Narwastu.id – Pandemi Covid-19 menjajah dunia sejak muncul di Wuhan, China, pada Desember 2019 dan penetrasi ke Indonesia lebih dari 5 bulan. Korban meninggal ada di seluruh negara. Penyebarannya amat cepat. Kapankah pandemi maut ini akan berakhir, tiada seorang pun dapat memastikan. Semua aspek kehidupan terkena dampak buruk, seperti bisnis, transportasi, perkantoran, pendidikan, perpolitikan, tidak terkecuali dalam kehidupan kegerejaan, pertumbuhan gereja misalnya. Lalu, dengan gangguan corona dan situasi kondisi genting yang ditimbulkan, bagaimana kabar pertumbuhan gereja? Bagaimana peranan gaya dan akuntabilitas kepemimpinan gembala sidang dalam menyikapinya?
Serangan virus ini sangat dahsyat. Yang terpapar positif bisa meninggal dunia dengan cepat. Dikubur segera tanpa prosesi acara adat dan gereja (sakramen dilaksanakan pada waktu berbeda). Tidak menunggu kehadiran pasangan, keturunan, orangtua apalagi sahabat. Semua serba buru-buru sebagaimana matinya pun buru-buru. Seperti bunga ia berkembang, hilang lenyap, dan tidak dapat bertahan (Ayub 14:2). Covid-19 tidak memandang umur, kedudukan, dan status sosial. Orang tanpa gejala bisa meninggal atau tidak disadari membawa virus. Akibatnya, muncul suasana waswas dalam kelompok masyarakat yang bertemu di kantor, pasar, transportasi umum, atau di gereja. Pandemi telah membatasi interaksi, keakraban, dan tradisi sosial. Per tanggal 11 Agustus 2020, kasus positif tercatat 128.776 orang dan meninggal 5.824 orang. Jumlah bertambah setiap hari. Suatu kengerian yang dahsyat tanpa syarat.
Social Distancing dan Gaya Kepemimpinan Gembala Sidang (GS)
WHO telah mengumumkan protokol kesehatan dan diaplikasikan di semua negara. Di antaranya adalah pemakaian masker dan social distancing. Tidak boleh bersalaman apalagi cipika-cipiki, kebiasaan yang berakar. Karena dilarang berkerumun, wajib memakai masker, dan jarak 1 sampai 2 meter, memaksa gereja untuk menghentikan semua aktivitas. Itu jauh lebih baik daripada terjangkit Covid-19. Oleh peristiwa pandemi, GS diuji bagaimana mengimplementasikan gaya dan akuntabilitas kepemimpinan yang dinyatakan Alkitab. Dalam uncomfortable zone saat ini, sejauh mana gaya dan akuntabilitas yang diperagakan sangat mempengaruhi pertumbuhan gereja.
Banyak ahli dan filsuf menuliskan teori kepemimpinan sejak jaman sebelum dan sesudah Masehi. Beberapa teori dari pemikir sekuler diterapkan dalam kepemimpinan Kristen, lebih khusus gereja. Adopsi tentu setelah melalui penyaringan sesuai Firman Tuhan. Misalnya, gaya laissez faire atau bebas dan gaya otoriter tidaklah sejiwa dengan Alkitab. Dari sumber Alkitab pun terdapat berbagai gaya kepemimpinan. Dalam Perjanjian Lama, gaya kepemimpinan di setiap jaman berbeda. Gaya dimaksud sangat tergantung pada bagaimana pemimpin menerjemahkan Sabda Allah dan needs/wants rakyat. Musa memiliki gaya kepemimpinan sendiri, demikian juga Raja-raja, Hakim-hakim, Imam, atau para nabi.
Dalam Perjanjian Baru, ada banyak gaya kepemimpinan. Berbeda dengan PL, konseptor dan aktor kepemimpinan PB hanya satu. Semua gaya berasal dari dan berpusat pada satu Pemimpin Agung. Orang yang dikaruniai untuk memimpin harus mengikuti gaya kepemimpinan dan tuntunan oleh Gembala Agung Yesus Kristus Tuhan kita, Christocentris. Dia tidak berubah dulu, sekarang, dan sampai selamanya (Ibrani 13:8). Needs/wants umat pun serupa, yaitu berkenan kepada Bapa.
