Narwastu.id – Secara umum perbudakan dimengerti sebagai kondisi di mana seseorang diperlakukan oleh orang lain sebagai properti, sehingga kemerdekaan orang itu terampas. Lalu dieksploitasi demi kepentingan sekelompok orang, institusi, atau bahkan keluarga. Perbudakan merupakan suatu situasi eksploitatif di mana seseorang tidak bisa menolak atau meninggalkan sesuatu, karena adanya ancaman, kekerasan, pemaksaan, penyalahgunaan kekuasaan, dan penipuan. Hal ini bisa mencakup situasi ketika seseorang dipaksa bekerja tanpa dibayar karena hutang, maupun para tenaga kerja wanita yang bekerja melampaui jam kerja. Perbudakan zaman modern juga muncul dalam bentuk penyalahgunaan anak-anak, seperti perdagangan anak di bawah umur, kawin paksa, perbudakan domestik, dan praktik-praktik prostitusi.
Sehingga dapat dikatakan bahwa salah satu atribut penting dalam perbudakan modern adalah adanya tindak kekerasan yang dirasakan korban. Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC) melaporkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara sumber perdagangan manusia untuk dijadikan budak. Berdasarkan data, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu wilayah dangan kasus perdagangan manusia tertinggi di Indonesia. Pada tahun 2015, sebanyak 468 orang terindikasi menjadi korban perdagangan manusia. Berdasarkan jaringan perempuan Indonesia Timur, direntang bulan Januari 2014 hingga April 2017, tercatat kurang lebih terdapat 237 korban perdagangan manusia yang dipulangkan dengan tubuh tidak bernyawa, baik dalam keadaan organ dalam utuh maupun tidak. Banyak di antara korban diduga dikubur diam-diam, dan bahkan diduga organnya dijadikan barang dagangan secara illegal (Manoe,Gema Teologika, Volume 4, Nomor 1, April 2019).
Berdasarkan data secara global, Pusat Hak Asasi Manusia di Jenewa, Swiss, melaporkan kira-kira ada 100 juta anak yang terpaksa bekerja berat dan 50 juta anak yang bekerja di tempat-tempat yang tidak aman dan tidak sehat (Susanto, Mengenai Konvensi Hak Anak Worldvision.or.id., 5.). Selain itu, UNICEF (United Nations Children’s Fund) melaporkan sekitar 250 juta anak terlibat dalam kegiatan pekerja anak, lebih dari 180 juta anak bekerja di dalam kondisi yang berbahaya, dan sekitar 1,2 juta anak-anak diperdagangkan setiap tahunnya. Di Indonesia sendiri, lebih dari 3 juta anak terlibat dalam pekerjaan yang berbahaya. Bahkan, sepertiga pekerja seks komersial berumur kurang dari 18 tahun. Sementara 40-70 ribu anak lainnya telah menjadi korban eksploitasi seksual. Ditambah lagi sekitar 100 ribu wanita dan anak-anak diperdagangkan tiap tahunnya (Susanto, Mengenai Konvensi Hak Anak., 6.).
Hinggga saat ini, perbudakan modern masih terus terjadi di berbagai belahan dunia. Berdasarkan laporan dari The International Labour organization dan The Walk Free Organization dalam kemitraan dengan The International Organization of Migration, di perkirakan ada sekitar 40,3 juta orang yang masih hidup dalam perbudakan modern di tahun 2016 (The Global Slavery Index 2018. “Executive Summary,” Walk Free Foundation, 2018,2.). Di Indonesia sendiri ada sekitar 736 ribu orang yang masih terjerat berbagai bentuk perbudakan modern (https://www.globalslaveryindex.org 2016.). Perbudakan ini pada hakikatnya merampas kebebasan seseorang, sehingga dapat dikategorikan sebagai kejahatan yang serius. Masalah ini merupakan tatanan sosial baru yang mulai terekspos dan terus terjadi hingga saat ini. Oleh karena itu, sebagai umat Kristiani kita perlu untuk melihat masalah ini dari sudut pandang kekristenan.
