Tokoh Pers, Pakar Demokrasi/Hukum dan Politisi Menyampaikan Aspirasi di Diskusi FORKOM NARWASTU

70
Suasana acara ibadah lalu diskusi FORKOM NARWASTU di Gedung LAI Lantai 9, Jakarta Pusat.

Narwastu.id – Pada Kamis malam, 23 Agustus 2018 lalu, kembali Forum Komunikasi Tokoh-tokoh Kristiani Pilihan Majalah NARWASTU (FORKOM NARWASTU) mengadakan diskusi terbatas dengan sejumlah tokoh nasionalis, cendekiawan, aktivis, pemuka gereja, jurnalis dan Penasihat Majalah NARWASTU di Gedung Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) Lantai 9, Jakarta Pusat. Acara diawali kebaktian dengan pengkhotbah Pdt. DR. Nus Reimas (Pembina Majalah NARWASTU dan pemuka gereja aras nasional). Mengutip renungan dari Kitab Nehemia 2:19-20, Pdt. Nus Reimas menegaskan, di dalam kehidupan ini kita harus bisa menunjukkan kualitas atau nilai diri kita.

“Kehidupan kita ini akan bernilai kalau dipakai oleh Tuhan. Tuhan sering memakai orang-orang kecil untuk memuliakan namaNya, misalnya saat Tuhan Yesus memberikan makan 5.000 orang dengan 5 roti dan dua ikan. Roti dan ikan itu milik anak kecil, dan ribuan orang lapar bisa makan karena Tuhan menolong untuk menyatakan mukjizatNya,” ujar Ketua Dewan Pembina Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia (LPMI) itu.

Pdt. Nus Reimas menuturkan, supaya hidup kita bernilai di tengah keluarga kita, di tengah masyarakat dan di tengah bangsa, maka kita harus lebih dulu mengutamakan Tuhan. Banyak sekarang persoalan di negeri ini, seperti maraknya hoax, apalagi ini tahun politik. Karenanya, kita harus terus memandang kepada Tuhan dan fokus kepada Dia lewat doa-doa kita. “Kalau kita tiap pagi mau berlutut berdoa kepada Tuhan, maka kita bisa berdiri di depan siapapun, karena Tuhan menyertai kita. Dan saya lakukan itu selama 46 tahun di dalam pelayanan saya, dan Tuhan pakai terus hidup saya untuk melayani Dia di tengah gereja, masyarakat dan bangsa. Dalam hidup ini Tuhan bisa memperkenalkan orang lain guna menolong kita. Dan kalau kita selalu memandang kepada Tuhan, maka ancaman atau kebutuhan kita akan dipenuhiNya. Apa yang dipakai Tuhan pasti akan diberkatiNya,” cetus Ketua Majelis Pertimbangan PGLII dan mantan Ketua Umum PGLII dua periode itu.

Pembina Majalah NARWASTU, Pdt. DR. Nus Reimas menyampaikan Firman Tuhan di acara FORKOM NARWASTU.

Sedangkan dalam sambutannya, Sekretaris FORKOM NARWASTU, Sterra Pietersz, S.H., M.H. menyampaikan bahwa acara diskusi ini diadakan guna membicarakan persoalan-persoalan gereja, masyarakat dan bangsa terkini serta untuk memberikan pencerahan di tengah negeri ini. Dan, kata mantan anggota DPR-RI dari PDIP ini, pokok-pokok pikiran dari diskusi FORKOM NARWASTU adalah kontribusi kecil yang akan dibagikan ke publik bagi kebaikan masyarakat dan bangsa.

Dalam paparannya, tokoh pers Drs. Sabam Leo Batubara (mantan Wakil Ketua Dewan Pers)  menyampaikan kebebasan pers di era Reformasi dan era Orde Baru sangat jauh berbeda. Dulu di era Orde Baru penguasa atau Soeharto bisa menguasai berita dan informasi yang muncul di media massa dengan mengumpulkan para pemimpin media massa itu. Kalau sekarang media massa bebas memberitakan apapun yang terjadi di tengah masyarakat. Apalagi dengan adanya media sosial (medsos), berita hoax pun banyak bertebaran di tengah masyarakat. Belum lagi ada 4.300 media online. Hanya saja, kata Leo, hanya media massa yang berbadan hukum dan taat kode etik saja yang dibina dan dilindungi oleh Dewan Pers.

Dan kalau ada pers abal-abal yang kerjanya hanya ingin memeras pejabat dan pengusaha, tidak punya itikad baik dalam memberitakan dan tidak mencerdaskan masyarakat, maka itu di luar wewenang Dewan Pers. Dan berita yang merugikan masyarakat dan tidak taat kode etik serta medianya tidak berbadan hukum bisa saja dilaporkan ke aparat kepolisian. Dan medsos juga bukan bagian dari media pers yang bisa dibina atau dilindungi Dewan Pers karena medsos tidak berbadan hukum. “Dewan Pers dalam menjalankan aktivitasnya selalu meminta kepada pengelola media massa agar taat kode etik, tujuannya mencerdaskan masyarakat, paham tentang Undang-Undang Pokok Pers Nomor 40 Tahun 1999 serta tidak membuat berita yang mengarah pada hoax, tapi harus akurat, objektif, berimbang dan punya itikad baik,” papar mantan pimpinan harian nasional “Suara Karya” itu.

Sedangkan pakar demokrasi, hukum dan HAM, Prof. Dr. Marten Napang, S.H., M.H., M.Si menerangkan, kita patut bersyukur kepada Tuhan karena kita baru saja merayakan hari ulang tahun kemerdekaan ke-73 Republik Indonesia. Kalau kita bicara kemerdekaan di tengah bangsa ini, berarti kita juga bicara tanggung jawab untuk mengisi kemerdekaan di negara Indonesia yang kita cintai ini.

