Narwastu.id – Tokoh muda nasionalis dan religius, Dr. Taufan Hunneman, S.H., M.H., yang termasuk dalam “21 Tokoh Kristiani Inspiratif 2023 Pilihan Majalah NARWASTU” dalam potcast-nya bersama Majalah NARWASTU baru-baru ini berbicara tentang Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika dan 79 tahun kemerdekaan Indonesia. Menurut Taufan Hunneman, kemerdekaan itu adalah untuk menjaga bangsa ini. “Nah, menjaga dari apa. Yang pertama, memahami bahwa kita punya Pancasila, yaitu dasar negara Indonesia. Kedua, kita memahami bahwa ada semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Ketiga, setiap warga negara apapun agamanya, apapun sukunya itu tetap mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Nah, tiga hal ini sebenarnya adalah, bagaimana kita menjaga bangsa ini,” ujarnya.
Kalau tiga hal ini, imbuhnya, setiap individu mempunyai perilaku Pancasilais, yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, dan memahami bahwa Indonesia adalah satu ruang hidup bersama, maka kita saling menjaganya. “Tidak ada satu suku yang mendominasi, tidak ada satu agamapun yang mendominasi untuk menyingkirkan yang lainnya,” paparnya. Nah, 79 tahun itu makna kemerdekaannya. Artinya, kita ini, yuk, sama-sama melihat Indonesia jauh lebih dewasa. “Persoalan-persoalan remeh temeh sudahlah, kita lupain sajalah. Persoalan identitas, kan, harusnya sudah selesai. Persoalan soal sukuisme sudah selesai. Persoalan soal sektarian sudah selesai sebenarnya. Yang harus kita lihat adalah, bagaimana caranya kita menata bangsa ini dengan tiga prinsip yang utama,” paparnya. Bagaimana kita mewujudkan keadilan sosial, kemudian bagaimana kita me-make sure-kan demokrasi itu benar-benar demokrasi yang berada pada tataran substansial. Nah, substansial itu apa. Substansial artinya bahwa ada aspirasi dari golongan-golongan lain yang mungkin dengan konteks politik yang terbuka sekarang, dia tidak bisa masuk. Nah, ini tetap harus diakomodir seperti kerajaan-kerajaan. Dia harus ada dalam konteks di perwakilan, di golongan, pemuda, kemudian golongan Budha, Hindu, Kristen, Muslim dan segala macam. Itu sebenarnya harus ada keterwakilannya di parlemen. Kalau saya melihatnya bahwa ini perlu ada hybrid, ya,” tukasnya.
Hybridnya itu, katanya, kita mengakui ada pemilihan umum secara langsung. Tapi kita juga mengakui ada demokrasi yang dipimpim oleh hikmat kebijaksanaan, demokrasi kerakyatan, itulah. Beberapa golongan-golongan ini dipilih bukan berdasarkan rakyat, tapi mewakili golongannya mereka, untuk ada di parlemen. Sehingga kita bisa bicara soal bagaimana kita mengelola kerajaan yang ada di nusantara. Bagaimana kita mengelola suku-suku yang ada. Bagaimana kita mengelola agama. Itu semua harus ada di parlemen. Bangsa ini bisa merdeka, selain ada rakyatnya, ada tentara, ya waktu itu ada laskar-laskar. Juga ada kerelaan dari kerajaan-kerajaan nusantara, menyerahkan kedaulatannya. Nah, sekarang aspirasi mereka ke mana, DPD? DPD juga keterpilihan, bukan keterwakilan. Nah, yang kita butuhkan selain keterpilihan, one man one vote, adalah keterwakilkan.
“Saya mengajak kita mengevaluasi sistem politik. Pemilihan secara langsung semuanya. Tapi juga harus kita memperhatikan, selain ada keterpilihan, juga ada keterwakilan. Nah, itulah menurut saya, kita masuk ke dalam tahap bagaimana demokrasi substansial tadi di sila ke-4 itu benar-benar dimanifestasikan secara perilaku di dalam politik kita. Mungkin tempatnya di MPR. Jadi nanti MPR kembali lagi tuh. MPR terdiri dari utusan-utusan daerah, kan, dulu kita pakai utusan daerah dan utusan golongan. Nah, nanti MPR terdiri dari perwakilan-perwakilan kerajaan-kerajaan nusantara, perwakilan-perwakilan kaum agama, perwakilan-perwakilan TNI-Polri dan segala macam,” ujar lulusan Universitas Brawijaya, Malang, dan dulu merupakan aktivis 98 yang punya jaringan luas, vokal dan cerdas itu. RP