Narwastu.id – Sembilan perwakilan dari pegawai KPK, beberapa di antaranya warga gereja, juga Novel Baswedan, yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), bersama Tim Kuasa Hukum Saor Siagian, S.H., M.Hum menemui MPH-PGI (Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia), di Grha Oikoumene, pada Jumat, 28 Mei 2021 lalu. Dalam pertemuan yang berlangsung sekitar tiga jam itu, mereka (perwakilan pegawai KPK) secara bergantian menceritakan keluh-kesah atas apa yang dialami setelah dinyatakan tidak lolos TWK.
Novel Baswedan, yang datang setelah pertemuan berjalan sekitar 15 menit, menyampaikan bahwa bagaimana kita mau berbangsa bila yang selama ini bekerja profesional tiba-tiba dilabeli radikal dan menjadi musuh negara. Menurutnya, TWK bukanlah tools untuk melihat seseorang lulus atau tidaknya seseorang menjadi ASN dalam alih status ini. “Prosesnya adalah upaya yang sudah ditarget. Ada fakta dan bukti untuk ini. TWK hanyalah justifikasi untuk target tertentu,” lanjutnya. Staf lainnya, Hotman Tambunan mengeluhkan, ketika taat beragama diidentikkan dengan Talibanisme. Pria yang terdaftar sebagai jemaat GKI Kayu Putih, Jakarta Timur, ini mengungkapkan, kita harus taat beragama, karena agamalah yang mengajarkan untuk berbuat seturut etika. “Di KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) itu godaannya banyak sekali, dan ancaman selalu datang. Nilai-nilai agamalah yang membuat kami tetap bertahan,” tegasnya. Bahkan dia menunjuk rekannya yang selama tiga tahun berturut-turut terakhir ini selalu mendapat nilai A untuk kinerjanya.
Ada pula Adri Deddy Nainggolan. Warga GKI Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, ini mengaku keprihatinan dengan begitu mudahnya masyarakat termakan hoaks yang menyebutkan adanya Talibanisasi di KPK. Dan celakanya warga gereja pun mudah termakan oleh isu ini. Hal senada juga disampaikan Rasamala Aritonang. “Kami sebagai KPK ini tantangannya berat. Kami berhadapan dengan koruptor. Dan yang bisa korupsi hanyalah mereka yang punya akses kepada kekuasaan. KPK ini hanyalah alat, pisau untuk memotong bagian badan yang koruptif. Dan reaksi dari para koruptor ini adalah membuang pisau ini. Itu yang sedang kami alami,” jelas anggota jemaat HKBP Pasar Rebo, Jakarta Timur, ini.
Advokat senior Saor Siagian juga menegaskan, tidak ada Talibanisme di KPK, karena tiga komisioner di KPK periode baru lalu adalah Kristen, dan Sekjen KPK juga Kristen. Merespons apa yang telah diungkapkan oleh pegawai KPK ini, Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom, M.Th menyampaikan turut prihatin. “Kita sangat prihatin dengan upaya-upaya pelemahan KPK yang terjadi selama ini, terutama yang memuncak dengan pelabelan intoleran dan radikalisme atas 75 pegawai KPK melalui mekanisme TWK belakangan ini,” tukasnya. Sebab itu, kata Pdt. Gomar, PGI akan menyurati Presiden RI Joko Widodo untuk mengambil tindakan tegas dan segera untuk menyelamatkan lembaga antirasuah ini dari upaya-upaya pelemahan.
“Dengan disingkirkannya mereka yang selama ini memiliki kinerja baik serta memiliki integritas kuat dengan alasan tidak lulus TWK, dikhawatirkan akan membuat para penyidik berpikir ulang untuk melaksanakan tugasnya dengan profesional seturut dengan kode etik KPK di masa depan, karena khawatir mereka di-TWK-kan dengan label radikal,” ujar pendeta asal Sinode HKBP dan mantan Sekretaris Umum PGI yang termasuk dalam “21 Tokoh Kristiani 2018 Pilihan Majalah NARWASTU” itu.
Pdt. Gomar Gultom pun menyatakan keheranannya terhadap pernyataan Presiden Jokowi untuk tidak menggunakan TWK sebagai dasar penonaktifkan pegawai KPK, namun pernyataan itu tak ditindaklanjuti.
“Siapa sebenarnya yang menjadi presiden. Dan kita semakin kuatir, karena mereka yang dipinggirkan ini banyak di antara mereka yang sedang menangani kasus-kasus korupsi yang sangat signifikan,” katanya. Usai pertemuan, beberapa wartawan telah menunggu untuk mendapat pernyataan langsung dari perwakilan pegawai KPK dan MPH-PGI terkait apa yang menjadi pembicaraan dari pertemuan tersebut. Ternyata apa yang disampaikan oleh Pdt. Gomar Gultom kepada para awak media mendapat tanggapan beragam, tidak hanya dari warga gereja, tetapi juga masyarakat lain. Pro-kontra pun bertebaran di media sosial (Medsos). Sebagian ada yang menyayangkan sikap Ketua Umum PGI karena dianggap terlalu tergesa-gesa menyikapi apa yang disampaikan pegawai KPK, bahkan ada yang menyerang pribadi Pdt. Gomar Gultom, dan lari dari konteks sesungguhnya. Namun ada pula yang mendukung dengan alasan sebagai wujud kepedulian gereja terhadap praktik ketidakdilan.