Dari berbagai gaya kepemimpinan dimaksud, beberapa di antaranya diangkat oleh Penulis dan aplikasi riilnya terhadap pertumbuhan gereja saat pandemi-pandemi.
Shepherd Leadership, yakni Gembala Sidang (GS) mengenal domba-domba yang digembalakan. Masa pandemi membuat domba bertanya-tanya, gundah gulana hingga frustrasi, bahkan mengkomplain Tuhan. Dari segi psikologis, banyak yang terganggu mental dan jiwanya apalagi dengan berkurangnya pendapatan. Barang/jasa tidak laku, gaji dikurangi atau PHK, proyek mandeg, piutang tak tertagih, dan keluhan lain. Domba membutuhkan kekuatan batin. Sementara domba sudah tidak berdaya menghasilkan susu, GS malah mengharapkannya dengan memelintir ayat Alkitab. “Berilah, maka akan diberi!” Apalagi menekankan Maleakhi 3:10.
Domba mendambakan kepemimpinan yang mampu membaringkan di padang yang berumput hijau, membimbing ke air yang tenang, menyegarkan jiwa, dan menuntun di jalan yang benar, sekalipun sedang berjalan dalam kekelaman Covid-19. Gembala harus memahami penderitaan domba dan memberikan jalan keluar. Gembala menghadirkan diri sebagai pemimpin yang berada di depan, tengah, dan belakang domba.
Spiritual Leadership, di mana GS sebagai pemimpin rohani sudah seharusnya memiliki kehidupan kerohanian yang melebihi umat, interpersonal contacting yang super intim dengan Elohim Yahwe, seperti Abraham dan Henokh. Sebagai imam, GS mendoakan domba-dombanya yang sedang dicekam oleh virus corona dan kengeriannya. Mengingat waktu tidak disita untuk rapat organisasi dan pelayanan ke sana ke sini, maka gembala memiliki banyak kesempatan untuk berkomunikasi dengan jemaat, selain dialog pribadi dengan Pemberi Mandat dan belajar Firman Tuhan (self upgrading). Jika tidak memungkinkan untuk berkunjung, tersedia teknologi media sosial. Sekarang ini, jemaat secara pribadi membutuhkan mentor rohani yang diurapi Roh Kudus. Mentor yang bisa meluruskan sikap batin dan responsif terhadap apa yang sedang dan akan terjadi sehingga jemaat mampu mengamini Imanuel dan masuk ke dalam proses memiliki pikiran dan perasaan Allah sebagaimana ada dalam Kristus Yesus Tuhan.
Dalam kesesakan dan kepicikan saat ini, peranan GS sebagai bapak rohani adalah untuk menguatkan iman dan pengharapan. Anak rohani akan merasakan kuasa doa dan bimbingan GS. Kehadiran gembala akan menorehkan suatu persepsi dalam jemaat yang pasti akan memengaruhi pertumbuhan gereja secara langsung atau tidak. Servant Leadership, yakni gembala mempraktekkan gaya kepemimpinan seorang hamba. Sebelum pandemi, banyak GS yang memosisikan diri untuk dilayani. Jemaat menghormati pemimpinnya dan rela berkorban waktu, tenaga, pikiran, dan kocek guna memajukan pelayanan. Sekarang situasi dan pengalaman umat berbeda-beda. Boro-boro memberikan persembahan, membeli kuota anak untuk daring sekolah pun harus putar otak.
