Ramles M. Silalahi Dulu Aktivis Kampus Kini Profesional dan Cendekiawan

588
Ramles M. Silalahi figur nasionalis dan religius.

Narwastu.id – Pada akhir September 2022 lalu, Majalah NARWASTU berkesempatan berbincang-bincang dengan seorang figur nasionalis dan religius, yang semasa mahasiswa di Institut Teknologi Bandung (ITB) dikenal figur yang vokal dan berani kala mendemo penguasa. Tak ayal, ia pun pernah dipenjarakan penguasa. Ramles Manampang Silalahi, di kalangan aktivis mahasiswa di ITB tahun 70-an sudah tak asing lagi. Pria Batak yang kini dikenal rohaniwan, cendekiawan dan profesional serta aktif di berbagai organisasi ini menyampaikan testimoninya yang inspiratif, dan menarik disimak. Berikut penuturan Ramles yang direkam majalah kesayangan kita ini. Bulan September 1977, DPR yang masa jabatannya masih sisa satu bulan telah dinyatakan bubar. Delapan orang pimpinan Dewan Mahasiswa dari tiga universitas terkemuka, yakni UI, ITB dan IPB, kemudian memasuki Gedung DPR/MPR di Senayan, memproklamirkan terbentuknya DPR Sementara. Alasan deklarasi ini karena terjadi kevakuman lembaga legislatif, DPR yang baru terpilih belum dilantik, sementara DPR yang lama dibubarkan, politik dan media pun heboh.

Atas deklarasi tersebut, 8 pimpinan mahasiswa dinyatakan makar dan sebagai buron akan ditangkap. Maklum saat itu situasi masih era kediktatoran Presiden Soeharto. Saya (Ramles Manampang Silalahi) yang mewakili ITB kemudian ditunjuk sebagai juru bicara DPR Sementara tersebut dan bertugas membuat siaran pers dan wawancara dengan para wartawan. Tentu ini atas dasar latar belakang saya sebagai wartawan kampus saat itu.

Kurang dari seminggu, pagi subuh di tempat persembunyian rumah pengusaha Dr. Rosita Noor, pimpinan mahasiswa digrebek dan ditangkap oleh pasukan militer bersenjata. Tidak ada insiden, tidak ada perlawanan, dan kami semua langsung dibawa ke Markas Kodam Jaya di Cililitan. Teror pun dimulai, interogasi berlangsung selama 14 jam hingga pukul 2 subuh, tidak berhenti. Sangat melelahkan.

Saya sebagai juru bicara DPR Sementara menjadi sasaran utama. Petugas berganti-ganti bertanya tentang berbagai hal, maksud tujuan deklarasi, siapa inisiator, siapa pendukung dan siapa saja yang kami temui sebelum deklarasi DPR Sementara itu. Mereka terus mencecar, bahkan selagi makan malam pun, kita terus ditanya tanpa henti. Mereka bergantian, tetapi bagi kita yang terus menerus diinterogasi jam terasa sangat berat dan melelahkan. Informasi yang kami berikan juga mereka cross-check dengan teman-teman berdelapan yang diinterogasi di ruangan terpisah. Sampai akhirnya jam 2 pagi, barulah interogasi dihentikan. Sangat jelas interogasi 14 jam ini merupakan tekanan psikologis agar kami mudah menyerah. Hal yang menakutkan lagi, setelah interogasi itu, saya kemudian dimasukkan ke mobil pick-up, dibawa ke suatu tempat di tengah malam. Sendiri. Mereka menutup mata dengan kain hitam. Gelap. Sebagai orang yang tidak tahu Jakarta, saya mencoba cuek saja, meski rasa takut mencuat kalau-kalau saya disiksa sebelum dibunuh.

