Tulisan saya yang judulnya cukup sederhana ini memiliki kisah yang sampai saat ini tak mampu dilupakan warga DKI Jakarta. Sesederhana penampilan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat, saya pun berpendapat latar belakang pemberian bunga untuk Ahok-Djarot itu sebenarnya sangat sederhana, yakni memberi penghiburan. Warga DKI Jakarta, terutama yang memilih “Badja” (Basuki-Djarot) dalam Pilkada DKI Jakarta yang lalu sangat terpukul hatinya karena “Badja” kalah.
Maka muncul aksi memberikan bunga tanda empati/simpati kepada mereka berdua sebagai tandingan eforianya pendukung pasangan Anis-Sandi yang menang dalam Pilkada DKI Jakarta tersebut. Nah, untuk mempermudah dalam penulisan ini, saya pakai istilah “bunga untuk Ahok” saja dalam artian sudah mencakup di dalamnya sang wakil gubernur, yakni Djarot. Hm…begini, kita sudah mengetahui langsung, beberapa waktu yang lalu, di Balai Kota Jakarta penuh dengan ribuan bunga yang dikirim oleh warga DKI Jakarta kepada Ahok.
Jakarta dan seluruh Indonesia terkejut. Bahkan, pendukung Anies-Sandi pun terkejut. Namun, pada waktu itu masih dianggap biasa sajalah. Biasa itu, memberi penghiburan kepada yang kalah pertandingan he…he…he…he. Tetapi bagaimana selanjutnya? Bunga terus bergulir dikirim. Bahkan, ke kantor Mabes Polri pun dikirim. Pun, sempat dikirimkan balon-balon merah putih ke Balai Kota itu. Sampai akhirnya penyalaan “seribu lilin” plus konser lagu-lagu kebangsaan di Balai Kota, terkait dengan Ahok divonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara dua tahun, dan langsung masuk ke Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta Timur, sejenak, yang disambung ke Mako Brimob Depok.
Nah, ada apa di dalam hati warga DKI Jakarta yang berempati/bersimpati kepada Ahok, sampai-sampai mereka mengirimkan bunga? Pertama, jelas itu tanda terima kasih kepada orang yang telah membangun Jakarta dalam waktu cepat penuh dengan hati yang melayani dan antikorupsi. Manfaat pembangunan yang dilakukan, langsung terasa. Manfaat keberanian “membersihkan” DKI Jakarta dari korupsi dan pungutan liar yang bertaburan, langsung dirasakan. Maka, sangat wajar kepada sang pemimpin diberikan perhatian dan ucapan terima kasih, yakni dengan bunga.
Kedua, hati yang tidak tega melihat Ahok “dianiaya” terus oleh lawan-lawannya, yang juga ada di dalam kelompok pemenang pilkada. Siapapun, yang melihat orang yang dikaguminya diperlakukan seperti itu tentulah akan berusaha memberi kekuatan hati baginya. Dan itu disimbolkan dengan bunga. Bunga tidak akan bisa berkelahi dengan manusia “si penganiaya.” Bunga tidak memaki-maki dengan menggunakan pengeras suara. Bunga memberi warna-warni yang sedap dipandang mata dan masuk ke dalam jiwa memberi kekuatan.
Ketiga, menunjukkan kekuatan massa yang tetap ada. Artinya, dengan bunga dikirim, maka pasti ada si pengirim. Si pengirim bukan hanya satu orang, terkadang berkelompok, bahkan mewakili organisasi dan perusahaan maupun lembaga. Nah, coba dihitung jumlahnya, ternyata tidak sedikit. Inilah cara unjuk rasa dan unjuk kekuatan penuh hikmat oleh pemilih/pendukung Ahok agar tidak dicap sebagai penebar ketakutan bagi warga Jakarta.
Keempat, bunga itu sebagai tanda cinta persahabatan. Apa makna persahabatan secara hakiki? Ini dia, dalam suka-duka dihadapi bersama, saling tolong, saling menjaga, saling bicara, saling mengingatkan, dan saling menghibur. Cinta persahabatan tak bisa dibeli dengan harta dan uang. Tak sanggup itu. Yang bisa “membelinya” hanya ketulusan hati. Hati yang tulus melahirkan cinta persahabatan. Maka sangat berbahagialah Ahok dan pendukungnya. Mereka memiliki cinta persahabatan. Dan itu tulus. Tidak ditunggangi balas jasa.
Demikianlah di pertengahan tulisan ini, sudah saya ulas hal di atas. Tetapi jujur saja, masih ada yang hendak saya urai. Upaya-upaya untuk meminta Ahok dibebaskan dari vonis dua tahun penjara, terus diperjuangkan. Pun upaya untuk meringankan hukuman diperjuangkan sebagai alternatif lain. Namun, itu bukan berarti bahwa Ahok tidak siap menjalani hukuman seluruhnya bila memang “sayap keadilan” tidak pernah mau menghampirinya karena “sayap keadilan” itu tali kokangnya dikendalikan oleh si empunya “kepentingan politik tertentu” yang memiliki kuasa mahakuat/mahabesar. Ahok siap menghadapi risiko itu.
