Praktik Pungli di TPU Covid-19 Cikadut (Bandung) Dikecam PGI 

52
Jangan ada yang cari untung dalam pemakaman korban virus Covid-19.

Narwastu.id – Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dalam siaran persnya yang dikeluarkan pada Minggu, 11 Juli 2021, menyatakan keprihatinan sekaligus mengecam keras kasus pungutan liar (pungli) yang terjadi di TPU khusus Covid-19 Cikadut, Bandung, Jawa Barat, pada Selasa, 6 Juli 2021 lalu. Menurut PGI, perilaku petugas pemakaman sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan, terutama di saat seruan solidaritas kebangsaan sedang giat dikumandangkan oleh pemerintah dan semua pemuka agama untuk menanggulangi pandemik Covid-19.

PGI pun mengapresiasi sikap cepat dan tanggap Gubernur Jawa Barat Ridwal Kamil dan Kapolda Jabar Irjen Pol. Ahmad Dofiri yang telah mengambil tindakan tegas terhadap para pelaku pungli tersebut. PGI berharap kasus ini tidak terulang bukan hanya di Jawa Barat tapi di seluruh Indonesia. Hendaknya setiap elemen masyarakat dijauhkan dari tindakan tidak bermoral untuk mencari untung atau keselamatan sendiri di tengah bencana kemanusiaan yang dahsyat ini. Atas kejadian tersebut PGI berharap pemerintah pada semua jenjang dapat memperketat pengawasan serta terus-menerus memperkuat edukasi dan literasi mengenai hak-hak dan kewajiban masyarakat yang menjadi korban Covid-19, di antaranya pembiayaan penanganan pasien dan korban Covid-19 yang sepenuhnya disubsidi pemerintah. PGI juga meminta supaya semua pelayanan RS dan pemakaman serta fasilitas layanan pasien Covid-19 lainnya dilakukan tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama dan ras.

Sebagaimana diketahui, kasus ini terbongkar setelah Yunita Tambunan, salah satu yang mengalami kasus ini, mengungkap adanya pungutan liar yang dilakukan oknum di TPU Cikadut bernama Redi yang mengaku sebagai Koordinator C TPU Cikadut. Kejadiannya saat Yunita dan keluarga ingin memakamkan ayahnya Binsar Tambunan yang meninggal gegara Covid-19 pada Selasa, 6 Juli 2021, malam hari. Setibanya di TPU, Yunita dihampiri Redi yang meminta uang Rp 4 juta untuk biaya pemakaman ayahnya. Redi mengatakan, liang lahat sudah disiapkan. Yunita bertanya, kenapa dirinya harus membayar? “Kalau non-Muslim tidak ditanggung pemerintah,” ceplos Redi. Lantaran waktu sudah semakin mendesak, Yunita mencoba minta keringanan. Terjadi negosiasi. Saat menawar akan membayar Rp 2 juta, rekan Redi dengan enteng berucap, “Biar ibu tahu, kemarin saja bu ada Nasrani bayarnya sudah Rp 3,5 juta.”

Dalam kondisi terdesak, akhirnya Yunita membayar Rp 2,8 juta. Ia pun minta kwitansi beserta perinciannya. Namun Redi awalnya berdalih, “Kalau pemakaman malam tidak ada kwitansi.”

Akhirnya, sebagai bukti pembayaran, dituliskan di selembar kertas dengan perincian, biaya gali Rp 1,5 juta; biaya pikul Rp 1 juta, dan salib Rp 300.000, sehingga total Rp 2.8 juta. Juga ditulis jelas nama Redi dan jabatannya. Sesudah jenazah sang ayah dibawa ke liang lahat, salah seorang tim gali kubur bertanya pada Yunita, “Bu, saya dengar ada 4 orang non-Muslim yang meninggal, katanya ada yang belum bayar satu orang. Apakah keluarga Pak Binsar Tambunan yang belum bayar bu? Maaf ya kalau tersinggung.”

Setelah diberi tahu sudah dibayar, penggali kubur hanya berujar, “Oh..” Parahnya, setelah selesai pemakaman, beberapa tukang gali kubur yang pakai baju APD lain menyerbu Yunita dan adiknya meminta tambahan uang dengan alasan perlu beli vitamin. Akhirnya, terpaksa keluar lagi uang Rp 50.000. “Kami ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Setelah saya di timpa kemalangan kepergian papa saya, ternyata di TPU Covid-19 Cikadut Bandung ada praktik pungutan liar (pungli) untuk pemakaman yang non-Muslim. Apakah demikian peraturannya?” tanya Yunita. KL

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here