Mobil itu berjalan hampir satu jam dan kemudian berhenti di suatu tempat. Tutup mata saya dibuka, dan tempat itu seperti sebuah komplek perumahan. Saya kemudian dimasukkan ke dalam satu kamar di salah satu rumah. Di dalamnya hanya ada tempat tidur velbed lipat tentara dengan rangka besi dan terpal hijau. Lampu mati dan gelap gulita. Saya dibiarkan di dalam. Namun tak lama kemudian seseorang masuk dan mengambil kabel gantungan lampu dan bohlamnya. Saya baru tahu kemudian, kalau itu merupakan tindakan pencegahan orang bunuh diri dengan kabel lampu. Saya mencoba tidur dan bersyukur sebagai orang yang mudah tidur, saya langsung terlelap hingga pagi hari. Penahanan kami mengundang gelombang protes besar mahasiswa yang terjun ke jalan. Atas desakan mahasiswa untuk membebaskan kami berdelapan, Pangkopkamtib Laksamana Sudomo pun kemudian membebaskan kami setelah satu minggu di tahan. Tentu ini dengan jaminan rektor masing-masing bahwa kami tidak akan melarikan diri.

Ramles M. Silalahi Ketua Umum Gaja Toba yang pertama.

Tetapi pemerintah juga menyadari kebenaran tindakan kami, menjadi pelajaran berharga bagi konstitusi RI, sebab setelah tahun 1977 itu, istilah DPR dibubarkan sebelum DPR baru dilantik kemudian ditiadakan, dan hanya disebut DPR memasuki masa reses hingga yang baru dilantik. Kerjasama mahasiswa dalam memproklamasikan DPR Sementara oleh aliansi tiga kampus besar, rupanya menyadarkan para pimpinan dewan mahasiswa se-Indonesia bahwa mahasiswa dapat bekerjasama. Inisiatif untuk berkumpul ternyata ada pada ITB. Saya pun kemudian ditunjuk menjadi Ketua Panitia Pertemuan Dewan/Senat Mahasiswa Se-Indonesia di Bandung. Dan kami sebagai panitia berbagi tugas berkeliling Indonesia untuk mengundang dan meyakinkan sudah saatnya mahasiswa bangkit bergerak menuntut Presiden Soeharto turun. Peristiwa demonstrasi mahasiswa 15 Januari 1974 yang dijadikan momok kambing hitam gerakan mahasiswa, saat itu mulai hilang.

Pertemuan pimpinan Dewan/Senat Mahasiswa Se-Indonesia pun terlaksana dan berjalan lancar. Pada akhir pertemuan, dikeluarkan Pernyataan Sikap DM/SM Se-Indonesia 1977. Pernyataan berisi tiga butir, menohok langsung dengan poin ketiga berbunyi, “Kami DM/SM Se-Indonesia menuntut diadakanmya Sidang Istimewa MPR untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Soeharto.” Ini jelas pernyataan yang keras, sebab sebelumnya pernyataan dan tuntutan mahasiswa belum pernah langsung kepada Presiden Soeharto. Pasca pernyataan sikap itu, gerakan mahasiswa pun semakin besar, dan pada bulan Januari 1978 Dewan Mahasiswa ITB mengeluarkan Buku Putih yang dengan tegas menyatakan “Tidak Mempercayai lagi Soeharto Sebagai Presiden.” Atas pernyataan tersebut, dalam hitungan hari, seluruh kampus di Indonesia diserbu dan diduduki militer. Para pimpinan mahasiswa ditangkap dan dipenjarakan, termasuk saya yang diciduk tengah malam. Ada ratusan mahasiswa yang ditangkap dan dipenjarakan di rumah tahanan militer di Jalan Jawa, Bandung. Namun, pelan-pelan hanya pimpinan yang ditahan dan kemudian dipindahkan ke LP Sukamiskin Bandung.

Pengalaman satu tahun di penjara membawa banyak manfaat bagi kehidupan saya, termasuk pertama kalinya membaca Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu. Waktu yang banyak dipakai untuk membaca buku-buku yang dengan mudah kami dapatkan. Status tahanan politik memang membuat posisi kami berbeda dengan tahanan lain, yang umumnya tahanan kriminal.

