Narwastu.id-Perjalanan Indonesia sebagai sebuah negara yang merdeka tidak lepas dari peran pemuda yang ikut berjuang bagi negeri ini. Ada beberapa peristiwa penting yang menjadi tonggak sejarah bagi para pemuda Indonesia, salah satunya peristiwa atau era Reformasi tahun 1998. Di tahun tersebut mahasiswa menjadi representasi perjuangan dan perlawanan terhadap pemerintahan yang dipenuhi dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Dan kala itu mahasiswa ikut berjuang demi terciptanya suatu negara yang demokratis, adil dan makmur. Peristiwa inilah yang akhirnya memunculkan aktivis-aktivis dari kalangan mahasiswa yang berjiwa nasionalis dan peduli terhadap persoalan rakyat, dan salah satunya adalah Dr. Taufan Hunneman, S.H., M.H. Taufan merupakan satu dari sekian banyak aktivis mahasiswa yang ikut dalam aksi-aksi besar di tahun 90-an.
Pria kelahiran Jakarta, 25 Januari 1977 ini merupakan figur yang kritis, cerdas, nasionalis dan religius. Dia merupakan lulusan Sarjana Hukum dari Universitas Jayabaya, Jakarta Timur. Dan sepanjang ia berkuliah, Taufan aktif membentuk komunitas mahasiswa di kampusnya dan membentuk kelompok-kelompok studi serta gerakan-gerakan aksi. Ia pun tercatat pernah bergabung dengan organisasi-organisasi pergerakan mahasiswa, seperti Pusat Informasi Jaringan Aksi Reformasi (PIJAR), Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera), bersentuhan juga dengan Partai Demokratik Rakyat (PRD) dan Forum Kota serta Forum Bersama. Di sinilah Taufan bertemu dengan aktivis-aktivis vokal dan terkenal, seperti Adian Napitupulu, Pius Lustrilanang dan Budiman Sudjatmiko. Keikutsertaannya dalam organisasi tersebut membuat dirinya mendapatkan pengalaman berharga lewat aksi-aksi yang prodemokrasi. “Kemudian pengalaman berharga saya pada saat gerakan bawah tanah bersama dengan teman-teman PRD itu. Pada saat itu ada pledoinya Budiman Sujatmiko sampai dengan hukuman, aksi-aksi boikot pemilu dan aksi-aksi lainnya, tapi puncak dari itu semua perlawanan terhadap Soeharto. Pada saat di Aldera saya masuk dalam skuatnya Pius Lustrilanang yang saat ini menjadi anggota BPK. Di Aldera itulah saya membangun gerakan bawah tanah yang lebih tertib, lebih disiplin, dan mempunyai tujuan secara visioner dan bergabung juga dengan Forkot bersama Bang Adian, dan akhirnya saya di Forbes (Forum Bersama),” ujar Taufan kepada Majalah NARWASTU di kantornya baru-baru ini.
Seiring berjalannya waktu Taufan tetap menjadi seorang aktivis yang terus menyuarakan kebenaran dan keadilan, terutama dalam kebebasan beribadah dan beragama. Baginya, beribadah dan beragama merupakan hak asasi yang dimiliki setiap manusia. Ia juga pernah punya pengalaman pahit atas tindakan kelompok intoleran, yang masih ia ingat betul hingga saat ini. “Sewaktu saya kelas dua SD, pada saat itu ada kegiatan gotong royong membangun gereja. Ketika bangunan tersebut sudah tampak setengah jadi, tidak lama kemudian gereja itu hancur karena tindakan orang yang tidak bertanggung jawab. Sampai saya bertanya kepada ayah saya, mengapa gereja untuk orang beribadah harus dihancurkan. Ayah saya berkata, itulah yang harus diperjuangkan dan kamu kelak harus memperjuangkan itu,” kenangnya.
