Narwastu.id – Namanya tak asing lagi di kalangan penegak hukum. Pengacara senior ini tak seperti pengacara kebanyakan yang berpenampilan parlente, justru sebaliknya, dia menunjukkan kesederhanaan, berpakaian apa adanya. Sebagai seorang pengacara papan atas, Sugeng Teguh Santoso, S.H. yang sering dipanggil dengan sapaan Mas Sugeng atau STS. Belakangan malah dipanggil “Bapak Berpeci Hitam”, oleh kebiasaan pakai peci, panggilan itu sudah empat tahun ini disematkan padanya.
Pria kelahiran Semarang, Jawa Tengah, 13 April 1966 ini, menempuh pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Pademangan Timur, lalu melanjutkan ke SMP Negeri 42 di Jakarta dan SMA Negeri 15 di Jakarta. Tahun 1985, dia menempuh pendidikan tinggi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Jakarta, lulus tahun 1991. Dulu keluarganya tinggal di kawasan Mangga Dua Selatan, Sawah Besar, Jakarta Pusat. Di kawasan yang dikenal keras itu pula Sugeng menjalani masa kecilnya.
Tahun 2018, dirinya pernah meramaikan bursa calon Wali Kota Bogor. Sebagai pengacara senior, tentu namanya tak asing lagi di kalangan advokat. Dia punya jejak dari berbagai posisi. Saat ini namanya tercatat sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) yang diketuai Dr. Luhut Pangaribuan, S.H., L.LM. Ditanya, apa yang mendoronganya menjadi pengacara? Motivasinya tentu ingin mengabdikan seluruh hidupnya, dan sebagai pengacara ingin membela perkara bagi kaum marginal. Saat SMA di bilangan Mangga Dua, rumah orangtuanya dan warga di sana digusur.
“Saya menyaksikan rumah orangtua saya dan masyarakat pinggiran digusur. Mereka tak bisa melawan kesewenang-wenangan pemerintah waktu itu. Saat itu ada sosok pengacara yang tampil membela warga. Melihat peran dari pengacara tersebut, sejak saat itu saya terobsesi ingin membela kaum tertindas,” kisahnya. Nama advokat itu Pak Sunarto. Peran Sunarto inilah yang membantu warga yang digusur dan itu cukup untuk menggugah dirinya jadi pengacara.
Dia saksikan saat itu, warga hanya bisa menangis melihat rumahnya digusur. Tak ada yang bisa melawan. Saat itu dirinya sudah kelas tiga SMA, maka selulus SMA dia ingin kuliah hukum. Padahal ibunya hanya memberi modal hanya Rp 100 ribu, ibunya mengatakan uang itu untuk kuliah atau modal usaha. Tetapi walau jumlah uang itu tak cukup untuk kuliah, tetapi dia tetap ingin kuliah dengan dana sebesar itu.
Namun ayahnya, Samino dan ibunya Suyati sejak belia sudah mendidiknya soal nilai-nilai kehidupan, kejujuran, disiplin dan ketekunan dan berusaha maksimal agar mencapai hasil. Kenyataan itu tak membuatnya urung berusaha, justru itulah yang mendorong Sugeng mengambil sikap, tak putus pengharapan, kemudian memutuskan untuk memilih sekolah hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) dan memutar otak mencari cara untuk membiayai kuliah.
Dia kuliah niatnya untuk bisa membantu kaum yang termarjinalkan, dikriminalisasi secara hukum. “Saya menjadi pengacara tentu bukan untuk kekayaan. Saya ingin melakukan pembelaan kepada kaum marginal yang tak dapat pembelaan. Hingga sekarang saya masih terus melakukan pembelaan hukum kepada masyarakat yang dipinggirkan dan tertindas,” jelasnya. Tak berhenti di sana, Sugeng aktif dalam berbagai organisasi sosial kemanusiaan. Bermula menjadi relawan di LBH Jakarta, kemudian menjadi anggota Tim Pembela Demokrasi Indonesia (1996). Lalu pada 1997, mendirikan Serikat Pengacara Indonesia (SPI) dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI).