Saya dipenjara hampir satu tahun. Pengadilan mahasiswa dilaksanakan serentak, namun lebih bersifat panggung sandiwara. Saat itu seluruh ahli hukum ikut menjadi pembela mahasiswa, seperti Bang Adnan Buyung Nasution, Haryono Tjipto, Sukardjo, Albert Hasibuan dan lainnya. Saya menulis buku pembelaan dengan judul “Indonesia: Dari Abu-abu ke Kelabu.” Ini terinspirasi pembelaan Soekarno di pengadilan zaman Belanda, “Di Bawah Bendera Revolusi.” Namun oleh hakim semua mahasiswa dijatuhi hukuman penjara. Hanya sisi bagusnya, hukuman yang diberikan disesuaikan dengan masa tahanan yang kami sudah dijalani, sehingga setelah pengadilan, semua pimpinan mahasiswa bebas tapi dengan status telah terpidana.

Akhirnya, kami semua pimpinan mahasiswa naik banding, dan setelah Presiden Soeharto turun pasca krisis moneter 1998, seluruh mahasiswa yang dihukum dinyatakan bebas tidak bersalah. Puji Tuhan. Setelah keluar dari penjara, saya fokus menyelesaikan kuliah, sebab mengingat pesan ayah saya yang berkata dari balik terali besi saat berkunjung ke Bandung, yakni tujuan saya ke Bandung adalah untuk menjadi sarjana. Meski ia bangga saya aktif di kampus dan menjadi pemimpin mahasiswa, pesan ayah sangat jelas, saya harus lulus dari ITB. Puji Tuhan, saya pun lulus dengan baik.

Ramles M. Silalahi dalam sebuah acara bersama Jenderal TNI (Purn.) Luhut B. Panjaitan.

Pilihan Berpolitik atau Profesional

Setelah lulus, saya berkonsultasi dengan Abang Letnan Jenderal T.B. Silalahi yang sudah saya kenal lama di Bandung. Saya juga bertemu dengan tokoh-tokoh politik berlatar belakang aktivis mahasiswa, seperti Bang Hariman Siregar, Sarwono Kusumaatmadja dan lainnya. Sementara itu, saya terus belajar menjadi aktivis politik bersama Hariman Siregar. Untuk menutupi kebutuhan hidup saya lakoni menjadi penulis lepas di Harian “Sinar Harapan.” Ini berlangsung selama setahun, dan hidup menumpang di rumah keluarga tidak perlu berbayar. Namun, peristiwa menikahnya kakak saya, membuat kesadaran timbul, tidak mungkin hidup tanpa kejelasan masa depan. Memang sudah ada teman yang berangkat ke Amerika Serikat untuk studi, dan ada yang tetap bertahan sebagai aktivis politik. Tapi saya memutuskan ingin bekerja dulu sebagai profesional.

Mimpinya, tentu suatu saat akan kembali aktif di politik. Saya pun mulai bekerja di group perusahaan Pak Siswono Yudohusodo. Dan hanya dalam hitungan bulan setelah bergabung, saya diangkat menjadi manager produksi, diberi fasilitas mobil. Bahkan, saya terpilih menjadi Manager Terbaik dalam masa pendidikan Para manajer di group perusahaan tersebut. Ini sangat menyenangkan hati. Setelah tiga tahun mendalami produksi dan personalia (human resources), timbul keinginan untuk mendalami bidang penjualan, yang menurut saya, penting untuk pengambangan karier ke depan. Setelah diajak teman serumah dulu di Bandung, saya pun pindah ke perusahaannya. Mulailah belajar menjual barang, seperti alat-alat teknik, oli mesin, dan produk lainnya. Dalam suatu kesempatan, saya bertemu dengan Bapak Fadel Muhammad yang saat itu menjabat Direktur Utama Bukaka Group. Kami sudah berteman lama saat mahasiswa, bersama sebagai wartawan majalah di kampus. Langsung ia meminta saya pindah ke Bukaka, meski saat itu saya sedang negosiasi dengan sebuah perusahaan besar di Jawa Tengah. Namun Pak Fadel memberi saya penawaran lebih baik, termasuk fasilitas mobil sedan dan supir pribadi. Haleluya, saya pikir dalam hati.