Lantaran pengalaman pahit atas maraknya aksi-aksi intoleransi itu, Taufan bersama dengan rekan-rekannya mendirikan satu organisasi bernama Forum Nasional (Fornas) Bhinneka Tunggal Ika, dan ia dipercaya menjabat sebagai sekretaris jenderal. Fornas ini diisi oleh berbagai kalangan dan agama dengan tujuan untuk mengedukasi dan memberikan pemahaman kepada masyarakat luas tentang pentingnya toleransi sebagai sebuah kekayaan. “Memang tantangannya adalah bagaimana menyadarkan orang untuk bisa meyakini bahwa toleransi Bhinneka Tunggal Ika adalah DNA-nya bangsa Indonesia. Jadi itu adalah awal mula bagaimana kemudian bisa terlibat dan membangun yang namanya Forum Nasional Bhinneka Tunggal Ika,” ungkap Taufan.
Baginya, kemerdekaan sejati adalah penerimaan terhadap perbedaan. Taufan juga berharap siapapun yang akan menjalankan roda pemerintahan ke depan harus melihat konteks bahwa Bhinneka Tunggal Ika merupakan satu realitas yang tidak bisa ditolak, karena sudah menjadi identitas bangsa Indonesia. Rasa nasionalisme dan cinta tanah air yang dimiliki Taufan pun dipengaruhi oleh ayahnya yang merupakan seorang militer, ia tumbuh besar di lingkungan militer serta pemikirannya akan pluralisme didapat dari tempat ia tinggal sekarang, yaitu di Kampung Sawah serta keluarganya yang multikultural menjadikannya semakin menghargai perbedaan.
Saat duduk di SMA Taufan begitu dekat dengan tokoh-tokoh gereja, seperti Edward Moniong dari Gereja Kristen Kemah Daud, Rachmat Manullang dari Jaringan Doa Nasional, Saminton Pangellah dan Pdt. Gomar Gultom serta pendeta-pendeta dari GPIB. Pada saat pembentukan Fornas Bhinneka Tunggal Ika tahun 2017, ia pun mendapat dukungan dari Romo Magnis Suseno serta Wakil Presiden Indonesia saat ini yaitu K.H. Ma’aruf Amin. Taufan pernah pula memimpin Kaum Muda GBI Pondok Gede Plaza, Kota Bekasi, Jawa Barat. Di situ ia membangun pemahaman akan pentingnya memenangkan satu kota bagi para pemuda. “Jadi memenangkan kota adalah memenangkan anak-anak muda yang ada di satu kota. Seperti tidak terlibat dengan perjudian, seks bebas, narkoba atau pornografi. Karena kalau anak muda berdoa dan memenangkan anak muda lainnya di satu tempat, maka anak-anak muda ke depannya itu bukan menjadi beban atas kota itu. Tetapi memberkati kota itu, jadi kita menyelamatkan banyak anak-anak yang mempunyai tujuan hidup supaya tujuan hidup mereka benar dan mereka bisa memberikan sumbangan positif bagi bangsa ini,” jelas pria Pancasilais yang merupakan anggota jemaat GBI Raffles, Cibubur, Jawa Barat itu.
Kepeduliannya terhadap anak-anak muda didasarkan pada pengalaman pribadinya. Pada tahun 1992 lalu ia berhasil diselamatkan dan dimenangkan dari kenakalan remaja. Hingga pada akhirnya ia memilih hidup sebagai seorang Kristiani.
Taufan yang merupakan lulusan Magister Hukum dari Universitas Tarumanegara, Jakarta, juga pernah memiliki pengalaman spiritual yang tidak bisa ia lupakan. “Pada tahun 1995, saya bersama teman-teman Institut Sosial Jakarta, bersama Romo Sandyawan, Ibe Karianto dan Romo Kere serta Muda Mudi Katolik pada saat itu melakukan kegiatan belajar mengajar di Bantar Gebang. Hingga ada seorang anak pemulung yang datang kepada saya dan bertanya, apakah saya bisa kuliah seperti kakak? Memori itulah yang tidak bisa saya lupakan dan merenung hingga saat ini. Karena pendidikan pun merupakan hak bagi setiap warga negara,” jelas Taufan yang pernah menjabat sebagai Komisaris di Jakarta International Container Terminal.
