Narwastu.id – Memperingati Hari Pekabaran Injil di Tanah Papua, pimpinan lembaga keagamaan bersama Dirjen Bimas Kristen Kementerian Agama RI, Prof. Dr. Thomas Pentury, M.Si, mewakili Menteri Agama (Menag) RI H. Yaqut Cholil Qoumas, belum lama ini mendiskusikan tema “Moderasi Beragama dalam Terang Injil” di Gereja Katolik Paroki Kristus Terang Dunia, Wamena, Jayapura. Pada kesempatan itu, Menag RI dalam materinya yang disampaikan oleh Prof. Thomas Pentury menegaskan, konflik keagamaan yang kerap terjadi di Indonesia umumnya dipicu oleh adanya sikap eksklusif serta terjadinya kontestasi antarkelompok agama dalam meraih dukungan umat yang tidak dilandasi oleh sikap toleran.
“Sebab itu, sesungguhnya moderasi beragama itu menjadi signifikan tidak hanya bagi penciptaan relasi antara agama-agama secara eksternal, tetapi juga penting secara internal untuk menciptakan harmoni di antara aliran dalam satu agama. Moderasi beragama juga penting untuk dikembangkan melalui pilar kebangsaan strategis dengan melibatkan peran semua pihak,” jelasnya.
Menurut Gus Yaqut, untuk merawat kepelbagaian agama di Indonesia, yang terpenting adalah bukan semata-mata dialog antariman, melainkan dialog antarumat beragama. Dialog antariman umumnya berbentuk sangat tidak formal, cair, natural dan bisa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan dialog antarumat beragama seringkali terbatasi pada dialog legal-formal, dan seringkali terbatas dilakukan oleh para tokoh agama saja, sehingga terasa kering, tidak menyentuh pergumulan umat, dan jauh dari kenyataan yang dihadapi sehari-hari. Hal senada disampaikan oleh Ketua Umum PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia), Pdt. Gomar Gultom, M.Th. Menurutnya, moderasi beragama adalah sesuatu yang dibutuhkan di tengah-tengah konteks masyarakat majemuk, seperti Indonesia ini, untuk menciptakan kehidupan yang lebih damai.
Lebih jauh dijelaskan, cara membaca kitab suci dan cara kita memahami tradisi sangat mempengaruh pola beragama, dan saat ini ada dua kutub yang ekstrem dalam membaca teks dan memahami tradisi ini. Pertama, pendekatan tekstual. Membaca teks lepas dari konteksnya. Apa yang tertulis itu yang dipahami, dan diterapkan. Pendekatan ini akan membawa kita kepada fundamentalisme, yang bisa berujung kepada ekstremisme. Kedua, pendekatan kontekstual. Pendekatan ini mengabaikan teks, dan yang terjadi adalah tafsir sosial, kemudian dimasukkan tafsir sosialnya ke dalam teks. Konteks ini bisa membawa kita jatuh kepada liberalisme.
Sebab itu, moderasi beragama, lanjut Pdt. Gomar, merupakan ajakan untuk membuat keduanya seimbang. Moderasi beragama bertumpu kepada nilai-nilai universal, yaitu kehidupan dan kemanusiaan. Selain itu, bertumpu kepada kesepakatan bersama di tengah kemajemukan, dan bertumpu kepada upaya menciptakan ketertiban bersama. Jika ini dapat dilakukan, maka akan membuka ruang untuk penafsiran baru, dan tidak menutup diri sehingga menjadikan paham keagamaan itu sebagai ideologi yang disakralkan. Selain itu, muncul kesadaran bahwa medium yang ada, termasuk teks kitab suci, memiliki keterbatasan (oleh karena bahasa dan situasi), dan terlebih lagi kita yang membaca pun lebih lagi keterbatasannya.
Sementara itu, Ketua Umum PGLII (Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga Injili Indonesia), Pdt. DR. Ronny Mandang melihat, moderasi beragama dapat dibangun dengan sebuah pemikiran praktis tetapi aktual. “Misalnya orang sering mengatakan, agamamu baik, agamamu benar, agamaku juga baik dan benar, maka mari kita bertemu di ruang yang baik itu. Bukan prinsip-prinsip perbedaan yang kita perjuangkan, tapi prinsip-prinsip universal dari agama itu menjadi hakekat membangun sebuah masyarakat. Untuk konteks Papua maka moderasi beragama menjadi sebuah keharusan, bukan sebuah pilihan,” jelasnya.
Moderasi beragama, ujarnya, harus dipahami sebagai kesedangan, artinya tidak ekstrem kanan atau ekstrem kiri, tetapi dia berada di unsur yang tidak juga secara teologis menjadi netral. “Masing-masing agama tentunya punya doktrin atau kayakinannya sendiri. Tetapi dalam hubungan interpersonal atau relationship dalam berbangsa, bernegara, bermasyarakat yang berbeda-beda, maka yang perlu dibangun adalah kerukunan. Sebab itu, membangun moderasi beragama tidak berarti menggabung keyakinan orang dengan pandangan-pandangan teologis kita,” katanya.
Mewakili umat Islam di Papua, Ketua MUI Papua, K.H. Syaiful Islam Al Payage juga melihat pentingnya moderasi agama di tengah gencarnya berita hoaks yang bisa memecah-belah kerukunan kehidupan keberagamaan di Indonesia. Sebab, kerukunan sangat penting dalam peradaban manusia, yang dipengaruhi oleh dua kekuatan besar, yaitu irasional atau agama, dan pengaruh rasional atau pemikiran. “Kedua kekuatan besar ini yang mempengaruhi peradaban manusia. Maka penting untuk bagaimana menjaga agama atau toleransi umat beragama. Kita mesti pahami bahwa semua agama itu memiliki nilai-nilai universal, sehingga dipastikan tidak terjadi konflik antaragama, karena setiap agama mengajarkan kebaikan. Jika ada yang mengajarkan kebatilan, ini dipertanyakan,” tegasnya.
Dari perspektif Katolik, Sekretaris Eksekutif Komisi HAK KWI Romo Agustinus Heri Wibowo mengatakan, moderasi beragama dapat dipahami sebagai sikap, cara pandang dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama.
Dalam Dokumen Abu Dhabi yang ditandatangani oleh Paus dan Imam Besar Al-Azhar, jelas Romo Heri, memberikan pesan yang kuat terhadap moderasi beragama, yaitu seruan bagi setiap hati nurani yang tulus, yang menolak kekerasan dan ekstremisme buta, seruan bagi mereka yang menghargai nilai-nilai toleransi dan persaudaraan yang dimajukan dan didorong oleh agama-agama. HJ