Moderator dan pembicara tampak: Ir. Albert Siagian, M.M., Drs. Sabam Leo Batubara, Prof. Marten Napang dan Hermawi Taslim, S.H.

Guru Besar di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, dan Ketua FORKOM NARWASTU ini menyampaikan, kemerdekaan yang dialami oleh bangsa kita pada saat ini, bisa dilihat dari berbagai sisi. Namun kebebasan itu, apakah untuk menyampaikan pendapat, kebebasan berserikat, kebebasan dalam aktif di dunia politik, kebebasan untuk mendapatkan pekerjaan agar hidup layak dan kemerdekaan untuk memeluk agama dan kepercayaan, itu tetap dikontrol oleh undang-undang atau konstitusi. Juga dikontrol oleh budaya dan agama.

“Dan sekarang kita berada di era komunikasi media sosial (medsos) yang luar biasa, dan dampak atau pengaruhnya di masyarakat luar biasa. Dan pengaruh medsos ini, sadar atau tidak sadar juga mempengaruhi kita di dalam menyikapi kepemimpinan di tengah bangsa ini,” cetus mantan aktivis mahasiswa di Makassar dan pernah bergiat di GMKI, GAMKI dan KNPI itu.

Prof. Marten Napang yang juga mantan Ketua DPP Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia (PIKI) dan termasuk dalam “21 Tokoh Kristiani 2015 Pilihan Majalah NARWASTU” menuturkan, di era Reformasi ini pemimpin Indonesia masih sering dilihat dan ditempatkan dari sisi nasionalis dan religius. Bahkan, para pemimpin bangsa kita, apalagi di pemerintahan atau kepala daerah masih sering dilihat apakah dia berasal dari kelompok mayoritas atau minoritas. Dan itulah yang biasa kita lihat dalam sebuah negara demokrasi.

Di sisi lain, Prof. Marten Napang melihat bahwa dampak dari kemerdekaan berserikat dan berpolitik di negeri ini, maka ada pula kelompok masyarakat dengan kekuatan baru ingin merebut kepemimpinan nasional, bahkan mereka mengusung ideologinya lewat politik. Dan itu bisa dilihat dari adanya otonomi daerah (otda) sejak Reformasi dan adanya Peraturan Daerah (Perda) yang berlaku di sejumlah daerah di Indonesia.

Ketika berbicara tentang kasus Meilina yang terjadi di Sumatera Utara, karena perempuan Tionghoa itu mengkritisi suara azan di masjid dekat rumahnya, dan ia dituding menista agama lalu divonis hakim di pengadilan masuk penjara, Prof. Marten Napang mengatakan, Meiliana sesungguhnya menuntut keadilan di tengah lingkungan masyarakat dan hukum, namun ia tak mendapat keadilan tersebut. Oleh sebab itu, sesungguhnya kebenaran itu harus kita perjuangkan untuk mendapatkan keadilan. Menurutnya lagi, keadilan itu sesungguhnya bersifat universal dan ada dalam setiap hati nurani manusia.

Prof. Marten Napang, S.H., M.H., M.Si saat bicara di diskusi FORKOM NARWASTU.

Prof. Marten Napang yang pernah ditawari sebuah partai politik besar nasionalis untuk menhadi salah satu pengurus terasnya, namun ia tak bersedia menuturkan, umat Kristen di negeri ini harus ikut terus mengisi pembangunan di tengah bangsa ini supaya bangsa ini lebih taat hukum, adil, sejahtera, makmur dan konsisten menjunjung hak azasi manusia (HAM). “Kita harus ikut terus memperkuat oikoumenisme kita, yang merupakan bagian dari kehidupan multikultural sebagai bagian dari Bhinneka Tunggal Ika di tengah bangsa Indonesia. Di tengah Indonesia yang majemuk ini kita tidak bisa hidup eksklusif, tapi kita harus menonjolkan kebersamaan, persatuan dan kesatuan bangsa serta mesti terus menegakkan ideologi Pancasila,” pungkas Prof. Marten Napang yang kerap diundang berbicara di berbagai lembaga seputar demokrasi, hukum, sosial dan gereja itu.

Wakil Ketua Badan Hukum DPP Partai NasDem, Hermawi F. Taslim, S.H. yang juga Ketua Presidium FORKOMA PMKRI menerangkan, di hari ulang tahun kemerdekaan RI ke-73 ini kita harus tetap optimis untuk membangun bangsa ini supaya lebih baik. “Kita harus bergaul dengan teman-teman yang dari kelompok lain agar kita bisa melihat keadaan bangsa ini dari sisi yang lebih luas. Dan kita pun harus terus meningkatkan kualitas pendidikan, karena sebuah bangsa akan maju bila kualitas pendidikan dan karakternya juga bagus. Kita jangan alergi terhadap orang-orang di partai politik,” ujarnya.

“Kalau kita ingin membangun bangsa ini agar lebih baik, maka kita harus masuk ke partai politik. Orang-orang baik harus mau masuk ke partai politik supaya bangsa ini lebih baik. Kita optimis karena pemimpin kita seperti Pak Jokowi adalah pemimpin yang baik dan ingin bangsa Indonesia ini makmur, sejahtera dan adil. Pak Jokowi tak ada cita-citanya untuk membuat anak-anaknya agar kaya jika ia berkuasa, tapi dia tulus memimpin bangsa ini. Beliau ini beda dari pemimpin lainnya,” cetus Hermawi Taslim yang juga Wakil Direktur Hukum dan Advokasi Tim Pemenangan Joko Widodo-Maaruf Amin di Pilpres 2019. KT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here