Narwastu.id – Maretta Dian Arthanti (Psikolog), tak pernah membayangkan sebelumnya, kalau dirinya bisa duduk sebagai anggota DPRD di Komisi II, Banten. Setelah terjun dan mengalami sendiri, matanya pun kian terbuka, bahwa sebagai wakil rakyat harus memiliki hati dan kepekaan untuk dapat meresponi suara masyarakat agar apa yang dibutuhkan mereka dapat terjawab.
Sangat disadari bahwa berlaga dalam kancah politik merupakan pengalaman baru yang dijalani. Sis Maretta, demikian sapaannya, tidak terlalu menargetkan harus menang, namun bisa berjuang bersama, memperkenalkan PSI (Partai Solidaritas Indonesia) sebagai partai baru dan memberikan harapan baru, serta partai yang memiliki idealisme kebangsaan dan milenial rasanya sudah cukup membahagiakan. Terlebih lagi ketika ternyata justru ibu dari satu anak inilah yang mendapatkan suara tertinggi di tingkat provinsi. “Saya menyadari bila keberhasilan ini bukan murni usaha saya seorang diri. Tapi dari totalitas suara partai untuk mendorong ke satu kursi di provinsi dan tentunya juga kerena perkenanan Tuhan dan pekerjaan tangan Tuhan,” terang Maretta soal proses awalnya bisa berhasil menjadi anggota DPRD Banten.
Tanggung jawab yang diembannya memang tidak mudah. Di samping sebagai pendatang baru, istri dari Adrianus Agung Nugroho, S.H., M.H. yang berprofesi sebagai pengacara dan juga aktif dalam kegerakan pria sejati CMNI Banten, merasa bersyukur karena Tuhan mengirimkan penolong-penolong terbaik untuk mengawal dirinya dalam banyak hal. Seperti yang diutarakannya, tanggung jawab harus tetap berlanjut dan tangan Tuhan selalu siap menopangnya untuk mengemban tugas baru ini. Waspada itu perlu, namun khawatir yang berlebihan itu jangan. Harus cepat belajar dan tetap berjalan dalam Tuhan.
Duduk di Komisi II yang membidangi perekonomian, perempuan kelahiran Malang 30 Maret 1980 ini menjelaskan, bahwa sesungguhnya sebagai anggota dewan yang dibutuhkan bukan pendidikan ataupun gelar. Tapi justru kemampuan untuk bisa memiliki hati untuk meresponi aspirasi masyarakat. “Berpengalaman dalam dunia politik tapi minim respons nggak guna juga,” tegas Alumnus Unika Soegijapranata, Semarang, Jawa Tengah ini.
Ia pun memberi contoh, negara punya apa dan masyarakat butuh apa, nah, kitalah di tengah-tengah itu. “Bagaimana kita menerjemahkan kebutuhan masyarakat dan menjadi nyata. Bagaimana pun juga politik itu bicara tentang kekuasaan. Tapi setidaknya satu perwakilan rakyat itu ada. Saya sih tidak pesimis minimal ada perwakilan daripada tidak sama sekali,” tukasnya.
Ia sadar bahwa segala sesuatu tidak bisa dikerjakan secara sepihak, negara kita sudah membagi peran dan kewenangannya masing-masing, ada Legislatif, Yudikatif dan Eksekutif. Tiga lembaga negara ini haruslah memiliki otientasi/frekuensi yg sama untuk memajukan bangsa dan mensejahterakan rakyatnya. Terlebih, mendahulukan kepentingan rakyat di atas segalanya, dan bukan golongan apalagi diri sendiri. Sebagai kader PSI, Maretta yang mewakili daerah pemilihan (Dapil) Tangerang Selatan meliputi Serpong, Serpong Utara, Pamulang, Ciputat, Setu, Ciputat Timur, Pondok Aren ini juga mengemban tugas untuk dapat mengembangkan PSI secara luas di Banten. “Dengan posisi satu orang di Banten sebenarnya bisa menarik semangat teman-teman di Banten untuk bisa terus bersama-sama dengan PSI. Karena satu pesan yang harus saya jalankan adalah amanah dari partai, yaitu menebar kebajikan, antikorupsi dan antiintoleransi selain amanah dari rakyat,” ujarnya tersenyum.
