Narwastu.id – Rektor STT SETIA dan Ketua Umum Sinode GKSI, Pdt. Dr. Matheus Mangentang, telah 35 tahun memfokuskan pelayanannya ke orang-orang desa atau jemaat di pedalaman. Dalam kurun waktu itu pula ia telah mengalami pahit getirnya melayani di desa-desa di berbagai daerah di Tanah Air. Menurutnya, sejak umur 27 tahun ia sudah melayani di desa-desa, karena fokus dari pelayanan STT SETIA desa-desa atau orang-orang di pedalaman. “Kami meniru pelayanan Yesus yang mengutamakan pelayanan pada orang-orang desa,” ujar Pdt. Mangentang.
Menurutnya, berhadapan dengan binatang buas, seperti ular, ancaman banjir, jembatan patah dan sulitnya hutan dirambah, sudah dialami Pdt. Mangentang ketika ia melayani di daerah pedalaman. “Banyak hamba Tuhan sekarang usai kuliah di sekolah teologi, tak mau melayani ke desa. Mereka ingin menikmati kenyamanan di perkotaan. Dan STT SETIA mengutamakan lulusannya melayani di daerah-daerah yang sulit. Karena daerah yang didatangi pun tak ada sinyal hand phone (HP), tak ada radio atau televisi, banyak nyamuk dan berhadapan dengan orang-orang susah,” kisahnya,
Pdt. Mangentang menerangkan, gereja-gereja di Indonesia perlu mengutamakan pelayanan ke pedalaman. Seperti misinya, katanya, STT SETIA ingin memperhatikan orang yang tidak terperhatikan, mengangkat orang yang tidak terangkat, dan menjangkau orang-orang yang tak terjangkau. “Kalau kita baca Matius 9:35-36, Yesus disebut melayani dengan berkeliling kota dan desa. Tapi di laporan empat Injil yang saya baca, fokus Yesus melayani orang-orang lemah dan orang desa,” cetus pria berdarah Toraja ini.
Ia menceritakan, sudah terbiasa mendatangi desa-desa untuk melayani. Bahkan, ia pernah selama dua minggu berada di sebuah desa yang tak bisa dijangkau alat-alat komunikasi dan listrik di daerah Sulawesi Barat. “Ketika itu, saya memberi motivasi kepada hamba-hamba Tuhan muda lewat Firman Tuhan dan mendengar keluhan-keluharan mereka. Dengan datang ke sana, dan melihat langsung kondisinya, itu sangat menyemangati mereka,” paparnya.
Di sebuah desa di Nusa Tenggara Timur (NTT) ia pernah berhari-hari hanya mengkonsumsi ubi rebus dan air putih saat melayani. “Saya ikuti keadaan masyarakat di sana, kebetulan waktu itu masa paceklik, dan hanya ubi yang bisa dimakan masyarakat selama empat bulan, dan 8 bulan berikutnya baru bisa makan nasi. Dan itu harus tetap kita syukuri,” tukasnya.
Saat melayani di pedesaan, kata Pdt. Mangentang, tak jarang pula ia memberi penyuluhan pendidikan, kesehatan dan keterampilan ekonomi. “Masih banyak jemaat di daerah yang perlu dilayani. Dan ini yang perlu terus kita gelorakan kepada gereja-gereja di perkotaan agar peduli melayani orang-orang di pedesaan,” ungkapnya. Pada Desember 2011 lalu, ia bersama 30 mahasiswanya pernah mendatangi Desa Seko, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, untuk melayani KKR Natal. Untuk menempuh desa itu, mereka hanya beberapa kilometer bisa naik motor, karena medannya berat.
Lalu tiga hari tiga malam mereka harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki bersama timnya menyusuri hutan lebat, sungai dan lembah. “Saat mengadakan acara di sana meskipun hujan turun, ada lebih dari 1.000 warga hadir. Mereka senang orang dari Jakarta datang melayani. Mereka terbuka dengan Injil, meskipun selama ini mereka masih banyak yang percaya pada animisme. Mereka banyak dulu yang percaya pada pohon-pohon, gunung, sungai dan tempat-tempat keramat,” tukasnya.
Kesaksian Pdt. Mangentang lainnya ketika ia melayani ke desa yang tak mungkin ia lupakan. Waktu itu ia bersama 15 anggota timnya melayani pada 1997 lalu ke sebuah desa di Sulawesi Selatan. Setelah mereka mengadakan KKR dan pemutaran film Yesus yang dihadiri banyak warga desa, pada malamnya mereka beristirahat, tapi muncul serangan kuasa kegelapan (baca: setan). Ketika itu, ia terbangun dari tidur dan melihat sesosok mahluk berkepala kerbau, badannya seperti manusia dan sekujur tubuhnya menyerupai kulit singa. “Saat saya bangun, saya lihat setan itu sudah memegang tombak untuk membunuh saya,” kenang Pdt. Mangentang.
“Saya sangat bersyukur, ketika bahaya muncul, saya seperti dibangunkan Tuhan. Saya percaya Tuhan menjaga dan melindungi saya. Saat berhadapan dengan setan itu, saya bangunkan semua anggota tim, saya katakan ada bahaya. Lalu kami berdoa dan menaikkan pujian. Setan bertubuh aneh itu pun keluar dari rumah yang kami tempati. Tak hanya itu, muncul lagi seekor burung kecil putih. Kami pikir itu Roh Kudus, ternyata setan yang datang menyerang. Dengan kuasa doa dan puji-pujian kepada Tuhan, setan itu menyingkir,” pungkasnya.
Pengalamannya bertemu setan itu, katanya, adalah nyata. “Saya tadinya kurang percaya dengan kuasa kegelapan. Tapi dengan pengalaman itu saya percaya setan pun ada. Kejadian aneh yang kami alami itu terjadi sekitar pukul tiga dini hari. Akhirnya sampai paginya kami tidak tidur lagi, tapi berdoa terus memuji Tuhan agar setan-setan tidak menyerang lagi. Puji Tuhan, di desa itu sekarang sudah berdiri sebuah Gereja GKSI. Baru kami tahu sekarang dulu di desa itu ada seorang dukun yang sangat marah dengan kehadiran kami saat mengadakan KKR, lalu ia menyuruh setan menyerang kami. Dan kami dapat kabar, dukun itu sudah bertobat. Dan ia bilang, Tuhan Yesus ternyata sangat hebat dan tak bisa dikalahkan,” paparnya. KKH