Nah, dalam suaasana seperti itulah tiba-tiba seluruh Indonesia dan dunia terbangun. Dari bunga ditambah balon dan selanjutnya lilin yang dinyalakan dengan nama “seribu lilin”, sekalipun yang menyalakannya jumlahnya lebih dari seribu orang, akhirnya kasus Ahok tak dapat lagi dicegah menjadi persoalan nasional dan internasional. Banyak negara yang mengecam hukum di Indonesia, termasuk Dewan HAM PBB! Mengapa bisa begitu?
Pertama, rakyat Indonesia yang melek media tidak bisa lagi ditipu oleh manisnya kata-kata bersayap yang diucapkan petinggi-petinggi bidang hukum dan politik. Skenario busuk sudah sangat tersebar di media sosial. Rakyat Indonesia sudah rajin membaca, sekalipun itu adalah informasi-informasi yang ada di dalam media sosial. Namun, semua itu pun diimbangi dengan membaca analisa-analisa dari pakar yang memang pemikirannya berbobot yang ditayangkan di media online maupun media cetak dan elektronik. Nah, apa sulitnya masyarakat (media) internasional membaca dan menerjemahkan itu. Menggloballah kasus Ahok. Membahanalah suara masyarakat dunia. Dan ini mungkin tidak pernah diprediksi oleh kaum pembenci Ahok.
Kedua, Ahok itu bukan lagi Ahok pribadi. Dia sudah menjadi simbol, korban ketidakadilan oleh hukum Indonesia. Maka membicarakan dan melihat Ahok itu berarti membicarakan/melihat peta kebobrokan hukum di Indonesia. Dan Ahok bukan korban yang pertama. Hanya saja Ahok menjadi yang pertama mendapat empati/simpati nasional/internasional di era Reformasi, dengan waktu yang sangat cepat. Hanya hitungan jam dan hari. Hukum dan oknum aparat hukum di Indonesia dalam kasus Ahok telah dengan tidak malu-malu bermain di atas panggung politik untuk kepentingan kelompok elite politik yang haus kekuasaan. Itu bukan rahasia lagi. Rakyat biasa di Indonesia pun sudah tahu itu. Dan semua itu jadi tontonan manusia di bumi ini.
Ketiga, rakyat Indonesia di daerah-daerah sadar betul bahwa ketidakadilan hukum di Jakarta akan berdampak juga nantinya di daerah mereka. Pun sebagai sesama rakyat Indonesia yang melihat seseorang “dianiaya” oleh ketidakadilan, padahal yang bersangkutan sudah meminta maaf, hal ini tentu saja terpatri di dalam hati/pikiran rakyat Indonesia. Tentu tidak bisa tinggal diam saja. Perlu bereaksi dengan damai. Maka muncullah gerakan moral “seribu lilin” di berbagai daerah Indonesia.
Dan itu, menurut saya, tidak akan cepat berhenti karena isinya sudah bertambah, yakni misi untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesai (NKRI) yang coba-coba diruntuhkan oleh kaum yang memulai dengan menu “ketidakadilan” hukum. Gawat ya? Baiklah, tulisan ini harus berakhir. Namun empati/simpati kepada Ahok dan “simbol” serta “spirit” yang ada dalam dirinya karena teraniaya tidak akan pernah berhenti. Akan berlanjut terus.
Oleh sebab itu saya tutup tulisan ini dengan pendekatan Kristiani, karena Ahok adalah seorang Nasrani yang taat. Di dalam Kitab Kejadian 45 ada tertulis, (3) Dan Yusuf berkata kepada saudara-saudaranya: “Akulah Yusuf! Masih hidupkah bapa?” Tetapi saudara-saudaranya tidak dapat menjawabnya, sebab mereka takut dan gemetar menghadapi dia. (4) Lalu kata Yusuf kepada saudara-saudaranya itu: “Marilah dekat-dekat.” Maka mendekatlah mereka. Katanya lagi: “Akulah Yusuf, saudaramu, yang kamu jual ke Mesir. (5) Tetapi sekarang, janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu.
Ada hakim di atas hakim, namanya Hakim Yang Agung, yakni TUHAN. KeadilanNya tak terpatahkan. RencanaNya tak terselami oleh otak manusia. KemauanNya tak bisa dicegah oleh kekuasaan manusia. Nah, apa kaitannya dengan Ahok? Tuhan izinkan segala persoalan menimpa Ahok. Karena Ahok taat kepadaNya, maka Tuhan akan menyertainya. Dan, kasus yang menimpa Ahok membuka mata hati kita semua untuk berjuang memelihara kehidupan di NKRI untuk selalu patuh pada hukum yang berlaku (konstitusi).