Perjalanannya sebagai seorang aktivis mahasiswa di era 90-an mampu mengantarkan Taufan Hunneman menjadi pribadi yang cerdas, nasionalis dan religius serta peduli pada negerinya. Pengalamannya bersama kawan-kawannya aktivis dalam memperjuangkan hak-hak azasi manusia (HAM) dan hak-hak kebebasan pun memberikan dampak bagi dirinya sendiri. Melalui Forum Nasional Bhinneka Tunggal Ika, ia cukup berhasil dalam memberikan pemahaman tentang pentingnya Pancasila sebagai sebuah landasan berbangsa dan bernegara. Dia dan kawan-kawannya juga memberikan pendidikan nasionalisme di sekolah-sekolah kebangsaan bagi masyarakat dan kaum muda bangsa ini. Di sisi lain, Fornas Bhinneka Tunggal Ika berhasil pula membuat film yang tayang di layar lebar pada tahun 2018 berjudul “Lima.” Saat ini Taufan Hunneman diberikan satu amanah untuk memimpin Pertamina EP Cepu Bojonegoro, Jawa Timur, dan di sana ia menjabat sebagai Komisaris Utama dan nilai-nilai perjuangan 98 terus dibawanya dengan menerapkan perilaku tidak korupsi. Karena baginya, korupsi merupakan tindakan pengkhianatan terhadap bangsa dan negara.
Taufan juga mengapresiasi kinerja pemerintahan Presiden RI Jokowi, yang menurutnya, merupakan pemerintahan terbaik karena hampir 10 tahun menjabat Jokowi memberikan perubahan-perubahan besar bagi bangsa ini. Baginya, Jokowi telah memberikan ruang-ruang untuk kebebasan beribadah dan beragama bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Selain itu, langkah cepat pemerintah dalam membangun infrastruktur juga diapresiasinya. Menurutnya, keterbukaan akses transportasi bagi daerah-daerah pendukung ibukota mampu memberikan dampak positif bagi pertumbuhan perekonomian bangsa ini. Pun ruang-ruang berekspresi terus dibuka di era pemerintahan Presiden Jokowi, dan pelayanan publik yang semakin baik membuat masyarakat semakin dimudahkan dalam mengakses kebutuhan. Berikutnya, Taufan mengapresiasi langkah berani Presiden Jokowi dalam pemindahan ibukota dengan harapan Indonesia mampu menjadi negara modern.
“Gagasan IKN, menurut saya, bukan sekadar pemindahan ibukota RI, tapi ini adalah sebuah pembangunan ibukota yang berbasis masa depan, karena bisa kita lihat tingkat polusi di Jakarta sudah cukup tinggi. Kemudian produktifitas yang semakin meningkat antara pemerintah dengan pelaku bisnis, sehingga menyebabkan kemacetan di mana-mana. Dengan adanya pemindahan ibukota sebenarnya kita membangun Smart City atau kota baru. Kemudian kita bisa membangun ibukota yang moderen, sehingga dengan ibukota yang moderen mengharapkan bahwa Indonesia sudah mencapai satu puncak sebagai negara yang moderen,” pungkas Taufan yang merupakan suami tercinta dari Jelly Mamuaya, dan mereka dikaruniai satu orang anak laki-laki bernama Kennard Geoffrey Hunneman.
