Diskusi “GMKI dalam Pusaran Politik Nasional”

414
Webinar tentang eksistensi GMKI di tengah bangsa ini.

Narwastu.id – Beberapa hari lalu, webinar nasional diselenggarakan Komite Pemilih Indonesia (Tepi Indonesia) dengan topik “GMKI dalam Pusaran Politik Nasional.” Dalam diskusi ini mencuat pertanyaan, bagaimana memahami dan merumuskan dinamika politik nasional saat ini? Apa sebetulnya yang sedang terjadi? Apa pentingnya organisasi kemahasiswaan seperti GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) dalam situasi politik saat ini? Dan, bagaimana posisi organisasi kemahasiswaan seperti GMKI dalam situasi politik nasional seperti saat ini? Lalu, peran seperti apa yang bisa dimainkan?

Webinar via aplikasi Zoom itu digelar pada Sabtu malam, 5 September 2020 lalu. Tampil sebagai pembicara Ray Rangkuti (aktivis, pengamat politik Indonesia dan pendiri Lingkar Madani), Gregorius Sahdan (Direktur the Indonesia Power For Demokrasi-IPD), Hurriyah, S.Sos, IMAS (Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik FISIP UI), Mohamad Guntur Romli (Politisi PSI), Dr. Sahat HMT Sinaga, S.H., M.Kn (Sekjen Pengurus Nasional Perkumpulan Senior Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Diskusi dimoderatori, Jeirry Sumampouw yang juga aktivis dan Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI).

Dalam sorotan Ray Rangkuti, urgensi gerakan mahasiswa harus independen. “Kemurnian gerakan mahasiswa harus dikelola dengan baik dan tak bersinggungan dengan kelompok kepentingan. Gerakan mahasiswa mesti tetap kritis dan tak boleh terpengaruh oleh kepentingan apapun. Gerakan mahasiswa mesti mempunyai kepentingan untuk kepentingan yang masyarakat,” ujar lulusan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta itu. Ray menambahkan, dulu memang di era rezim Orde Baru gerakan mahasiswa tepat untuk berhadap-hadapan dengan rezim, tetapi kalau sekarang di era Reformasi ini, tak selalu tepat lagi mahasiswa untuk selalu berseberangan dengan pemerintah. Tentu, kalau kepentingannya untuk berpihak kepada rakyat sah-sah saja. “Relatif apa yang terjadi di era Orde Baru itu sudah kita tinggalkan. Gerakan mahasiswa harus tetap memperlihatkan fungsi kritisnya, meskipun dia berada di luar lingkaran sistem kekuasaan,” tambahnya.

Ray mengatakan, relatif hanya gerakan mahasiswalah yang lebih dipercaya masyarakat sekarang, apalagi tak ada oposisi yang kredibel. Itu sebabnya dia berulang kali mengatakan, ciri khas dari mahasiswa harus independen. Tentulah gerakan mahasiswa mesti terbuka terhadap kritik, tetapi kritik yang membangun, bukan yang destruktif. Tentu partisipasi gerakan mahasiswa dalam proses pembangunan.

Gregorius Sahdan menyoroti soal indeks pembangunan demokrasi. Indonesia sendiri masih di bawah Timor Leste soal demokrasi. Padahal, cita-cita Reformasi 1998 untuk membangun sistem politik yang pluralistik dan demokratis, sekarang ini makin mengarah kepada sistem politik yang monopolistik. Sistem politik yang monopolistik, nampak dari berkembangbiaknya politik oligarki dan klientelisme, baik di level nasional maupun di tingkat lokal (provinsi dan kabupaten). Politik harusnya ditempatkan sebagai bagian dari pembangunan demokrasi, di mana partai politik dan masyarakat sipil memiliki peran sentral di dalamnya.

Tetapi politik kita hanya dijadikan sebagai arena untuk memperoleh legitimasi dalam memerintah, sehingga oligarki memainkan peran yang sentral ketimbang partai politik dan masyarakat sipil. “Untuk mendapatkan legitimasi para aktor politik tidak peduli dengan kedaulatan demos dan pembangunan demokrasi, tetapi mereka mengutamakan kemenangan dengan menghalalkan segala cara seperti politik uang,” ujarnya.