Jemaat merindukan gembala yang berhati hamba. Pada masa normal, umumnya GS melayani di mimbar. Berhubung tidak boleh naik mimbar di gereja atau acara lainnya, maka saatnya GS melayani nonmimbar. Umat tidak hanya membutuhkan khotbah, tetapi juga kepedulian GS. Jika umat cukup banyak sehingga tidak memungkinkan menjangkau dalam waktu cepat, maka GS bisa memberdayakan tim penggembalaan. Kepemimpinan kolegal yang melayani, harus diterapkan sebagai pelayanan yang membumi dan langsung menyentuh hati jemaat. Pelayanan nonmimbar sangat bermakna dalam menghadapi kerawanan hidup agar jemaat tidak pergi mencari rumput hijau dan air tenang ke kandang lain yang menawarkan kenikmatan.
Transformational Leadership, di mana GS sebagai agent of change and repentation. Domba dapat merasakan impartasi dari pemimpinnya lalu rela berusaha untuk bertobat dan memperbaharui karakter, yakni menghidupi kehidupan Kristus dalam kehidupannya. Pada akhirnya mampu mencapai kesempurnaan seperti Bapa, menjadi serupa seperti Kristus dalam penggarapan oleh Roh Kudus. Proses transformasi oleh GS sangat vital bagi domba. Dampak pengajarannya membuahkan pemahaman bahwa masa pandemi COVID-19 harus dijalani sebagai bagian dari proses pendewasaan rohani, bukan melemahkan.
Jemaat akan memonitor dan meneladani pemimpin (termasuk pasangan/anak-anaknya). Karena Kepala jemaat sudah mengurapi terlebih dahulu, memberi kuasa, dan tanggung jawab, maka GS harus lebih cakap dan tangguh merespons positif perjalanan hidup di akhir jaman dan meneguhkan jemaat.
Lewat ucapan dan sikap hidup, GS akan mengubah pola rohani dan pikiran lingkungan. Apalagi menghadapi orang yang tidak bertumbuh atau dewasa rohani meski sudah bulukan beragama Kristen. Berpindah atau “jajan” ke kandang sebelah dan ironisnya apabila jemaat hijrah ke agama lain. Memang banyak faktor penyebabnya, namun alangkah mengerikan jika disebabkan oleh GS dan pemimpin gereja yang tidak menanamkan kebenaran Firman Tuhan secara murni, gagal mempraktikkan apa yang dikhotbahkan, dan tidak konstan berpusat pada Kristus. Keluarga tidak menjadi teladan di tengah masyarakat dan bergaya hidup kewajaran duniawi
Akuntabilitas kepemimpinan, di mana gembala mampu melaksanakan manajemen gereja yang baik dan benar, transparan, dapat diuji, serta bertanggung jawab terhadap stakeholders. Baik dalam eksekusi program pelayanan maupun keuangan gereja, Good Church Governance. Fakta bahwa hampir semua keuangan gereja (besar atau kecil) terkena imbas pandemi. Pendapatan jemaat berkurang sehingga mempengaruhi persembahan. Beban operasional dan biaya hidup para pelayan menjadi tidak normal. Belum lagi tanggungan finansial bila gereja mengelola pelayanan sosial yang nirlaba, sponsor penginjilan atau kegiatan lainnya.
Dalam kondisi beban seberat apapun, GS harus tetap mendemonstrasikan akuntabilitas di segala bidang. Di sisi lain, umat mengikuti gerak gerik pemimpinnya. Apakah pesan Rasul Paulus dipraktikkan, misalnya “asal ada makanan dan pakaian, cukuplah” 1 Timotius 6:8? Jika sampai Februari 2020 dukungan finansial terjamin, masa pandemi memaksa GS untuk hidup yang memegang prinsip mencukupkan diri dengan apa yang ada (Ibrani 13:5). Tetap setia dalam hal Mamon yang tidak jujur versus dipercayakan untuk me-manage harta yang sebenarnya, sabda Yesus dalam Lukas 11:6.