Saya pun pindah ke Bukaka menjadi asistennya Pak Fadel. Saat itu banyak sekali order karena kedekatan hubungan Bukaka dengan Menteri Pak Ginanjar Kartasasmita, dan Bukaka juga dianggap menjadi simbol kekuatan produksi dalam negeri. Apa saja kebutuhan pemerintah berupa peralatan konstruksi yang tadinya impor, kami selalu diminta mencoba untuk memproduksinya

Karier saya melesat dengan cepat, dan hanya dalam tiga tahun saya sudah diangkat menjadi direktur anak perusahaan. Malah kemudian, saya memegang pengembangan bisnis group, khususnya pengambilalihan dan pembentukan perusahaan baru patungan dengan asing. Bahasa Inggris saya menjadi andalan untuk bisa ditunjuk memegang posisi tersebut. Saya juga mengambil kuliah MBA untuk lebih dalam mengetahui keuangan dan akuntansi perusahaan. Bahkan, Pak Fadel memperkenalkan konsep intrapreunership, yakni para profesional ikut sebagai pemegang saham, meski minoritas. Saya pun termasuk yang diberi saham di beberapa perusahaan.

Sebelum terjadinya krisis moneter, ekonomi Indonesia bertumbuh sangat cepat. Kredit bank sangat mudah didapatkan dan sektor properti bertumbuh sangat cepat. Peluang ini pun kita ambil. Saya bertugas mengambil proyek-proyek baru, dan ada banyak mega proyek kita dapatkan. Ada dua jalan tol Ciawi-Sukabumi dan Pasuruan-Probolinggo, usaha patungan dengan Daewoo Electronik Korea membangun industri elektronik di Cikarang, kemudian bekerja sama dengan Bakrie dan Gunanusa untuk membangun kilang minyak (refinery).

Sektor keuangan kita juga masuki, yakni dengan mengambil alih Bank Intan, Asuransi Jiwa serta Asuransi Kerugian. Puncaknya, Bukaka membuat berita, dengan mengambil alih proyek petrokimia Golden Key yang saat itu bermasalah karena pemiliknya Edy Tanzil melarikan diri. Pinjaman senilai Rp 1,3 triliun ke Bapindo, macet. Proyeknya terbengkalai. Atas inisiatif saya mengundang mitra Korea dan Jepang, pemerintah kemudian menunjuk kita Bukaka untuk meneruskan proyek macet tersebut.

Sayangnya, ada gula ada semut. Humpus, perusahaan Tommy anak Presiden Soeharto juga berminat ikut dalam pengambilalihan tersebut. Situasinya bertambah rumit tatkala hubungan pribadi Bapak Jusuf Kalla dan Fadel Muhammad mulai memburuk. Ibarat bermain silat, saya yang menjadi penanggungjawab semua proyek tersebut, mencoba melakukan langkah-langkah strategis agar semua dapat diteruskan dan diselamatkan. Sayangnya, hubungan Pak Jusuf Kalla dengan Pak Fadel Muhammad tidak tertahankan lagi, akhirnya pisah gono-gini. Di tengah situasi konflik itu, tidak terduga, krisis moneter 1997-1998 melanda Asia dan paling parah yang terdampak adalah Indonesia. Ekonomi mandek, bunga pinjaman melangit, dan pinjaman dolar yang selama ini disukai para pengusaha karena tingkat bunganya rendah, kini menjadi bencana. Persoalan terberat adalah Bank Intan, karena memakai dana BLBI yang cukup besar, meski saya tidak terlibat dalam manajemen dan operasinya, karena ditugaskan di sektor Asuransi dan konstruksi.

Pak Fadel pun terkena gugatan pailit dari sebuah bank. Situasi ini memperburuk gerak kita untuk mencoba pulih. Dan, akhirnya Pak Fadel memilih menjadi Gubernur Provinsi Gorontalo, atas penunjukan langsung Pak Habibie. Saya dan teman-teman merasa ditinggalkan, dan akhirnya ditugaskan untuk menjual dan menutup semua perusahaan yang kita bangun bersama. Situasi ini membawa saya jatuh sakit. Penyakit vertigo yang sudah muncul beberapa tahun sebelumnya, semakin parah dan sering tidak tertahankan serangannya. Dunia sering dirasakan berputar bagaikan roller coaster dan jelas ini sangat membahayakan. Semua ini membawa saya kemudian rajin berdoa dan beribadah. Akhirnya saya putuskan untuk masuk dalam pelayanan, sebuah janji iman.