Gregorius menyebut, partai politik kebanyakan didirikan oleh para oligarki, orang kaya untuk memperkuat pengaruh mereka dalam politik dan pemerintahan. Partai juga didirikan untuk mengeruk sumber daya ekonomi, bukan untuk tujuan pembangunan demokrasi itu sendiri. Itu sebabnya, banyak orang kaya mendirikan partai dengan tujuan untuk memperkuat dan mempertahankan penguasaan mereka atas sumber daya ekonomi Indonesia yang notabene merupakan sumber daya ekonomi negara.

Gregorius berpesan GMKI sebagai pilar terdepan masyarakat sipil perlu mengambil posisi oposisi tepat dalam politik Indonesia. Sebagai bagian dari masyarakat sipil sebaiknya menjaga jarak dengan pemerintah atau tidak boleh berada di bawah ketiak pemerintah. Sementara Hurriyah, staf pengajar di Departemen Ilmu Politik FISIP UI menyebut anak muda mesti memerankan peran demos.

Sementara Theo Litaay, S.H., L.LM., Ph.D, yang merupakan senior GMKI dan kini Wakil Ketua Umum DPP Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia (PIKI) menyampaikan pemikirannya yang cukup menarik. Menurut Theo Litaay, gerakan mahasiswa adalah sekolah kesadaran sosial politik dan social justice bagi para pemimpin muda. Mereka tak akan selamanya menjadi anak muda. Pada saat semakin dewasa mereka akan menjadi bagian dari perekrutan pemimpin masyarakat dalam berbagai bidang termasuk bidang politik, tapi tidak selalu terjun dalam bidang politik praktis. “Lebih banyak mantan aktivis yang menjadi profesional dalam bidang masing-masing. Dalam situasi demikian mereka  berperan menularkan perspektif keadilan sosial, kesadaran politik dalam bidang bidang masing-masing. Para aktivis mahasiswa yang terbiasa berjuang dalam setting kebhinnekaan turut menularkan semangat kebhinnekaan itu di dunia kerja maupun kehidupan bermasyarakat,” terang pria cerdas. Inilah, katanya, pentingnya gerakan mahasiswa  sebagai sekolah calon pemimpin masyarakat.

Muhammad Guntur Romli menyebut infrastruktur politik sebagai pendamping dalam sistem politik Indonesia. Dan sistem pengkaderan GMKI memiliki sistem menyiapkan kadernya. Bukan cuma pengintip uang. Lalu, bagaimana posisi gerakan mahasiswa (organisasi) secara kelembagaan memainkan perannya?  “Gerakan mahasiswa jangan melulu intens berbicara politik. GMKI juga perlu intens membangun kader yang profesional. Jikalau pun mau menjadi politisi kader GMKI harus punya profesionalitas,” ujarnya. Selain itu, Guntur Romli demikian dia disapa, menyebut juga tantangan ke depan adalah menguatnya politik identitas. Guntur mengingatkan agar berhenti mempolitisasi agama dan menjadikan politik identitas untuk meraih kekuasaan.

Sedangkan Sahat HMT Sinaga yang juga mantan Ketua Umum DPP GAMKI menyoroti posisi GMKI dalam pusaran politik nasional. Sahat menjelaskan, GMKI yang didirikan tanggal 9 Februari 1950 silam memiliki prinsip kemahasiswaannya, kekristenannya, ke-Indonesiaannya. Serta GMKI mendidik anggotanya supaya siap bersaing di masyarakat. Dan GMKI menjadi suatu pusat sekolah atau latihan dari orang-orang yang mau bertanggungjawab atas segala sesuatu yang mengenai kepentingan, dan kebaikan negara dan bangsa Indonesia.

“Gerak langkahnya lewat pikiran, pernyataan, dan sikap mempengaruhi konstelasi politik nasional. Anggota, kader GMKI adalah sumber potensial bagi pergerakan politik nasional, menjadi politikus. Dengan keterampilan berorganisasi dan kepekaan terhadap situasi masyarakat diasah lewat program kaderisasi,” ujar mantan Ketua Sekretaris Jenderal Partai Damai Sejahtera. Sahat juga mengatakan, GMKI jangan lupa bahwa GMKI anak kandung gereja. Tidak asing bahwa GMKI disebut anak kandung gereja. Artinya, GMKI ikut berperan serta mengejawantahkan trilogi panggilan gereja: Persekutuan, Pelayanan dan Kesaksian. Dan GMKI menyatakan, dirinya sebagai anak kandung Gereja dalam Revolusi Indonesia. HM

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here