Judul tulisan saya ini bukan berarti kesakitan. Tetapi maknanya adalah keterkejutan. Nah, bukan Ahok (panggilan akrab, Ir. Basuki Tjahaya Purnama, M.M., Gubernur DKI Jakarta saat ini) bila tidak membuat banyak orang terkejut. Mulanya di level DKI Jakarta, lama-kelamaan level nasional pun terkejut. Bahkan, dunia internasional sedikit terkejut terhadap Ahok yang memiliki karakter khas ini. Ya! Maafkan saya, di sepanjang tulisan saya ini saya akan ber-Ahok, karena nama sapaan ini pun sudah begitu melekat di benak saya dan sebagian besar warga DKI Jakarta. Apalagi saya pun pernah mewawancarai Ahok di stasiun radio tempat saya bekerja, saat dia berkampanye sebagai calon Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Gaduhkah Jakarta dengan kehadiran Ahok sebagai orang nomor 1 di ibukota RI ini? Ya. Gaduh. Kontroversial. Membingungkan. Dan menakutkan. Dimulai dengan terobosannya sebagai wakil gubernur yang berpasangan dengan Jokowi. Kemudian dia menjadi gubernur. Dan akhirnya, sekarang dia mencalonkan diri untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta pada Pemilihan Kepala Daerah tahun depan, 2017. Kalau dia terpilih maka itu masa jabatannya periode kedua.
Saya rajin sekali mengikuti informasi di media massa saat ini perihal Ahok dan “Teman Ahok” yang diserang habis-habisan oleh kelompok masyarakat, partai politik, dan individu-individu yang juga merasa berhak untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta tahun depan. Wajar-wajar sajalah. Dari pengamatan saya, ini ada inti yang saya peroleh yakni, serangan itu mulai dibawa ke arah SARA (suku, agama, ras dan antargolongan). Kemudian, tuduhan bahwa jalur independen membuat “deparpolisasi”, sampai upaya orang-orang yang terhormat di “Senayan” hendak membuat aturan “sangat berat” bagi seseorang yang ikut di Pilkada via jalur independen. Waduh! Luar biasa dinamika yang muncul karena Ahok ini.
Cukuplah tiga paragraf di atas sebagai latar belakang tulisan ini. Saya yakin hari-hari ke depan pasti akan lebih seru lagi. Sekarang saya mau membahas tentang jalur independennya Ahok. Setiap orang di dunia ini tentu memiliki kehendak bebas. Dia bebas hendak melakukan apa saja yang dia maui. Sekalipun itu nantinya dapat menimbulkan dampak positif/negatif bagi dirinya maupun bagi orang lain. Kata “independen” seolah-olah sudah menjadi simbol kebebasan. Tidak terikat. Padahal, sebenarnya, ya…terikat juga. Terikat pada hal yang mungkin halus, kecil, sedikit berisiko. Kalau diamati, Ahok pun tidak juga independen (sebebas-bebasnya) karena dia pun terikat pada “Teman Ahok”. Keputusannya untuk mengambil jalur independen dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 adalah juga karena ada “ikatan” batin dengan “Teman Ahok”. Hanya saja, sejauh ini yang dia rasakan dan juga dirasakan oleh semua orang yang bersimpati/mendukung Ahok, dengan tidak mengikatkan diri /dicalonkan secara resmi oleh parpol tertentu, maka hati nurani Ahok kelak akan terbebas dalam berkarya penuh melayani/mensejahterakan warga DKI Jakarta.
Melawan. Oh…apa maksudnya? Sederhana saja, bila Ahok digertak maka diapun balik menggertak. Bila dia disindir, maka dia balik menyindir. Ahok seorang yang responsif. Keluhan masyarakat diresponsnya dengan gerak cepat. “Kejanggalan” dalam birokrasi di Balai Kota dengan cepat dibereskannya. Ada pepatah mengatakan, “diam itu emas”. Namun, untuk sementara ini pepatah itu kurang berlaku dalam membenahi kota Jakarta, yang sejak dulu tersendat-sendat dalam pembenahannya. Sedikit ribut, sesekali perlu jugalah untuk mengikis “karat-karat” yang memang dasarnya lambat (bahkan tidak suka) untuk maju.
Semangat dan motivasi. Apa pula maksudnya ini? Sejauh yang saya amati (sekalipun yang paling tahu adalah Ahok sendiri) semangat dan motivasi Ahok untuk mengabdi dan melayani masyarakat sangatlah besar, dan ini didukung pula dengan kecerdasannya. Namun, pertanyaan yang lebih dalam ialah, apa yang membuatnya sampai seperti itu? Bagaimana proses yang dialaminya sampai ada pada titik itu?
Yang saya tahu, manusia itu kekuatannya sangat terbatas. Tubuhnya terbatas kekuatannya. Pikiran, perasaannya pun mudah gonjang-ganjing. Namun, spiritnya, ini kuncinya. Bila dia dekat dan melekat pada Tuhan sehingga firman Tuhan menjadi pedoman hidupnya maka jelaslah untuk apa dia hidup. Rasul Paulus berkata: Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah. Jadi mana yang harus kupilih, aku tidak tahu (Filipi 1:21-22). Nah, siapa pun, bila sudah jelas apa yang ditujunya dalam hidup ini, dijamin akan muncul gairah hidup, semangat luar biasa!
Tidak cukup sampai di situ. Ketika Tuhan memberi kesempatan dalam “ruang” yang lebih luas terkait seseorang menjadi seorang pemimpin, maka mau tidak mau dia pun dituntut untuk mengayomi/melindungi “rakyat”-nya. Dengan bahasa rohani: kasihilah sesamamu manusia seperti engkau mengasihi dirimu sendiri. Dan, kita tahu persoalan siapakah sesama manusia itu adalah persoalan yang sangat sensitif. Namun, bagi orang-orang percaya (umat Kristiani) jawabannya selalu ada di Alkitab. Mari kita ingat perumpamaan “Orang Samaria yang murah hati” (Lukas 10:25-37).
Jadi, apapun namanya (ada yang mengatakan fenomena Ahok), kisah perjuangan Ahok yang sekarang memimpin DKI Jakarta adalah hal yang “biasa-biasa” saja sebenarnya. Mengapa demikian? Karena pendahulu-pendahulunya di DKI-1 tidak terpikirkan dan tidak beraksi, seperti Ahok sekarang ini. Sehingga masyarakat Jakarta pun terbuai dengan “semilirnya gerak” pembangunan Jakarta yang dirigen-nya adalah gubernur-gubernur pasca Bang Ali Sadikin.
Oleh sebab itu, bagaimana kita memandang semuanya ini? Mari kita pandang dari sisi bahwa segala sesuatu ada waktunya. Menurut saya, memang waktunya Ahok harus muncul pada masa sekarang. Dan, apakah dia akan terpilih lagi untuk periode kedua? Kita doakan saja. Sambil mengingat firman Tuhan ini: Yakobus 4:15, “Sebenarnya kamu harus berkata: “Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu.” Ya! Jika Tuhan menghendaki maka Ahok akan terpilih lagi sebagai DKI-1.
* Penulis adalah pemerhati media, konsultan radio, dan dosen.