Bahkan, sejak tahun 2016, dia mendirikan Yayasan Satu Keadilan sebagai organisasi masyarakat sipil yang fokus terhadap persoalan penegakan hukum, HAM dan demokrasi. Dan tahun 2017, dia mendirikan organisasi berbasis masyarakat, namanya Front Pembela Indonesia. Ormas ini fokus pada kegiatan bela negara serta gerakan sosial kemasyarakatan.
Melayani di Ruang Publik
Baginya, orang yang sudah menemukan tujuan hidup akan memahami kehadirannya di dunia. Sugeng memahami, jika ada ruang lebih lebar untuk melayani dia ingin aktif di sana. Alih-alih atas keinginannya untuk melayani di ruang publik, beberapa waktu lalu dia maju sebagai calon Wakil Wali Kota Bogor. Semua dilatarbelakangi menjemput mimpi untuk mengantarkan Bogor berkeadilan sosial dan menjujung tinggi keterbukaan. Dia memimpikan di masa yang akan mendatang Kota Bogor tumbuh menjadi kota milik semua warganya dan menjadi kota yang toleran.
“Itu visi saya untuk mewujudkan dan perlunya merawat dan meneguhkan ke-Indonesia-an khususnya Bogor dengan mengedepankan Pancasila dan konstitusi dalam setiap gerak pembangunan daerah,” ungkapnya.
Dia telah menorehkan rekam jejak yang nyata. Tentu dia tak ujug-ujug masuk ke ranah lebih luas tanpa sebelumnya punya reputasi yang telah ditorehkan, sebelumnya dia telah bekerja sosial cukup lama sebelum akhirnya memutuskan masuk ke ruang publik. “Atas banyaknya permintaan untuk menangani kasus-kasus masyarakat, lalu saya mendirikan lagi empat kantor LBH Keadilan: Bogor, Sukabumi, Jakarta dan Semarang,” cetus anggota Kelompok Kerja Hukum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) ini.
Dia selalu siap mendengar, membela masyarakat dari semua lapisan tanpa kecuali. Menyediakan diri untuk aktif di ranah publik untuk memperjuangkan kepentingan semua orang. Ketika diwawancarai Majalah NARWASTU, Sugeng baru saja kedatangan rombongan dari Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang berada Raya Parung-Bogor. “Mereka sudah 14 tahun terlantar,” katanya.
Pun pada Pemilu 2019 lalu, dirinya mantap bergabung untuk berjuang bersama Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Tetapi sayang suaranya kurang ratusan suara. Namun tak ada penyesalan dalam dirinya. Toh, sudah berusaha untuk masuk ke jalur itu. Semangatnya tak pernah padam untuk memberi kontribusi bagi publik, walau bukan sebagai otoritas yang berperan membuat kebijakan publik.
Anak keempat dari lima bersaudara selalu membangun persaudaran dengan orang lain. Di atas itu semua, dia selalu membangun hubungan dengan berbagai elemen masyarakat. Termasuk misalnya organisasi Gabungan Insiatif Barisan Anak Siliwangi (GIBAS), atas persahabatan itu, dia didaulat menjadi Dewan Kehormatan di Kota Bogor.
Tetapi, walau pun berteman, kalau memang salah tak akan dibelanya. Contohnya, saat temannya Eggi Sujana membandingkan ormas dan agama, Sugeng tegas mengkritisinya dan mengatakan, agama tak dapat dibubarkan karena agama adalah konsepsi abstak manusia atas nilai-nilai ke-Tuhan-an, dan agama adalah tuntunan perilaku hidup atau nilai-nilai hidup.
“Eggi kawan saya. Walau dalam perspektif politik dan mungkin pandangan ideologis (kami) berbeda. Saya ingin mengingatkan Eggi atas dua konstatasinya. Pertama, dia keliru soal agama Kristen yang tak menganut Tuhan yang esa. Sebab agama Kristen yang menganut ajaran Trinitas beriman pada Tuhan yang esa. Demikian juga Hindu dan Budha pastinya dalam ajarannya menganut konsep Tuhan yang maha Esa,” ujarnya.