Lulusan Program Doktoral Ilmu Administrasi Bisnis dari Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, ini menambahkan harapannya untuk Presiden Indonesia yang akan dipilih melalui Pemilihan Umum 2024 nanti. Taufan berharap agar presiden ke depan mampu membawa Indonesia keluar dari Middle Class Countries, dan mampu membawa Indonesia sebagai negara yang maju. “Kunci dari kemajuan itu adalah inovasi, maka ke depan yang paling penting bagi saya adalah, pendidikan dari SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi itu menjadi fasilitas yang tidak mahal, tetapi murah. Seperti KIP harus diperluas sehingga semua orang memiliki akses untuk pendidikan,” ungkapnya. Universitas berbasis inovasi juga perlu diterapkan dalam jenjang pendidikan tinggi, karena baginya para mahasiswa maupun pemuda jangan hanya menjadi karyawan selepas berkuliah. Tetapi mampu menciptakan lapangan pekerjaan dan memiliki jiwa entrepreneur. Taufan tak lupa mengapresiasi kawan-kawannya sesama aktivis dan seperjuangan dulu, yang saat ini mampu menduduki jabatan tinggi di lembaga-lembaga negara, seperti Pius Lustrilanang yang saat ini menjabat sebagai anggota IV Badan Pengawas Keuangan Republik Indonesia. “Pius yang biasa kami panggil ‘Panglima’, yang biasa memimpin skuat bawah tanah Aldera, dan saya terlibat di dalamannya. Saya sangat yakin kalau beliau mampu menjalankan amanah ini secara maksimal. Ia juga memiliki pemikiran tentang pemerintahan daerah dan solusi-solusinya dalam kaitannya sebagai auditor. Saya juga bangga karena lewat penelitian dan kontribusinya, beliau dianugerahi Guru Besar Profesor dari Unsoed Purwokerto,” terangnya.
Ini, imbuh Taufan, adalah bukti bahwa kiprah aktivis 98, yang salah satunya Pius mampu memberikan kontribusi bagi perkembangan BPK-RI. “Begitu pula dengan Budiman Sujatmiko, saya bersama dengannya saat berada di Oposisi Indonesia, ini merupakan gabungan dari aliansi beberapa organisasi, seperti SMID, PIJAR, Aldera, PRD dan Pipham. Tahun 1995 dan 1996 beberapa aksi advokasi pernah saya ikuti bersama Budiman dan teman-teman lainnya, hingga saat Budiman tertangkap pada 27 Juli 1996 saya adalah orang yang sering berkunjung bersama Ratri Dewi dan beberapa rekan lainnya untuk berdiskusi dengan Budiman, Suroso, dan Yakobus Eko. Saya menggalang kekuatan untuk mewarnai persidangan-persidangan yang puncaknya pledoi, dan vonis hukuman terhadap mereka,” kenangnya.
“Saya bersama Sofyan dan Ari Kodok dan teman-teman lainnya yang bergabung dalam gerakan bawah tanah tetap melihat bahwa Budiman tetap konsisten saat ini. Pilihannya untuk bergabung bersama Prabowo Subianto adalah pilihan taktik dan strategi dari Budiman untuk mencapai apa yang ia cita-citakan,” jelas pria yang meraih Magister Teologia dari STT Lets, Kota Bekasi, Jawa Barat ini.
Sebagai seorang mantan aktivis mahasiswa, Taufan berpesan kepada para pemuda bangsa ini. “Ada tiga hal yang harus diperjuangkan oleh pemuda-pemuda bangsa saat ini. Pertama, pemuda bangsa harus memahami geopolitik karena baginya ini merupakan hal yang penting. Kedua, para pemuda harus memahami penggunaan media sosial (Medsos) untuk hal-hal yang baik. Ketiga, memanfaatkan media sosial untuk mempelajari economic digital. Kalau tantangan anak muda tahun 2.000-an adalah untuk menyatukan Indonesia, tantangan anak muda tahun 45 adalah bagaimana memerdekakan Indonesia. Lalu tantangan anak muda tahun 66 adalah bagaimana membangun satu koreksi terhadap pelaksanaan Pancasila. Kemudian tantangan anak muda 98 adalah mewujudkan negara yang demokratis. Dan tantangan anak muda saat ini adalah tiga hal yang tadi,” tutur Taufan Hunneman bijak. TK