Ramles M. Silalahi dalam sebuah kesempatan bersama Purnomo Yusgiantoro.

Untuk memperkuat pengetahuan, saya belajar teologi, sambil menyelesaikan permasalahan pinjaman ke bank yang sudah diambil alih oleh BPPN saat itu. Kehidupan dan pikiran lebih fokus untuk melayani Tuhan dengan harapan penyakit vertigo yang dialami sembuh. Puji Tuhan, setelah melalui rangkaian doa dan puasa yang panjang, serta kuliah teologi mengambil magister, dan rajin mengikuti ibadah-ibadah penyembuhan, atas pertolongan Tuhan, penyakit vertigo saya kemudian sembuh melalui pengobatan di Rumah Sakit Singapura.

Pelayanan Penuh Waktu

Sesuai dengan janji kepada Tuhan saat sakit, yakni bila sembuh akan melayani maka setelah urusan penyelesaian hutang-hutang perusahaan beres, dan saat bersamaan saya juga selesai menyelesaikan studi Doktor Ministry, saya mulai masuk ke dalam pelayanan penuh waktu. Dimulai dengan panggilan sebagai Penatua di GKI Kebayoran Baru, Jalan Panglima Polim, Jakarta Selatan. Janji kepada Tuhan dilakukan dengan berhenti total sebagai profesional. Hidup diisi dengan mengajar di beberapa kampus sekolah teologi, dan menulis artikel di majalah GKI. Saya pun diminta menjadi Sekretaris Umum Majelis Jemaat dan menjadi pekerja penuh waktu alias Penatua yang digaji bulanan.

Masa paling menggairahkan saat melayani di GKI, tatkala terjadi gempa di Mentawai, pasca gempa di Aceh yang sangat dahsyat Desember 2004. Hanya beberapa hari setelah gempa, saya dan kawan-kawan dari GKI dan UKI, telah berada di Kota Padang membawa bantuan pangan. Sayangnya, ombak masih besar sehingga tidak ada kapal yang bersedia mengangkut ke Pulau Mentawai. Syukurlah atas bantuan TNI-AL yang salah satu pusatnya memang ada di Padang, kita pun diangkut memakai kapal perang ke Mentawai. Ombak besar tidak terlalu berpengaruh dan kapal aman mendarat bersama bantuan yang kita bawa. Penduduk sangat bersyukur atas bantuan yang tiba tersebut. Bahkan kemudian rangkaian bantuan dari GKI mengalir ke Gereja Mentawai, termasuk rehabilitasi gereja-gereja yang rusak oleh gempa. Kita juga memberikan pelatihan kepada para tukang dan program pemberdayaan masyarakat melalui pertanian dan peternakan.

Mengingat masa pelayanan Penatua terbatas waktunya, dan adanya Kerjasama GKI Kebayoran Baru dengan STT SETIA yang saat itu terusir dari kampusnya di Kampung Pulo, Jakarta Timur, saya pun diminta menjadi tenaga penuh waktu di SETIA, dengan tugas mengajar dan mengembangkan manajemen gereja Sinode GKSI yang mereka miliki. Saya bersedia dan melepas jabatan penuh waktu di GKI meski jabatan penatua tetap saya selesaikan. Ini penting bagi kita, harus menganggap tumpang tangan oleh pendeta itu mengikat, jangan meremehkan dengan alasan apa pun. Tumpang tangan berlaku saat baptis, sidi, nikah, penerimaan jabatan, dan prosesi lainnya menurut aturan gereja. Panggilan melayani penuh waktu semakin ditekuni dan saya mulai menulis buku-buku pegangan yang dibutuhkan oleh mahasiswa dan hamba Tuhan Sinode GKSI yang melayani yang jauh di desa-desa.