Perspektif Kristen Terhadap Perbudakan Global Perdagangan
Ketika membaca Kitab Keluaran melalui sudut pandang kritik sosiologis, maka kita akan menemukan makna spirit pembebasan yang terkandung di dalamnya. Melalui pandangan ini, kita dapat melihat bagaimana Tuhan memasuki kehidupan manusia secara aktif. Perspektif ini juga membantu kita untuk memandang Alkitab dari dua dimensi, yakni dimensi vertikal yang menegaskan keilahian dan dimensi horizontal yang mengafirmasi dunia ini. Dengan cara menemukan Allah atau lebih tepatnya ditemukan oleh Allah, maka manusia akan menemukan dirinya sendiri. Ini terjadi karena, Tuhan sendiri terlibat dalam pergumulan sosial dan keadilan yang mencakup pengelolaan dunia seturut dengan maksud dan tujuanNya.
Tuhan yang dipaparkan dalam Alkitab berada dalam relasi dengan Israel, pribadi manusia, bangsa-bangsa, dan ciptaan sebagai mitranya. Tuhan dinyatakan sebagai berdaulat namun juga hadir di tengah-tengah pergumulan manusia dan ciptaan-Nya. Dengan memaparkan kata kerja yang bersifat transformatif, maka ditemukan pemahaman akan Tuhan yang bertindak sebagai Sang Juruselamat dan Pembebas umatNya. Dengan bersumber dariNya maka dapat terbentuk asumsi etika universal yang menjadi pola berperilaku umum di tengah masyarakat. Melalui inilah terbentuk budaya baru sebagai pilihan alternatif zaman ini. Apabila kehendak Tuhan ditaati, maka shalom akan hadir di tengah bangsa-bangsa.
Melalui perspektif Kristen di dalam kehidupan sosial, kita dipanggil untuk melindungi kaum yang lemah dari penindasan dan ketamakan, serta mengundang anggota masyarakat untuk bertanggungjawab terhadap sesamanya. Ini dapat dilakukan melalui penerapan budaya yang memanusiakan manusia, membebaskan masyarakat dari tindakan konsumtif, eksploitatif, dan represif ala Firaun.
Dari perspektif Kristen, Tuhan sendiri sebagai pemrakarsa yang melegitimasi pembebasan di sepanjang masa, mulai dari pembebasan perbudakan global hingga perdagangan orang di masa kini. Pembebasan ini mencakup segala hal termasuk anak-anak yang diperjualbelikan, anak-anak yang dijual orang tuannya untuk melunasi hutang, serat pembebasan orang-orang yang bekerja melewati jam kerja, baik yang tidak dibayar maupun yang dibayar rendah. Tuhan peduli pada setiap individu yang mengalami penderitaan. Ketika, Yahweh menebus umatNya, Yahweh bertindak dengan maksud menjaga kelestarian dan kesejahteraan keluarga (Kel. 6:5 bdk Kel. 15:13). Tindakan Yahweh yang membebaskan, mengindikasikan kuasa Yahweh untuk mengakhiri ketakutan, penderitaan, dan ketidakberdayaan, serta menciptakan kehidupan yang bersukacita (Kel. 14:13).
Yahweh yang menebus, mengandung arti transaksional di mana seorang dibebaskan dari satu situasi sulit secara ekonomi melalui uang tebusan (Kel. 13:15). Yahweh membawa ke atas, artinya Yahweh memindahkan Israel dari tempat yang rendah ke tempat yang lebih tinggi, dari status budak ke status orang merdeka, dari Mesir ke negeri perjanjian. Dengan kata lain, Yahweh meninggikan dan mengangkat umat dan mengubah keadaannya menjadi lebih baik (Kel. 3:8, 3:17). Dengan menarasikan ulang melalui kenang-kenangan narasi Keluaran, di sana kita dapat melihat bagaimana Tuhan berulang kali secara khas dan terandalkan melaksanakan transformasi-transformasi sepanjang memori normatif. Tuhan sebagai subjek dari kata-kata kerja yang transformatif, merupakan pelaku pembaruan sosial secara inklusif dan universal.