Umat sedang dalam perjuangan hidup yang terancam resesi dan dibayang-bayangi oleh kematian sesaat. Kapan berakhir, misteri. Positifnya, keseriusan meningkat dalam mendengarkan khotbah-khotbah dan lebih teliti merenungkan isi dan tujuannya, dibimbing kepada harta kekal di sorga (syamayim) atau parkir di neraka (gehenna). Lagu-lagu dan janji-janji Tuhan untuk kebutuhan jasmaniah terkesan dipaksakan demi menyenangkan telinga pendengar, yang dibumbui lelucon. Usai acara, pendengar tidak merasa diperbaharui dan harus bertobat. Aura formalitas, rutinitas, dan kemunafikan pelayan bisa “dibaca” oleh pendengar. Sebaliknya, ketulusan hati, all out melayani Tuhan dan jemaatNya, impartasi hadirat Allah juga dapat dirasakan jemaat. Roh Kudus memampukan umatNya yang mau bertumbuh dalam iman (penurutan, tindakan) kepada Bapa dan Tuhan kita.
Melalui proses tertentu mereka lalu membuat persepsi tentang akuntabilitas GS. Waktu akan membuktikan gereja bertumbuh atau tidak. Lahir batin kepemimpinan GS dalam segala hal di tengah tsunami, pandemi, dan ancaman resesi merupakan pertanggungjawaban nyata di hadapan manusia dan Kepala Gereja. Covid-19 telah menelan banyak korban, memporak-porandakan semua aspek kehidupan secara massif, dan ancaman resesi. Antivirus dan vaksin masih dalam penelitian dan percobaan. Efisien dan efektif mujarabnya masih wait and see
Tetapi sesungguhnya Covid-19 bukanlah satu-satunya pandemi. Dalam Wahyu 18:8a misalnya, mengatakan, “Sebab itu segala malapetakanya akan datang dalam satu hari, yaitu sampar dan perkabungan dan kelaparan.” Waktu singkat dan manusia tidak sanggup bertahan. Nuklir di China, Korea, USA, dan Israel juga mampu memusnahkan miliaran makhluk hidup seketika. Firman Allah telah memperingatkan semua itu. Tiada yang terjadi di bawah kolong langit tanpa Allah mewanti-wanti sebelumnya.
Belajar dari pengalaman dan bila pandemi-pandemi lain terjadi, Gembala Sidang sudah terlatih untuk mempersiapkan diri dalam menjaga kawanan domba. GS pasti mampu meningkatkan pertumbuhan gereja dengan gaya dan akuntabilitas kepemimpinan yang ada sebagai bagian integral dari semua gaya kepemimpinan lain dari Tuhan Yesus Kristus, Majikan kita. Hamba yang setia mengabdi pada pelayanan dalam rangka mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi dan segenap kekuatan serta mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri (Markus 12:30-31), maka kawanan domba pasti mendengarkan dan meniru gembala.
Ketaatan kepada kepemimpinan Gembala Agung, maka hikmat Allah, urapan Roh Kudus dan kuasa Firman yang menyertai pelayanNya akan ditransformasikan kepada umatNya. Kawanan domba akan terpanggil untuk bekerja sama dalam mengerjakan keselamatan sehingga dapat membedakan kehendak Allah, apa yang baik, berkenan, dan yang sempurna (Roma 12:2). Gereja akan mengalami pertumbuhan yang ekstrem dan radikal untuk berkemas-kemas pulang bersama ke rumah Bapa yang telah dipersiapkan oleh Tuhan kita Yesus Kristus (Yoh. 14:1-4). GS yang hidupnya tidak bercacat cela sesuai standar Kristus pasti mengaplikasikan kepemimpinan yang akuntabel. Roh Kudus pasti menggerakkan jemaat untuk menghasilkan domba. Dengan demikian, pertumbuhan gereja, dalam arti organisma dan pelayanan, akan berkelanjutan (sustainable growth) melaksanakan Amanat Agung Yesus vide Mat. 28:18-20, Kis. 1:8 sampai Yesus datang kembali. Maranatha, Haleluya. Amin. Jakarta, 7 Agustus 2020
* Penulis adalah banker di BUMN selama 30 tahun. Dan kini sedang proses tesis M.Th di STT PBB Jakarta. Sekarang Waket DPP Hubungan Luar Negeri dan Diplomasi Partai Indonesia Damai (PID).