Dr. Drs. Eddy Ramon Torong, S.H., M.M. Pemuka Masyarakat Karo yang Sukses di Perantauan

65
Dr. Drs. Eddy Ramon Torong, S.H., M.M. Pejuang yang gigih dan religius.

Narwastu.id-Sejak kecil kehidupan sederhana sudah dijalani Dr. Drs. Eddy Ramon Torong, S.H., M.M. dalam kesehariannya. Namun situasi itu tak membuatnya berkecil hati. Meskipun hari-harinya dilalui dengan membantu orangtua, tapi di situlah karakter Eddy dibentuk guna menghadapi kehidupan yang penuh dengan tantangan. Melalui proses itulah ia kemudian meraih sukses dalam hidupnya. Ayah Eddy dulu berprofesi sebagai wartawan di sebuah surat kabar terkemuka di Sumatera Utara, lalu suatu saat sang ayah dipindahtugaskan ke Jakarta. Sementara Eddy masih tinggal di Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Kemudian Eddy menyusul kedua orangtuanya. Waktu itu ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Saat tiba di ibukota Jakarta yang dulu ia bayangkan gemerlap dan indah, ternyata membuatnya terkejut.

Kehidupan di Jakarta bersama keluarganya sungguh tak mudah. Kalau teman-teman sebayanya sibuk menghabiskan waktu untuk bermain, Eddy yang merupakan ayah dua anak ini, justru sibuk membantu orangtuanya. Tapi situasi tersebut tak menyurutkan semangatnya untuk meraih sukses di perantauan. “Sebagai anak tertua saya terpacu untuk belajar demi mengejar cita-cita, dan saya masuk ke Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo,” katanya. Sejak mudanya pria yang pernah menjadi dosen di STIE Tama Jagakarsa, Jakarta, tahun 2010-2011 ini dikenal sebagai sosok yang cerdas, religius, humanis dan punya pergaulan luas.

Ketika Eddy diwisuda tidak hanya keluarga yang datang, tapi hadir juga relasi, sahabat dan teman-temannya. Hal itu membuat ayahandanya bangga, karena putra sulungnya itu ternyata pandai bergaul, dan saat itu Eddy ditunjuk untuk berbicara di podium sebagai perwakilan teman-teman seangkatannya. Setelah lulus, pekerjaan pertama yang dilakoni Sarjana Pendidikan Administrasi Perkantoran dari UNS Solo 1989 ini accounting dan administrasi di sebuah perusahaan di kawasan Ancol, Jakarta Utara. Akhirnya, karena pengalamannya yang sudah cukup, lalu pria kelahiran Berastagi tahun 1965 ini pindah pekerjaan. Tapi tak lama bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan yang baru, Eddy yang kala itu baru menikah dimutasi ke Lampung.

Ia saat itu tinggal dengan kakak sepupunya. “Gaji yang diterima saat itu betul-betul pas-pasan,” kata Eddy yang saat itu juga mengambil pekerjaan sampingan sebagai pengajar di sebuah kursus bimbingan belajar untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun kehidupan yang sarat dengan tantangan tak membuat alumnus dari Fakultas Hukum Tama Jagakarsa tahun 2022 ini patah semangat. Selanjutnya ia kembali ke Jakarta, dan diterima sebagai karyawan di sebuah perusahaan asing dengan gaji cukup besar. Meskipun tidak lama bekerja di situ, tapi dari gaji tersebut ia sudah mampu meraih impiannya untuk bisa memiliki rumah. “Tuhan itu baik,” katanya.

Di sisi lain, Eddy dan istrinya seolah diuji imannya lewat sebuah penantian panjang untuk mendapat keturunan. Kondisi itu tidak mudah, karena ada “provokasi” dari sekelilingnya yang dialami oleh sang istri. Beruntung, istrinya tak bergeming dengan hal itu. Ujian iman tidak berhenti sampai di situ. Eddy yang merupakan sulung dari empat bersaudara yang sudah bekerja dua tahun di sebuah perusahaan asing, saat itu dipaksa resign. Di saat yang sama ia sedang kuliah Magister Marketing di IPWJA Jakarta, yang tentu membutuhkan banyak biaya. Di balik kondisi yang tak mengenakkan itu, ada yang membuatnya bersukacita. Pasalnya, istrinya dinyatakan positif hamil setelah menanti selama 8 tahun.