Beberapa buku pedoman iman, persekutuan, liturgi, administrasi gereja dan lainnya, yang sebelumnya belum dimiliki sekolah dan gereja, saya tulis dan meminta teman-teman pengusaha sebagai sponsor untuk mencetak buku agar dapat dibagikan kepada hamba-hamba Tuhan. Sebagai dosen beberapa mata kuliah, saya pun otomatis terus rajin membaca buku untuk dapat dipakai sebagai bahan ajar kepada para mahasiswa. Pada masa itu membeli buku dengan dana sendiri tidak masalah, sehingga perpustakaan saya semakin penuh yang memudahkan untuk mendalami hal-hal teologia. Memang kemudian, karena kebanyakan, buku-buku ini saya sumbangkan ke sekolah-sekolah teologia di daerah mengingat mereka kesulitan untuk membeli dan pengadaannya. Saya juga membuat website sinode untuk menulis setiap minggu bahan khotbah bagi hamba-hamba Tuhan yang tersebar, dan mereka membacanya sebagai dasar khotbahnya. Kita memilih mengikuti leksionari agar lebih sistimatis sesuai dengan kalender gereja.

Selain bahan khotbah tentu juga tentang gereja dan perkembangan teologia lainnya. Rutinnya menulis di website ini selama bertahun-tahun ini membuat kumpulan khotbah yang saya tulis semakin banyak, dan kemudian saya mulai membukukannya. Kondisi keuangan STT SETIA dan Gereja GKSI yang selalu minim membuat saya tidak tega untuk melanjutkan pelayanan di tempat tersebut. Saya tidak ingin menjadi beban, sebab tujuan saya melayani adalah berusaha menjadi berkat, bukan menjadi beban.

Ramles M. Silalahi sering bertukar pikiran dengan Jenderal TNI (Purn.) Luhut B. Panjaitan.

Setelah berdiskusi dengan pimpinan sekolah yang sekaligus merangkap pimpinan sinode, saya diperbolehkan kembali bekerja sebagai profesional namun tidak boleh meninggalkan pelayanan. Bahkan, kemudian saya ditawarkan untuk ditahbiskan menjadi pendeta gereja tersebut dengan tugas terus melakukan pembinaan-pembinaan kepada hamba-hamba Tuhan di daerah-daerah.

Setelah berdoa atas tawaran itu, saya pun terima sekaligus memulai perjalanan kunjungan-kunjungan ke seluruh cabang yang ada di Indonesia. Puji Tuhan, sampai saat ini saya sudah berkeliling ke semua wilayah provinsi di Indonesia, termasuk beberapa di antaranya saya lakukan setelah saya menjadi pendeta emeritus.

Kembali Sebagai Profesional

Dengan persetujuan tersebut, maka saya memulai kehidupan “dua kaki”, separuh kembali menjadi profesional bisnis, dan separuh tetap dalam pelayanan di SETIA. Dengan jaringan dan hubungan yang ada serta nama baik dan pengalaman kerja sebelumnya, saya tidak sulit mendapatkan kerja di perusahaan. Dimulai dari perusahaan teman sebagai manajer dan dengan cepat menjadi direktur perusahaan minyak, saya pun menjalani dua kehidupan tersebut bersamaan. Tapi oleh karena tersitanya waktu dalam pekerjaan di tempat teman tersebut, yang membuat tidak bebas waktu untuk melayani, dan ada penawaran yang datang dari teman lain, yakni Istech Group, maka saya pun pindah kerja dengan posisi penasihat senior. Ini membuat waktu saya semakin banyak dalam pelayanan. Saya juga bisa melakukan perjalanan ke daerah-daerah untuk melakukan pembinaan dan juga persiapan pos-pos pekabaran Injil yang baru.

Kehadiran bersama ketua sinode seringnya sangat menyenangkan hati hamba-hamba Tuhan yang kita kunjungi. Bagi mahasiswa juga mereka bersemangat untuk berbicara dengan kita tentang berbagai hal menyangkut masa depan SETIA dan lainnya. Dan tentu utamanya, selain materi pembinaan yang kita berikan, kita biasanya makan bersama dengan lauk yang lebih enak, merupakan penambah semangat mahasiswa dan para hamba Tuhan.

