itu martabat manusia belum diakui sepenuhnya,” ujar Pater Otto Gusti memberikan ilustrasi mengenai HAM.

Pater Otto Gusti mengatakan, melalui HAM, tuntutan moral yang prapositif masuk ke dalam hukum positif. Jadi, HAM adalah titik simpul antara moral politik dan hukum positif, yang bertujuan memanusiakan penyelenggaraan kekuasaan demi terwujudnya kesejahteraan sosial. Otto Gusti Madung mulai belajar filsafat pada STFK Ledalero tahun 1991. Pada tahun 1994, ia meneruskan studi teologi di “Philosophisch-Theologische Hochschule St. Gabriel, Mödling bei Wien, Austria dan mencapai gelar “Magister der Theologie” tahun 1999. Dia ditahbiskan menjadi imam pada bulan Juli 1999. Pada Juli 1998 hingga September 2000 menjalankan praktik diakonat dan bekerja sebagai imam pembantu di sebuah paroki di Kota Wina-Austria. Pada Oktober 2000 hingga akhir September 2001 bekerja pada Institut Sosial Jakarta: Sebuah LSM milik Serikat Jesuit yang bergerak di bidang advokasi masyarakat miskin Kota Jakarta.

Pada akhir 2001 hingga Februari 2008 belajar filsafat pada “Hochschule für Philosophie, München, Jerman. Tanggal 8 Februari 2008 mempertahankan tesis doktoral berjudul “Politik und Gewalt. Giorgio Agamben und Jürgen Habermas im Vergleich” – “Politik dan Kekerasan. Sebuah Studi Perbandingan tentang Giorgio Agamben dan Jürgen Habermas.” Disertasinya ini diterbitkan di Utz Verlag, München 2008.

Saat ini, Pastor Otto Gusti bekerja sebagai pengajar Filsafat dan HAM di STFK Ledalero. Dia diangkat dan dilantik sebagai Ketua STFK Ledalero sejak Agustus 2018. Buku-buku karyanya antara lain “Politik; Antara Legalitas dan Moralitas”; “Politik Diferensiasi versus Politik Martabat Manusia”;  “Post-Sekularisme, Toleransi dan Demokrasi”. Ketiga buku i ini diterbitkan oleh Penerbit Ledalero. Pater Otto pun giat menulis di media massa baik lokal dan nasional, serta menulis untuk sejumlah jurnal ilmiah. VMN

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here