Untuk dapat mewujudkan aspirasi masyarakat, Maretta pun langsung turun ke lapangan, baik di wilayah kelurahan atau kecamatan di daerah pemilihannya. Saat itu ia mencoba menolong seorang ibu prasejahtera yang anaknya menjadi korban pelecehan seksual oleh bapak kandungnya sendiri. Peristiwa ini membuat dirinya tidak bisa tinggal diam, membayangkan bagaimana agar anak dan keluarga ini bisa tetap memiliki masa depan. Maka ia putuskan untuk berbuat sesuatu. “Saya dampingi ke kantor polisi dan ke psikolog anak dan menguruskan permasalahan pendidikan serta kependudukan keluarga tersebut. Saya bekerjasama dengan P2TP2A, salah satu unit pemberdayaan perempuan dan anak yang menfokuskan kekerasan perempuan dan anak. Saya juga melihat banyak masyarakat yang gaptek (gagap teknologi) dan masih bingung isi formulir untuk dapat memiliki KTP. Nah, di sinilah bagaimana hak-hak sebagai warga Tangsel bisa terwujud dan saya perjuangkaan. Bersyukur dengan kewenangan saya memiliki dan link-link yang ada bisa membantu mereka,” katanya semangat. Bahagia rasanya bisa menolong masyarakat yang membutuhkan.
Membantu masyarakat tanpa memandang suku, agama dan status sosial bagi Maretta merupakan sebuah anugerah dari Tuhan yang patut disyukurinya. Baginya, panggilannya sebagai anggota dewan merupakan cara Tuhan untuk memperbesar kapasitasnya agar dapat melayani sesama. “Tuhan mau pakai saya lebih luas bukan hanya di lingkup gereja, tapi di masyarakat luas. Melayani makhluk Tuhan siapapun mereka, iya, berarti saya melayani Tuhan,” ungkap perempuan yang juga jemaat dari GBI Christ Cathedral Tangerang ini.
Di DPRD Banten total anggota dewan berjumlah 85 orang dengan kuota perempuan berjumlah 15 orang perempuan termasuk Maretta, yang satu-satunya Kristiani. Kendati demikian dirinya tidak pernah merasa sebagai minoritas, tapi punya hak dan kesempatan yang sama. Ia pun bersyukur menjadi kader PSI. Betapa tidak, dalam setiap kegiatan yang dilakukannya, di situ anggotanya dituntut untuk terbuka dan transparan. Maretta berkisah PSI memperlengkapi sebuah aplikasi agar kadernya bisa melaporkan seluruh aktivitas yang dapat diketahui oleh semua orang. Termasuk agenda dan jadwal kegiatan, sehingga tidak ada kesempatan untuk memanipulasi karena adanya kontrol yang ketat.
Kini hari-harinya disibukkan untuk dapat melayani sesuai panggilannya sebagai abdi masyarakat. Ia menyadari kalau keberhasilannya bisa duduk sebagai anggota dewan sesungguhnya hanya anugerah Tuhan dan dukungan dari keluarga tercinta dan orang-orang di sekitarnya. Walau demikian, Maretta tetap memprioritaskan keluarga sebagai urutan kedua setelah Tuhan.
Keterbukaan adalah awal dari pemulihan, itu juga ia terapkan dalam kehidupan keluarganya. Sebagai seorang istri dengan posisinya saat ini tentu memiliki kapasitas/kewenangan yang besar. Meskipun demikian, ia tetap harus tunduk pada otoritas suami dan berperan sebagai penolong dalam keluarga. Bukan perongrong. Ia merasa harus bisa bertanggung jawab sebagai istri dan ibu yang memberi teladan bagi buah hatinya. Ia pun berharap jika suatu hari nanti bisa memiliki sebuah lembaga untuk para kaum milenial yang bisa membawa milenial pada kesuksesan di dalam Tuhan. BTY