Sugeng menambahkan, kedua, bagi dia Eggi salah memsejajarkan ormas dengan agama atau keyakinan. “Agama tak dapat dibubarkan karena agama adalah konsepsi abstak manusia atas nilai-nilai ke-Tuhan-an. Agama adalah tuntunan perilaku hidup (nilai-nilai).” Demikian komentarnya di media sosial.
Garam dan Terang
Atas keaktifan dan kesohorannya, Sugeng sering diundang menjadi narasumber di radio dan televisi. Bahkan, dia juga aktif menulis berbagai artikel tentang hukum di berbagai media massa dan mengasuh rubrik konsultasi hukum di satu majalah dan mengasuh kolom hukum di satu koran harian. Ia pun pendiri dan Deputi Bidang Advokasi dan Bantuan Hukum Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) 1997-1999.
Pendiri dan Sekretaris Jenderal Serikat Pengacara Indonesia, 1997 sampai sekarang. Selain itu, dia adalah Sekretaris Majelis PBHI Wilayah Jakarta, 2001-2004. Sekretaris Majelis PBHI Wilayah Jakarta, 2001-2004. Sugeng mendirikan Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Bogor Raya (LBH KBR). Atas kepeduliannya untuk memberi diri untuk orang lain, atas komitmennya itu pula yang membuatnya memperoleh julukan sebagai “Pengacara Pembela Rakyat Kecil.”
Kebiasaan membela rakyat kecil yang sedang terbelit masalah hukum mendorongnya mendirikan lembaga bantuan hukum. Sesungguhnya apa yang memotivasi? Dia mengatakan, ingin memahami ajaran Yesus jadi garam dan terang. Bahkan, dia menyebut bahwa kehadiran Yesus ke dunia sudah tentu mengadvokasi, membela kaum tertindas. Sejalan dengan itu maka membela rakyat kecil sejak 1989 adalah bagian dari ritme hidup yang dijalaninya tiap-tiap hari. Tatkala masih kuliah, dia sudah aktif melakukan pembelaan kepada masyarakat melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
Dia selalu meneladani Yesus. Baginya, Yesus adalah advokat sejati. Sesungguhnya keluarga bukan Kristen. Justru orangtua, ayah dan ibunya belakangan menjadi orang Kristen. Malah yang lebih dahulu jadi Kristen adalah anak-anak, kakak dan dirinya, lalu 12 tahun setelah anak-anaknya menjadi Kristen baru kedua orangtuanya menjadi Kristen dan dibaptis di gereja Pentakosta.
Nun sebelum kedua orangtuanya dibaptis menjadi Kristen, mereka bersaudaralah yang terlebih dahulu jadi Kristen. Waktu itu, ada guru yang hendak mengundangnya ikut Sekolah Minggu. Luar biasanya justru orangtua memperbolehkan mereka kakak-beradik. Di masa kecil itu memberi bekal bagi dirinya, bukan saja hanya sebagai berlabel beragama Kristen, tetapi Sugeng memiliki pengalaman berjumpa dengan Yesus secara pribadi. Lahir baru, jadi manusia baru.
Tentu bukan narasi pertobatan spektakuler yang dialaminya, tetapi kesadaran penyertaan Tuhan yang nyata. “Bukankah itu penyertaan Tuhan sejak kecil kami bisa bertumbuh di Sekolah Minggu dan orangtua tak melarang!” Itu sebabnya, bagi dia, orang yang sudah mengalami perjumpaan dengan Tuhan niscaya akan memberi dampak yang baik bagi lingkungannya, dan tak hanya menyimpan perjumpaan itu hanya pada dirinya. “Apa yang saya jelaskan di atas bahwa kita mampu memberi dampak jika kita berjumpa secara pribadi dengan Tuhan. Oleh karena dalam diri kita berkarya Roh Kudus. Tak mungkin bisa membawa dampak jika itu hanya kemampuan manusia,” ujarnya.
Atas keyakinan itu, perjumpaan itu membuat dia tercerahkan untuk memberi dampak bagi orang lain dari hasil perjumpaannya. Maka sejak kelas dua SMA dirinya sudah mempersembahkan diri melayani, menjadi guru Sekolah Minggu di GPIB Sion, di situ dirinya terdaftar sebagai anggota jemaat dan bertumbuh sebagai seorang Kristen. Bahkan, sampai menjadi advokat pun dirinya masih sempat jadi guru Sekolah Minggu selama 16 tahun.
