Narwastu.id – Banyak faktor pemicu sehingga sebuah rumah tangga akhirnya bubar di tengah jalan. Penyebabnya bisa bermacam-macam, mulai dari adanya ketimpangan financial antara suami dan isteri, ekonomi yang morat-marit, ditengarai oleh orang ketiga, bahkan karena persoalan keturunan dan sebagainya. Yang jelas, merajut hubungan antara dua anak manusia yang berlainan jenis dalam satu mahligai pernikahan bukanlah perkara mudah. Terlebih dalam pernikahan kekristenan yang berpegang pada prinsip Alkitab seperti yang tertulis di Kitab Injil Matius 19:6, ”Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang sudah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”
Namun karena berbagai penyebab, seperti yang disebutkan itu atau justru di luar hal-hal lain ditambah dengan komunikasi yang tidak berjalan sebagaimana mestinya membuat persoalan yang ada bertambah pelik. Apalagi jika persoalan terus berlarut-larut tanpa ada penyelesaian sehingga tidak menutup kemungkinan di kedua belah pihak mengalami tawar hati. Tentang tawar hati yang bisa saja terjadi dalam sebuah pernikahan dibahas secara mendalam lewat seminar secara virtual yang diadakan oleh Yayasan Duta Pembaharuan pada Sabtu, 22 Januari 2022 lalu. Pdt. Chang Khui Fa selaku Passionate Marriage Mentor yang didapuk sebagai pembicara dalam seminar tersebut mengatakan, mengapa seseorang bahkan pasutri dalam relasi pernikahannya dapat mengalami hati yang tawar, yakni keadaan tiada rasa, hambar, beku, dingin, tak berdaya apa-apa, kehilangan optimisme dan apatis. Ada beberapa tahapan dalam pernikahan, yaitu young love (usia pernikahan 1-2 tahun), realistic love (3-10 tahun), confortable love (11-25 tahun), renewing love (26-35 tahun) dan transcendent love (36 tahun ke atas). Tentu pada tahapan tersebut setiap pasangan mengalami berbagai macam perasaan dan situasi yang nyaman atau sebaliknya. Namun terlepas dari kondisi tersebut pendeta yang berdomisili di Bandung ini memberi saran kepada para pasutri (Pasangan suami istri) untuk mencoba hal sebagai berikut. Pertama, kemampuan mengampuni dan menerima pasangan apa adanya. Kedua, kecakapan beradaptasi dan fleksibel dalam situasi yang tidak terkendali. Ketiga, strategi mengatasi kebosanan kehidupan pernikahan. Keempat, keyakinan bahwa tetap akan bersamanya segelap apapun situasi yang dialami. “Seperti yang dikatakan dalam Pengkhotbah 9:9, nikmatilah hidup dengan isteri yang kau kasihi seumur hidupmu yang sia-sia. Intinya tetap optimis sebab ini adalah sebuah proses dan harus diperjuangkan bersama-sama kedua belah pihak,” tegas pendeta berdarah Tionghoa ini semangat.
Lebih lanjut ia menambahkan agar hal tersebut bisa berjalan sebagaimana mestinya, harus menjadikan Yesus yang utama dan terutama. “Pertama, membangun relasi dengan Tuhan. Analoginya seperti Daud yang pernah mengalami situasi yang terjepit karena rakyat hendak melemparinya dengan batu. Tetapi Daud menguatkan kepercayaannya kepada Tuhan, Allahnya (1 Samuel 30:6). Kedua, membangun relasi dengan pasangan. Dan jika dua orang padamu di dunia ini sepakat meminta apapun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh BapaKu yang di sorga (Matius 18:19). Ketiga, membangun relasi dengan anak-anak,” jelas pendeta yang sudah berhasil mencetak tiga buku ini.
Di akhir seminar tersebut ia kembali mengingatkan bahwa Tuhan menjadi dasar dari pernikahan Kristiani, yakni menikahlah dengan yang seiman dan sepadan, pernikahan yang monogami, suami menjadi kepala dan isteri penolong yang sepadan, mengadakan family altar, serta menjadi God’s partner. BTY