Tak lama setelah itu, ia juga diterima bekerja di kawasan Tomang, Jakarta. Tak lama kemudian, istrinya melahirkan seorang bayi perempuan. Pada hari itu, imbuhnya, ia meminta izin untuk datang ke rumah sakit untuk melihat kelahiran anak pertamanya. Ironisnya, ia tidak mendapatkan izin hingga ia memutuskan untuk mengundurkan diri. Kebutuhan hidup di keluarganya kian bertambah, termasuk susu untuk anaknya. Kendati masih bekerja serabutan, tetapi situasi tersebut tak membuat mantan Ketua Umum DPP HMKI (Himpunan Masyarakat Karo Indonesia) periode 2016-2020 itu hilang pengharapan. Tapi ia semakin bersemangat untuk bekerja keras. Hingga suatu hari keahliannya di bidang sumber daya manusia mengantarkan anggota jemaat GBI Mawar Saron, Jakarta, ini mendapatkan sebuah proyek bergengsi dari sebuah perusahaan terkenal. “Itulah jalan Tuhan. Dari sini mulai dicari oleh orang yang membutuhkan,” katanya.

Bendahara Umum DPP MUKI (Majelis Umat Kristen Indonesia) ini pun mulai mengembangkan sayap usahanya. Jeli melihat kesempatan berbisnis ditambah dengan ilmu yang didapatnya saat kuliah mengantarkannya untuk menuai kesuksesan. Ia sadar apa yang dimilikinya lebih dari cukup, sehingga membuatnya tak pernah lupa untuk bersyukur kepada Tuhan. Sebagai wujud syukurnya, Eddy yang juga menjabat sebagai Staf Khusus di Bagian Umum Yayasan Pengembangan Potensi Sumber Daya Pertahanan (YPPSDP) ini aktif melayani di Gereja GBI Mawar Saron, Jakarta. Dan ia pun sampai kuliah di STT Intim, Jakarta, dan berhasil mendapatkan gelar Doktor.

Ia punya semangat luar biasa melayani. Ia ingin agar gereja bertumbuh secara signifikan. Salah satu cara yang dilakukannya, mengadakan penelitian tentang pengaruh gaya kepemimpinan gembala, pelayan mimbar dan pelayanan nonmimbar terhadap pertumbuhan gereja di GBI Se-DKI Jakarta. “Siapa yang dominan dalam pertumbuhan ini, setelah ditelaah secara ilmiah, 37 persen dari pengkhotbahnya, pelayanan mimbar 25,9 persen dan pelayanan nonmimbar 24,6% persen. Semua demi memajukan gereja,” katanya. Eddy juga menyoroti sejumlah pengajaran yang cukup massif di media sosial, namun si pelayan tidak punya ilmu teologi yang memadai.

Eddy juga mengkritisi gereja-gereja sebagai wakil Allah di bumi supaya tidak mengeksklusifkan diri. Hal itu diutarakannya saat muncul gempuran pandemi Covid-19. “Gereja memiliki tiga tugas utama, yaitu Marturia, Koinonia dan Diakonia. Ketiga penyanggah itu harus berjalan beriringan sehingga pengaruhnya nyata,” ungkap Eddy yang kini cukup berhasil sebagai profesional dan pelayan. Eddy tetaplah manusia biasa yang membutuhkan support sistem, yakni keluarga. Baginya, keluarga dalam hidupnya adalah posisi kedua setelah Tuhan. Sebab itulah, ia selalu berusaha membangun kebiasaan, yaitu rutin mengadakan ibadah bersama keluarga kecilnya.

Menurutnya, takut akan Tuhan, tekun berdoa dan menjauhkan diri dari pergaulan yang tidak membangun, mesti diperhatikan dalam kehidupan inj. Eddy pun ingin meninggalkan warisan iman bagi anak-anaknya bahkan hingga keturunan berikutnya. Sekarang Eddy pun memberi jasa pelayanan hukum melalui kantor pengacaranya. Lewat pekerjaannya saat ini pula ia bisa bertemu dengan banyak orang dari berbagai kalangan, termasuk para pembuat kebijakan di negeri ini.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here