Pemegang saham tempat saya bekerja kemudian melihat kemampuan yang saya miliki, sebagai lulusan ITB dan aktivis pimpinan mahasiswa, sehingga jaringan pergaulan dan kenalan sangat luas. Selain kemampuan dalam bidang keuangan, akunting dan hukum dengan pengalaman di Bukaka Group, membuat saya diminta sebagai komisaris perusahaan. Tentu tugasnya tidak bertambah banyak, namun tanggungjawabnya yang bertambah. Fasilitas juga dari perusahaan setara dengan eksekutif perusahaan, yang membuat saya menikmati dengan tetap bersyukur.

Ramles M. Silalahi di sebuah acara Kerukunan Masyarakat Batak (KERABAT) disematkan ulos oleh Ketua Umum DPP KERABAT Dr. H.P. Panggabean, S.H., M.S., yang juga mantan Hakim Agung MA-RI.

Selain sebagai komisaris di perusahaan induk, saya juga diminta sebagai komisaris di anak-anak perusahaan dan juga penasihat senior di group, yang meliputi perusahaan di luar negeri, seperti Singapura, Myanmar dan Angola. Namun setelah 10 tahun di perusahaan tersebut dan ada rencana lain, saya meminta pensiun, ingin melakukan hal yang berbeda dalam hidup. Namun karena perusahaan masih membutuhkan, saya diminta tetap sebagai penasihat hingga pensiun total di usia 66 tahun. Sungguh bersyukur atas semua yang saya jalani dapat melakukan pelayanan dan juga sebagai profesional di bidang usaha. Sesuai janji saya kepada Tuhan, saya tidak ingin menjadi beban gereja atau lembaga Kristiani dalam pelayanan, melainkan sebagai berkat yang dapat mendukung pelayanan sesuai amanat Tuhan Yesus kepada semua orang percaya, khususnya yang dipanggil dan diteguhkan sebagai hamba Tuhan.

Memasuki Pelayanan Non-Mimbar

Setelah memasuki usia 60 tahun dan sesuai AD/ART gereja, saya memohon memasuki pendeta emeritus. Meski saya belum merencanakan apa pun terkait pelayanan ke depan. Permohonan saya menjadi pendeta emeritus lebih kepada ingin menjauh dari konflik yang terjadi di tubuh gereja tersebut. Sebagaimana konflik, pasti semua pihak kecil besar memberi kontribusi terjadinya konflik, apalagi saya melihat tidak mudah mencari jalan keluarnya. Tugas panggilan memberitakan Injil tentu tidak berhenti setelah saya memasuki emeritus. Sejak tahun 2016 saya terus mengirimkan renungan firman Tuhan setiap hari kepada 35 group WA dengan anggota ribuan orang percaya. Untuk Hari Minggu saya tulis sendiri dengan tag KABAR DARI BUKIT. Hingga saat ini sudah berlangsung 7 tahun dan khotbah-khotbah tersebut telah dibukukan dan dapat diakses gratis secara digital di website www.kabardaribukit.org yang saya kelola sendiri. Website ini juga banyak dikunjungi oleh para hamba Tuhan sebagai bahan referensi khotbah mereka di Hari Minggu berikutnya, sebab saya posting setiap hari Senin pagi.

Sampai saat ini jika termasuk kumpulan khotbah, sudah ada 13 buku yang ditulis dan beberapa di antaranya dijual melalui online, selain dipakai oleh pegangan gereja, seperti pedoman iman, buku liturgi dan pedoman administrasi gereja. Saya memiliki kerinduan agar Tuhan kiranya memberi kesempatan saya menuliskan semua nas sesuai leksionari, yakni Alkitab dibagi dalam 12 tahun secara sistematis. Ini berarti saya akan menulis khotbah hingga tahun 2027 nanti.

Selain menulis khotbah melalui grup WA, Facebook dan website, saya juga melakukan siaran di Radio RPK dan Heartline setiap hari Jumat sore, dengan tagline kabardaribukit. Ini tentu memenuhi panggilan untuk terus memberitakan Injil dan semakin banyak orang mengenal Tuhan Yesus dengan Pribadi dan kuasaNya yang sungguh besar dan ajaib.