Sudah pasti anak Tuhan yang berjumpa dengan Tuhan memberi dampak bagi lingkungannya. Namun dia juga prihatin oleh karena kurangnya kesehatian anak-anak Tuhan, termasuk gereja yang sibuk hanya memikirkan diri sendiri hingga tak sempat memikirkan orang lain. “Permasalahannya sekarang gereja-gereja itu orang-orang yang diberkati, tetapi tak memberi dampak. Kekuatannya tak dimanfaatkan dengan baik. Mengapa? Oleh sebab mereka takut,” ujarnya. Justru di sanalah Sugeng berani aktif memberi peran.
Dirinya menyadari perlunya sinergi antarseluruh aras gereja yang ada di Bogor. Maka di Bogor berbagai upaya dilakukannya untuk membangun kesehatian aras gereja. Dia pernah mengumpulkan 102 orang pimpinan gereja di Bogor, tetapi dia merasakan suasana tak bisa guyup. “Mereka tak bisa menikmati pertemuan itu. Oleh karena berbeda aliran, mereka seperti bertemu dengan orang asing,” ujarnya.
Memberi Dampak
Oleh karenanya, dia selalu mendorong warga gereja untuk menunjukkan kepedulian kepada sesama. “Saya mengimbau gereja-gereja dan juga para aktivis yang berlatar belakang Kristen selalu peduli terutama daerah Jawa Barat, karena Jawa Barat adalah ladang yang sangat luas,” imbaunya. Namun, faktanya mayoritas warga gereja justru sindrome inverior minoritas. “Saya mau katakan, jangan takut untuk memberi dampak sebagaimana ajaran Yesus untuk menjadi garam dan terang. Garam harus melarut. Sementara terang menerangi kegelapan. Sebab kita bukan warga negara kelas dua di negeri ini. Kita memiliki hak yang sama di negeri ini. Kita tak hendak mengkristenkan orang, tetapi menghindarkan orang dari keterbodohan dan keterbelakangan. Kita harus mencerahkan dan mencerdaskan masyarakat,” paparnya.
Lagi, tambahnya, menjadi garam berarti kita seharusnya memiliki peranan yang berguna, berguna di sini bisa diartikan juga bahwa kita bisa melakukan dan memberikan pertolongan bagi mereka yang membutuhkan. “Memberikan bantuan kepada orang lain juga akan membantu kita untuk mengubah diri kita menjadi seorang pribadi yang lebih rendah hati dan mau membantu sesama yang lebih membutuhkan, kita menjadi lebih peka dengan keadaan sekitar kita,” ujarnya lagi. Tentu, dia sadar tak semua orang bisa dibantu karena sebagai manusia memiliki keterbatasan.
Baginya, seorang yang menyebut diri pengikut Yesus mesti memberi dampak bagi lingkungannya. Jadi, orang Kristen yang baik adalah yang melayani, namun pertanyaannya sekarang adalah bagaimana pelayanan yang memberi dampak itu. Seorang Kristen harus memberi dampak pada lingkungannya.
Menurutnya, ada dua hal, yaitu mempengaruhi dan mengintervensi, tentu untuk dampak mengintervensi perlu memiliki niat baik, keinginan dan pengerakan. Tentu untuk mempengaruhi, seseorang mesti memiliki kapasitas. Seorang Kristen harus memiliki niat baik dan memiliki kapasitas untuk mempengaruhi. Sebagai advokat, Sugeng mengerti benar wilayah kerjanya untuk menegakkan kebenaran, keadilan dan hukum.
Bagi suami dari Lidya T., dan ayah dua orang anak ini, ia selalu ingin memberi dampak. “Saya letakkan kebenaran dan keadilan itu di depan, sebab itu milik Tuhan. Baru kemudian penegakan hukum, itu dibuat manusia. Orang yang memiliki konsep demikian tentu sangat dibutuhkan masyarakat. Tentu, dalam prinsip-prinsip kebenaran masyarakat yang termarjinalkan bisa terlindungi,” ujarnya mengakhiri. HM