Kisah Ayub Tentang Iman dan Kesetiaan

* Oleh: Pdt. Dr. Tjepy Jones B., M.Sc

2334

Narwastu.id – Hosea 6:6, “Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran.”

Iman yang hidup di dalam seseorang pasti selalu muncul dalam perkataan yang seturut dengan Alkitab. Karena apa saja yang meluap dari hati dan keluar menjadi perkataan kita, maka itulah yang menjadi jalan kehidupan kita. Idealnya iman melahirkan kesetiaan, tetapi kesetiaan belum tentu dibangun berdasarkan iman, sebab iman (faith) tidak selalu sama dengan kesetiaan (faithfull). Yang membuat kita berkenan di hadapan Allah adalah hanya iman (Ibrani 11:6). Di dalam 1 Yohanes 5:4, “Sebab semua yang lahir dari Allah, mengalahkan dunia. Dan inilah kemenangan yang mengalahkan dunia: iman kita.” Dari ayat ini kita lihat bahwa iman adalah substansi yang lahir dari Allah, sedangkan kesetiaan adalah salah satu buah roh yang timbul jika kita tetap berada didalam Firman Kristus.

Kesetiaan adalah sesuatu yang sangat baik dan selalu menjadi sesuatu yang menyukakan banyak orang. Ketika kita tetap bertekun di dalam aktivitas gereja, baik di dalam doa bersama, pertemuan-pertemuan ibadah, atau bahkan memegang jabatan penggembalaan dengan tekun dan bertanggung jawab, maka itulah kesetiaan yang bisa menjadi berkat bagi orang-orang yang kita layani. Tetapi iman adalah sangat spesifik mengenai bagaimana sikap hati kita terhadap Firman Allah dan bagaimana menjadi pelaku Firman itu.

Kesetiaan Ayub 

Ada satu kisah di dalam Alkitab di mana Allah memuji kesalehan dan kesetiaan seseorang yang bernama Ayub. Ayub seorang yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan dengan kehidupan yang sangat diberkati sehingga ia menjadi orang yang paling kaya di daerahnya pada saat itu. Iblis pun berkata kepada Allah, “Apakah dengan tidak mendapat apa-apa Ayub takut akan Allah? Bukankah Engkau yang membuat pagar sekeliling dia dan rumahnya serta segala yang dimilikinya? Apa yang dikerjakannya telah Kau berkati dan apa yang dimilikinya makin bertambah di negeri itu. Tetapi ulurkanlah tangan-Mu dan jamahlah segala yang dipunyainya, ia pasti mengutuki Engkau di hadapan-Mu (Ayub 1:9-11).”

Iblis meminta Allah untuk menentang Ayub demi membuktikan bahwa kesetiaan Ayub akan gugur kalau kekayaannya habis. Lalu terjadilah dalam waktu satu hari Ayub mengalami kehilangan semua harta, bahkan anak-anaknya mati, hanya istrinya yang masih tinggal hidup. Pelakunya adalah suku Syeba, suku Kasdim, dan juga malapetaka akibat api dan angin ribut, tetapi kita tahu bahwa iblislah di balik semua pelaku ini, bukan Allah. Dalam ketidaktahuan akan skenario di balik peristiwa ini, Ayub mengira Allah yang melakukannya sehingga ia berkata dalam sikap kesetiaannya kepada Allah, “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN! (Ayub 1:21).”                Tentu ini adalah pernyataan yang salah, sebab kita sudah tahu bahwa Allah yang memberi, memberkati, serta melipatgandakan harta Ayub karena kesalehannya, bagaimana mungkin Allah yang menghabisinya juga. Tetapi Ayub dalam ketidaktahuan mengatakan semuanya itu tanpa membenci Tuhan Allah. Iblis kembali datang kepada Allah untuk meminta agar Ayub disiksa lagi dalam tubuhnya, kali ini iblis sendirilah yang menimpakan Ayub dengan barah yang busuk dari ujung kepala sampai ujung kaki tetapi Ayub tetap tekun dalam kesalehannya. Sekalipun dalam Kitab Ayub tidak ada bukti bahwa Ayub memiliki kovenan dan hubungan yang baik dengan Allah, tetapi kisah ini mengajarkan kepada kita bahwa kesalehan tanpa pengenalan yang benar akan Allah adalah sia-sia. Ayub 35:8, “Hanya orang seperti engkau yang dirugikan oleh kefasikanmu dan hanya anak manusia yang diuntungkan oleh kebenaranmu”, sebab hanya iman kepada Allah yang benar yang dapat membuat manusia berkenan kepadaNya.

Bahkan Yesaya 64:6b, “Demikianlah kami sekalian seperti seorang najis dan segala kesalehan kami seperti kain kotor.” Itu sebabnya di akhir kisah ini menjelang Ayub dipulihkan dia berkata, “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau (Ayub 42:5).” Jadi tidak tepat kalau kita sebagai ciptaan baru di dalam Kristus juga berkata, Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan, karena perkataan itu dikatakan Ayub dalam keadaan hanya tahu tentang Allah berdasarkan kata orang saja, sedangkan kita memiliki Roh Kudus yang mengajar kita bahwa segala yang baik datangnya dari Allah Bapa Terang. Yesus datang untuk membawa hidup, tetapi iblis datang hanya untuk mencuri, membunuh dan membinasakan.

Untuk hidup saleh bagi umat Tuhan haruslah disertai dengan pengenalan akan Allah di dalam Kristus, karena itulah kekuatan yang sempurna seperti yang tertulis didalam 2 Petrus 1:3, “Karena kuasa ilahi-Nya telah menganugerahkan kepada kita segala sesuatu yang berguna untuk hidup yang saleh oleh pengenalan kita akan Dia, yang telah memanggil kita oleh kuasa-Nya yang mulia dan ajaib.”