TindakanNya yang emansipatif, liberatif, dan transformatif dilakukan bagi semua orang dan bangsa. Hal ini menujukkan bagaimana Musa di teks Keluaran bukanlah pemeran sentral, melainkan alat yang diutus dengan mandat pembebasan bagi umat-Nya. Oleh karena itu kita juga dipanggil pada zaman sekarang untuk menjadi alat-Nya.
Saat ini manusia hidup dalam hubungan yang terintegrasi, oleh karena itu kita dapat menyebutnya sebagai antropologi dan sosiologi palsu apabila ranah rohani atau pribadi dipisahkan dari ranah materi dan sosial. Dalam perspektif Kristen, dunia adalah panggung aktivitas Allah, dimana misi adalah kasih dan perhatian Allah yang ditujukan terutama kepada dunia. Sehingga misi dapat dikatakan sebagai bentuk partisipasi keberadaan Allah di dalam dunia. Oleh karena itu, keterlibatan misioner gereja sehubungan dengan realitas-realitas ketidakadilan, penindasan, kemiskinan, diskriminasi, dan kekerasan merupakan hal yang krusial sebagai bentuk nyata peran Tuhan dalam dunia ini. Ini juga berlaku sekalipun gereja terlibat dalam realitas sosial-politis, dimana yang terpenting adalah menyatakan peran nyata Tuhan bagi dunia tanpa bercampur dengan gerakan-gerakan sosial dan politik. Dalam narasi Alkitab digambarkan perbuatan-perbuatan Allah yang sifatnya mentransformasi. Tuhan Allah yang aktif dalam sejarah (yakni: Allah Abraham, Ishak, dan Yakub), dan menjadi Allah masa depan yang memberikan pengharapan transformasional. Allah yang sama juga yang telah memilih umatNya untuk maksud pelayanan (Bosch, 2012: 23-26). Tuhan Yesus Kristus sendiri seringkali mengambil sikap pembelaan terhadap orang-orang yang terpinggirkan dan tertindas dalam masyarakat. Oleh karena itu, sebagai pengikut Kristus kita dipanggil untuk mengikuti teladannya dengan menjadi suara bagi yang tidak bersuara dan melindungi yang lemah.
Perspektif Kristen terhadap isu kritis perbudakan modern menekankan pada prinsip pembebasan dan keadilan yang terdapat dalam ajaran agama Kristen. Dalam pemahaman ini, perbudakan dipandang sebagai kejahatan serius yang merampas martabat dan kemerdekaan individu. Alkitab, terutama kitab Keluaran, memberikan dasar untuk pemahaman ini dengan menegaskan semangat pembebasan yang berasal dari Tuhan. Ringkasnya di dalam perspektif Kristen, Tuhan dipahami sebagai pelaku pembebasan yang terlibat secara aktif dalam urusan dunia dan manusia. Alkitab menggambarkan Tuhan sebagai mitra dalam perjuangan sosial dan keadilan, yang mengarah pada penciptaan dunia yang sesuai dengan maksud dan tujuanNya. Dalam kaitannya dengan perbudakan modern, perspektif Kristen menyerukan perlindungan terhadap yang lemah dan penindasan, serta mengajak masyarakat untuk mengadopsi nilai-nilai yang membebaskan dan manusiawi.
Dalam Alkitab, kisah-kisah pembebasan, seperti yang terjadi dalam kitab Keluaran memberikan contoh tentang bagaimana Tuhan bertindak untuk memerdekakan umatNya dari perbudakan. Pemahaman ini juga mencakup tanggung jawab gereja dalam menghadapi realitas ketidakadilan sosial, kemiskinan, dan penindasan. Sebagai pengikut Kristus, umat Kristen dipanggil untuk mengikuti teladan Yesus Kristus dalam memperjuangkan keadilan sosial dan melindungi yang lemah. Dengan demikian, perspektif Kristen menggarisbawahi pentingnya peran aktif dalam memerangi perbudakan modern dan segala bentuk ketidakadilan sosial. Ini mencakup upaya untuk melindungi korban perbudakan, mendorong kesetaraan, dan memperjuangkan hak asasi manusia untuk semua individu, sesuai dengan ajaran kasih dan keadilan yang ditanamkan dalam ajaran agama Kristen. Selamat melayani.
* Penulis adalah Ketua I Pengurus Pusat PGLII.