Tetapi jalan Tuhan tetap sebuah misteri. Hanya dalam beberapa bulan saya ditetapkan melalui ibadah memasuki pendeta emeritus, teman-teman alumni ITB Batak Kristen berkumpul ingin membentuk organisasi alumni ITB untuk mendukung pembangunan Kawasan Danau Toba yang sedang digencarkan pemerintah, yakni Kawasan Danau Toba masuk sebagai destinasi pariwisata prioritas.

Ramles M. Silalahi bersama Menteri BPN/ATR dalam sebuah acara diskusi tanah ulayat di Toba, Sumatera Utara.

Pada peringatan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2016, berdirilah Perkumpulan Gaja Toba, sebuah organisasi resmi dengan akte notaris. Alumni ITB Batak Kristen diperkirakan ada 4.000 orang, sehingga sangat potensial untuk ikut membangun Kawasan Danau Toba (KDT). Gaja Toba sendiri tidak membedakan puak-puak dan semua puak diajak untuk masuk bersama-sama membangun kampung halaman. Saya pun terpilih sebagai ketua umum pertama organisasi tersebut.

Kami memulai program pelayanan di bidang pendidikan, sebab kita melihat melalui pendidikan jalan yang tepat dan berdampak panjang untuk kemajuan masyarakat di Kawasan Danau Toba. Kita langsung membuka program bimbingan belajar gratis untuk para siswa kelas 3 SMA, sebanyak 60 orang tiap kabupaten. Mereka diseleksi dan memang berniat melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi.

Pada awal program kita juga memberikan motivasi dengan pembicara yang telah sukses di bidangnya, untuk mengajak siswa menggantungkan cita-citanya setinggi langit, agar mereka menjadi manusia yang berhasil di studi dan juga kelak di masyarakat. Saat ini sudah memasuki tahun ke-7 program ini berjalan dan meliputi 9 kabupaten di KDT. Jumlah siswa yang diberi bimbingan belajar ini mencapai 540 siswa tiap tahun, belajar tambahan gratis selama 6-7 bulan di bawah kerjasama Gaja Toba dengan Bimbel terbesar di Indonesia, Ganesha Operation. Dan sungguh sangat membahagiakan, sekitar 75 % siswa yang ikut program ini tiap tahun masuk ke PTN. Bagi siswa yang masuk ke PTN unggulan di Pulau Jawa, kita juga memberikan beasiswa selama studi mereka. Dan puji Tuhan, saat ini telah banyak penerima beasiswa yang sudah lulus dan bekerja baik, dan bahkan di luar negeri.

Selain program pendidikan, Gaja Toba juga menyelenggarakan pemberdayaan masyarakat. Kita membuat dan memberikan pompa tangan tanpa mesin kepada penduduk-penduduk yang kesulitan air. Kita tanami pohon kaliandra dan memberi mereka kotak lebah untuk diambil madunya, serta kita berikan juga ternak kambing kepada penduduk untuk mereka pelihara dikembangbiakkan dan diambil susunya. Pilihan kambing Toba yang diberikan, agar mereka tidak kesulitan dengan pemeliharaannya. Selama menjabat ketua umum tersebut, mau tak mau kami banyak bertemu dan berdiskusi dengan Bapak Luhut Binsar Panjaitan. Komitmennya kita tahu sangat tinggi untuk pembangunan KDT. Beliau sering memanggil kita untuk berdiskusi dan meminta masukan agar pembangunan destinasi unggulan Danau Toba berhasil sukses. Tentu kita juga bertemu dengan para pejabat dan tokoh masyarakat yang peduli Kawasan Danau Toba. Setelah masa periode pertama selesai saya pun digantikan generasi yang lebih muda, dan saat ini ketuanya Dr. Ir. Budi Situmorang, Dirjen di Kementrian Tata Ruang dan BPN. Saya sendiri ditetapkan sebagai Ketua Dewan Penasihat sampai saat ini. FJ

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here