Akar Masalah Ayub

Akar masalah yang ada pada Ayub dapat kita baca di pasal ketiga dari Kitab Ayub setelah dia mengalami malapetaka yang beruntun. Di situ Ayub mulai menyesali hari kelahirannya, dan di akhiri dengan perkataan, “Karena yang kutakutkan, itulah yang menimpa aku, dan yang kucemaskan, itulah yang mendatangi aku. Aku tidak mendapat ketenangan dan ketenteraman; aku tidak mendapat istirahat, tetapi kegelisahanlah yang timbul (Ayub 3:25-26).” Pengakuan Ayub inilah yang menjadi petunjuk bagi kita mengapa iblis bisa mengakses Ayub. Sementara Allah sangat bangga dengan kesalehan Ayub, di sisi lain iblis pun mengakui bahwa Allah membuat pagar di sekelilingnya dan rumahnya serta semua yang dimilikinya seraya memberkati segala pekerjaannya.

Tetapi Ayub hidup dalam kecemasan dan teror ketakutan, tidak bisa tenteram dan selalu gelisah. Ayub betul-betul tidak memiliki keintiman dengan Allahnya, semua ibadahnya dilakukan atas dasar ketakutan dan ketidaktenteraman. Padahal Kitab Amsal berkata, Amsal 1:33, “Tetapi siapa mendengarkan aku, ia akan tinggal dengan aman, terlindung dari pada kedahsyatan malapetaka.” Itulah sebabnya, mengapa Allah berkata kepada iblis, ”Nah, segala yang dipunyai ada dalam kuasamu (Ayub 1:12).” Perkataan Ayub telah meruntuhkan tembok perisai yang dibangun Allah, maka Pengkhotbah 10:8b, “…dan barangsiapa mendobrak tembok akan dipagut ular.” Selanjutnya kita lihat nasihat yang datang dari sahabat-sahabat Ayub pun tidak menyelesaikan masalah, bahkan Allah murka kepada ketiga sahabat Ayub, karena mereka menasihati Ayub dengan kata-kata yang sangat rohani tentang Allah, tetapi Allah berkata bahwa perkataan mereka tentang Allah tidak benar (Ayub 42:7).

Dari kisah ini kita bisa melihat bahwa kesalehan atau kesetiaan seseorang di dalam mengikut Tuhan belum tentu menggambarkan hubungan yang intim dengan Allah. Kita lihat bahwa sekalipun Ayub adalah figur yang terhormat dan kaya di masa itu, juga sering membantu orang lain di dalam kesusahan mereka, namun tanpa pengenalan akan Allahnya dengan benar dia menjadi rentan terhadap serangan iblis. Bukan karena iblis kuat, tetapi karena Ayub terjerat dengan perkataannya sendiri dengan membiarkan takut dan cemas menguasai pikirannya sehingga akhirnya Ayub masuk ke dalam tawanan iblis.

Di akhir kisah ini Tuhan memulihkan Ayub, yang dalam versi King James tertulis, “ The LORD turned the captivity of Job”, ini berarti Tuhan Allah melepaskan Ayub dari tawanan iblis. Perkataan seseoranglah yang membuatnya menjadi tawanan iblis. Amsal 6:2 “Jikalau engkau terjerat dalam perkataan mulutmu, tertangkap dalam perkataan mulutmu.” Lalu bagaimana cara melepaskan diri dari tawanan iblis? Rendahkan segala pikiran kita di bawah Firman Allah lalu berdirilah teguh di atas Firman, maka ikatan itu akan terlepas dengan sendirinya. Semakin dalam kita menghabiskan waktu dengan Firman Allah, maka semakin besar pengharapan yang timbul di dalam kita akan janji-janji yang tertulis didalam Firman kebenaranNya. Alkitab mendefinisikan itu sebagai proses menyucikan diri, 1 Yohanes 3:3, “Setiap orang yang menaruh pengharapan itu kepada-Nya, menyucikan diri sama seperti Dia yang adalah suci”. Di dalam jalan kebenaran terdapat hidup dan sama sekali tidak ada maut yang menghadang (Amsal 12:28 Versi KJV).

Seiring dengan pengenalan kita akan Allah di dalam Yesus Kristus akan membuat janji-janji Allah tergenapi di dalam hidup kita, sehingga kita mengambil bagian dalam kodrat ilahi. Ini juga berarti bahwa Firman Allah yang kita renungkan dan simpan di dalam hati akan mengubah kita menjadi seperti Dia (1 Yohanes 3:2) itulah yang dimaksud dengan kita mengambil bagian dalam kodrat illahi. Selanjutnya kesetiaan kita akan lahir dengan sendirinya, karena kesetiaan adalah buah dari roh kita yang bergaul intim dengan Allah Roh Kudus.

Kita tidak akan mudah mengalami kekejutan yang membuat kita menjadi syok, karena Tuhan Allah memelihara hati dan pikiran kita dengan damai sejahtera dan siap melepaskan kita dari segala malapetaka yang mengancam. Yesaya 26:3, “Yang hatinya teguh Kau jagai dengan damai sejahtera, sebab kepada-Mulah ia percaya.” Amin.

 

* Penulis adalah Gembala Cibubur City Blessing dan anggota FORKOM NARWASTU (Forum Komunikasi Tokoh-tokoh Kristiani Pilihan Majalah NARWASTU).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here