“Demikian juga kamu, hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan isterimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang” (1 Petrus 3:7).
Kali ini saya ingin mengajak pembaca kolom “Kabar Baik” ini untuk melihat pada kehidupan rumah tangga kita, khususnya pasangan suami isteri, baik yang sudah lama maupun pasangan yang baru menikah. Sebagian besar dari kita tentunya melangsungkan pernikahan kita dalam peneguhan pernikahan kudus di gereja masing-masing. Namun ada pula yang belum sempat menerima sakramen pernikahan oleh karena pasangan hidup Anda belum percaya; belum menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi.
Puji Tuhan, saya sudah mengarungi biduk pernikahan dengan isteri yang sama selama 47 tahun dan TUHAN mengaruniakan tiga anak, tiga menantu dan tujuh cucu; 4 laki-laki dan 3 perempuan. Semuanya karena kasih karunia TUHAN. Tentunya dalam kurun waktu yang cukup lama dan panjang tersebut kami mengalami pasang surut dalam berbagai bentuk, namun dengan pertolonganNya pula satu per satu rintangan kami lalui bersama.
Firman Tuhan melalui Rasul Petrus di atas cukup sederhana, jelas dan tegas, mudah dicerna sekalipun tidak serta merta mudah dimengerti. Intinya adalah bahwa sebagai seorang suami harus hidup bijaksana dan menghormati isterinya, menjaga dan melindungi isterinya yang adalah sama-sama pewaris, istilah teman pewaris bisa disalah-mengerti bahwa suami saja yang menjadi pewaris dan isteri hanya sebagai teman. Padahal pengertian yang benar adalah sesama pewaris (joint-heirs) yang tidak terpisah, dua tapi satu, satu tapi dua, bagaikan mata uang dua muka, hanya berlaku jika kedua muka ada dan tidak bercacat.
Dengan kata lain seorang suami harus berlaku bijaksana menyadari kelemahan yang ada pada isterinya, menjadi pelindung yang menjaga dan memperlakukan isterinya dengan baik. Karena isteri pada hakekat jasmaninya lebih lemah dan karenanya memerlukan perlindungan dari suaminya. Jika terjadi sesuatu pada isterinya, maka ia kehilangan warisan. Oleh karena itulah TUHAN menekankan bahwa jika sang suami tidak melakukan tanggungjawabnya, melindungi dan menjaga isterinya dengan bijaksana, maka doanya akan terhalang.
Boleh saja ia berteriak, berpuasa, berdoa berjam-jam bahkan berhari-hari, pakai berbagai bahasa, termasuk bahasa roh, akan tetapi doanya terhalang tidak sampai kepada BAPA hanya berputar-putar di sekitar dirinya. Jika tidak sampai kepada BAPA tidak ada doa yang dikabulkan. Sekarang kita bicara tentang warisan, mengapa, kok, dikatakan sebagai pewaris kasih karunia yakni kehidupan?
Pada umumnya bicara tentang warisan, orang berpikir terbatas kepada harta benda duniawi, kesenangan duniawi yang dapat dicari dari dunia, semata-mata berdasarkan materi. Jika bisa dibeli dengan uangnya, maka orang itu mengatakan, telah memiliki segalanya dalam hidup dan itu juga yang dapat diwariskan kepada penerusnya; anak-anak, cucu-cucu sampai tujuh turunan. Termasuk anak-anak TUHAN kadang-kadang lupa atau mengesampingkan kata-kata Tuhan Yesus yang dicatat oleh tiga penulis Injil,“Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?” (Matius 16:26, Markus 8:36, Lukas 9:25).
Juga kalimat-kalimat yang sudah kita kenal dan terkenal, namun tetap saja sebagian besar tidak menjalankannya, “Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai? Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu. Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Matius 6:31-33).
Dunia mencari dengan prioritas yang terbalik: a. tubuh, b. jiwa dan c. roh terbalik dengan prioritas TUHAN: a. roh (spiritual), b. jiwa (psychological), c. tubuh (physical). Oleh karena itu, tidak heran bahwa pada akhirnya hanya kepuasan sementara, bukan kebahagiaan kekal yang dirasakan. Bahkan tidak jarang justru kekayaan harta duniawi yang berlimpah – sebagian diperoleh dengan cara-cara yang bertentangan dengan perintah TUHAN – jika tidak digunakan dengan benar, menjadi bencana dalam kehidupan keluarga. Dan bencana itu diwariskan kepada generasi penerus menjadi catatan kelam dalam garis keturunan.
TUHAN menciptakan Taman Eden, lengkap untuk kehidupan Adam dan Hawa tanpa harus bekerja keras, tinggal menikmati, agar waktunya sebagian besar dipakai untuk bercengkrama dengan TUHAN. Namun karena kurang berhati-hati menerima bujukan iblis yang menyamar menjadi ular, akhirnya diusir keluar dari Taman Eden dan harus hidup dengan berpeluh, karena tanah dalam kutukan. Pernahkah kita membayangkan jika saja Adam dan Hawa patuh pada perintah TUHAN? Apa yang diwariskan mereka kepada generasi penerus adalah dunia seperti Taman Eden.
Kenyataan berbicara lain, dari generasi ke generasi manusia semakin jauh dari TUHAN dengan perbuatan mereka yang jahat, sehingga akhirnya TUHAN menjatuhkan vonis dan menghapuskan manusia dan segala isi dunia dengan air bah. Habis, tinggallah Nuh beserta dengan Isteri, anak dan menantu yang berjumlah 8 orang. Dunia baru dimulai, turun temurun sampai pada zaman Abraham. Dengan Abraham TUHAN membuat perjanjian kekal (covenant), “Berfirmanlah TUHAN kepada Abram: ‘Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu;Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat.Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat” (Kejadian 12:1-3).
Berkat ini mencakup ketiga kebutuhan manusia: tubuh, jiwa dan roh. Dan inilah yang diwariskan oleh TUHAN kepada Abraham dan semua keturunannya, termasuk kita. Dalam perjalanan terhalang karena tidak ada satu manusiapun yang sanggup menjalankan secara penuh Hukum Taurat yang mengawal berkat tiga dimensi tersebut. Akibatnya manusia kehilangan hak waris. Namun TUHAN setia dan tetap pada perjanjian kekal yang dibuat dengan Abraham.
Maka TUHAN sendiri yang turun tangan turun ke dunia dalam diri Tuhan Yesus Kristus, yang akhirnya menghilangkan tau menghapus kutuk Hukum Taurat, agar Hak Waris Abraham dapat diterima oleh keturunan atau generasi berikutnya, termasuk kita, “Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis, “Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!”Yesus Kristus telah membuat ini, supaya di dalam Dia berkat Abraham sampai kepada bangsa-bangsa lain, sehingga oleh iman kita menerima Roh yang telah dijanjikan itu” (Galatia 3:13-14).
Oleh karena itulah, TUHAN memerintahkan agar hak waris itu seperti janjiNya kepada Abraham dan Sarah, juga diterima oleh pasangan suami isteri yang menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi mereka.
Dr. Eliezer Hernawan Hardjo, Ph.D., CM (Penulis adalah salah satu Pembina/Penasihat Majalah NARWASTU)