Narwastu.id-Saat kasus almarhum Josua Hutabarat tahun lalu ramai diperbincangkan publik, Tim Pengacara Kasus Brigadir Josua Hutabarat (Almarhum) yang di dalamnya ada Martin Lukas Simanjuntak, S.H., begitu mendapat apresiasi luar biasa dari masyarakat. Sejak penyidikan kasus Brigadir J menyebut Ferdy Sambo jadi tersangka, hingga jenderal bintang dua dari kepolisian ini dituntut jaksa penuntut umum dengan hukuman pidana mati dalam kasus pembunuhan berencana, itu semua terungkap karena kecermatan dan keberanian tim pengacaranya. Saat itu, anggota tim yang cukup menonjol adalah Martin Lukas Simanjuntak, dan tim ini dimotori Kamaruddin Simanjuntak.
Martin Lukas awalnya diajak Kamaruddin Simanjuntak, advokat vokal dan berani yang termasuk dalam “21 Tokoh Kristiani Inspiratif 2020 Pilihan Majalah NARWASTU” itu, untuk mengawal kasus yang mendapat sorotan dari tokoh-tokoh nasional itu. Ketika itu, Martin masih penuh pertimbangan. Namun setelah mendapat persetujuan dari sang istri, ia pun meminta agar anak-anaknya yang masih kecil dibawa ke Perancis untuk tinggal bersama kakaknya agar mereka lebih nyaman. Dan ia tak mau ada hal-hal yang buruk menimpa dirinya.
Ia ingin agar anaknya disekolahkan di Perancis dan dimintanya pula untuk kembali ke Indonesia setelah lulus. “Bawa anak-anak kita ke Perancis,” pintanya ke istrinya, mengingat kasus ini berisiko besar dan pasti mendapat tekanan besar. Itu dia lakukan karena tahu konsekuensi dari pilihannya mengawal kasus ini. Sebenarnya jauh sebelum perkara itu, di dunia hukum, nama Martin Lukas Simanjuntak (35 tahun) sudah mulai dikenal publik. Karena, pria Batak kelahiran Jakarta, 20 Maret 1988 ini ikut mengawal sejumlah kasus besar. Sebenarnya ia dulu bercita-cita jadi pendeta. “Saya mau jadi pendeta, tapi begitu sudah lulus kuliah ternyata janji itu ditelan kembali. Saya pengin masuk CPNS, akhirnya tak jadi juga, saya kerja swasta,” cetus pria tinggi ini.
Kemudian dalam perjalanan waktu, Martin demikian teman-temannya menyapanya, merasa terpanggil jadi pengacara. “Saya menemukan passion saya, panggilan jadi pengacara, sampai akhirnya saya tak cocok jadi wirausaha. Saya meninggalkan pekerjaan itu, saya memilih jadi pengacara,” ungkapnya. Menurutnya, pekerjaan itu sangat cocok dengan karakternya. “Ketika saya melihat ada ketidakadilan terhadap orang, terlepas kita bisa memenangkan atau tidak, tetapi setidaknya kita bisa bantu, memperjuangkan haknya dari orang yang tadinya dizalimi atau orang itu yang tadinya sudah tidak punya harapan lagi,” kata lulusan Sarjana Hukum dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta ini.
Menurutnya, orang yang bermasalah dengan hukum bisa dibantu secara hukum, dan dalam beberapa kasus Martin bisa menang, walaupun dalam beberapa kasus masih ada yang berproses. Dan ada juga yang kalah. Dia contohkan, kala dia mengawal kasus hukum seorang pengusaha dari etnis Tionghoa di bilangan Dewi Sartika, Jakarta Timur, yang mendapat perlakukan diskriminatif. Ia pasang badan, melawan oknum aparat yang selalu memeras. Ia membuat kantor pengacaranya di salah satu ruang pemilik usaha tersebut. “Pemilik gedung ini dikerjain sama oknum. Iya, oknum. Oknum banyak sekali memeras, atas nama pemerintahan Pemerintah Kota Jakarta Timur,” tegasnya lagi.
Martin menerangkan, saat gedung tersebut dibangun, sempat prosesnya dipersulit dan dirusak bangunannya dengan alasan katanya melanggar Perda. Padahal tahun 2020 Jokowi sebagai Presiden RI sudah mengeluarkan Undang-Undang Cipta Kerja yang mempermudah orang membuat izin bangunan namanya dari IMB. IMB itu bisa didapat asalkan ada PBB. “Atas dasar itu, dengan dasar Perda oknum itu menakut-nakuti pemilik bangunan, melakukan pengurusan sampai akhirnya pemilik bangunan ini takut, dan memberikan uang dengan terpaksa karena diancam, kalau tidak dilakukan akan dirubuhkan,” kisahnya.
Kemudian dikatakan penganut Kristen yang taat ini, “Klien saya ini tadinya dianggap dan selalu diasosiasikan sebagai double minority. Jadi dia tidak dipandang sampai saya balikkan kursinya saat menemui mereka,” tukasnya. Saat itu ia begitu berani mengawal perkara kliennya. Sebagai pengacara, Martin selalu mengedepankan praduga tak bersalah. “Jangan pernah kita mengamini sesuatu hal yang belum pasti. Jadi kalau kita orang percaya, iya, kita harus mengamini bahwa sekuat apapun lawan kita, kalau kita yakin kita menang, dan kalah, itu urusan belakang. Yang penting kita perjuangkan dulu dan akhirnya sekarang bangunan itu nggak ada lagi yang berani mengganggu,” kisah Martin mengawal kasus perkara kliennya hingga menang.
Dan kliennya yang dulu sasaran pemerasan oknum, kini dibuatnya nyaman. Sedangkan oknum tersebut menunduk dan merasa malu, karena tak amanah menjalankan tugas dan jabatannya. Menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan diri sendiri. Tentu, menurutnya, ada banyak jejak pengalamannya melakukan pembelaan sebagai pengacara, yang walaupun tadinya dia menyebut, awalnya kuliah di Universitas Kristen Indonesia seperti kecelakaan. Tetapi selulus tahun 2005 ia bergelut sebagai penggiat hukum. Mahasiswa S2 Fakultas Hukum di Universitas Trisakti, Jakarta, ini sekarang bergabung juga dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Sebagai pengacara, imbuhnya, lebih baik kalah dengan proses yang baik. “Kalah dengan terhormat itu baik, dari pada menang karena menyogok. Begitu sekali kita melakukan itu, iya, itu akan berulang. Percaya sama saya, itu orang pasti akan berulang. Nggak ada istilahnya sekali sajalah, habis itu kita nggak begitu lagi,” pungkasnya.
“Sekali kita lakukan itu, akan ketagihan dan akan menjadi kebiasaan, yang akhirnya kita ulang-ulang. Dan menurut saya, nggak usah lagi di masyarakat. Ini ada selalu ungkapan tendensilah, pengacara membela yang bayar begitu. Tetapi faktanya kita tahu banyak pengacara menangani perkara yang probono, tidak pernah memikirkan imbalan,” terangnya tentang profesi mulia sebagai advokat. “Makanya, kalau saya berlaku di kantor, yang kaya bayar yang miskin, atau tidak mampu gratis. Tapi bukan berarti yang miskin gratis ini kita perlakukan berbeda dengan yang kaya, nggak,” ujar anggota jemaat Gereja HKBP Pondok Bambu, Jakarta Timur ini.