Melalui media resminya, www.pgi.or.id, Sekretaris Umum PGI Pdt. Jacky Manuputty meluruskan kesimpangsiuran pemahaman atas apa yang telah disampaikan oleh MPH-PGI kepada wartawan. Mengutip dari tulisan berjudul “Menelisik Sikap PGI Terkait Polemik KPK,” Pdt. Jacky menegaskan, PGI tidak bisa mengambil sikap yang memuaskan semua orang. Sebaliknya kita tak akan pernah mengambil sikap kalau harus memuaskan semua orang. Sikap PGI untuk menanggapi polemik penonaktifkan 75 pegawai KPK dalam press conference Jumat, 28 Mei 2021 lalu, diambil dengan kesadaran penuh bahwa sikap ini bisa memunculkan polemik, terutama di kalangan komunitas Kristen. “Apa yang diduga ternyata benar terjadi. Setelah press conference terpublikasi, PGI menerima kecaman dari banyak warga Kristen. Mayoritas kecaman ini mengerucut pada narasi dominan, ‘kadrun’, ‘Taliban’, dan sejenisnya. PGI dianggap mendukung kelompok kadrun, serta mencampuri urusan yang bukan menjadi ‘core issue’ gereja,” ujar Pdt. Jacky dalam tulisan tersebut.
Menurutnya, ada beberapa pertimbangan di balik sikap PGI terhadap kasus ini. Pertama, pertanyaan pokok yang sering mengemuka, apakah PGI harus terlibat dalam isu ini? Tentu pertanyaan ini tak perlu diajukan bila dipahami sejarah panggilan dan kiprah PGI di Indonesia. Cara pandang PGI terhadap relasi, hubungan atau hubungan gereja dan masyarakat/negara sudah jelas dimuat dalam dokumen PGI (DKG). Terkait KPK perlulah diingat bahwa pembentukan lembaga antikorupsi ini sepenuhnya di dukung oleh PGI. Dalam perjalanannya selama ini PGI bekerjasama dengan KPK untuk mengarusutamakan sikap melawan korupsi. Beberapa panduan dan buku saku melawan korupsi untuk gereja-gereja diterbitkan dalam kerjasama dimaksud. Sikap PGI jelas, KPK sebagai lembaga antikorupsi harus sepenuhnya didukung. KPK tentunya bukan lembaga ‘super body’ yang sempurna, tetapi ini lembaga terbaik dalam upaya penanggulangan korupsi di Indonesia.
Kedua, sejak dulu PGI telah menyikapi secara kritis kecenderungan pelemahan KPK yang mengemuka lewat konflik berjilid-jilid di KPK. Dukungan terhadap KPK ini, bahkan dilakukan dalam kerjasama dengan organisasi masyarakat sipil dan berbagai tokoh bangsa yang menginginkan KPK tetap teguh sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia.
Ketiga, dalam beberapa tahun terakhir, dengan seksama kita mencermati adanya terpaan isu ‘kadrun’, ‘Taliban’, dan sejenisnya yang disematkan kepada KPK, dengan personifikasi pada NB, salah seorang penyidik senior KPK. Kita tentunya tak dapat menakar kebenaran stigma ini namun kekuatan diksinya seketika menyalakan alarm di kepala banyak orang, mengingat dalam polarisasi konflik identitas di Indonesia selama dua dekade terakhir, diksi-diksi seperti ini sangat ampuh untuk membenturkan satu kelompok dengan kelompok lainnya. Tidaklah mengherankan saat PGI bersentuhan dengan polemik KPK saat ini, maka secara otomatis ia terhisap dalam jebakan stigma kadrun atau Taliban. Persentuhan ini tak bisa dihindari karena kebertindihan isu dan kepentingan yang menyertai masalah ini.
Keempat, dalam dukungan terhadap KPK, tentu kita tak bisa menutup mata terhadap kemerosotan KPK dalam beberapa tahun terakhir. Isu-isu bajakan kasus, penjualan barang bukti, tindakan tebang pilih dan lainnya telah berkembang luas menjadi cerita publik. Narasi dan kontra narasi kebobrokan KPK seketika memenuhi semua platform media sosial yang kita pakai. Dua kluster narasi dominan segera terbentuk dan disematkan kepada KPK, ‘Taliban’ dan ‘pembajakan kasus’. Tentunya ini ancaman serius terhadap keberlangsungan KPK. Perlu pembenahan serius dan menyeluruh terhadap KPK bila kondisi ini bisa diurai secara transparan. PGI tentunya mendukung sepenuhnya upaya pembenahan ini.
Kelima, tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang dilakukan terhadap pegawai KPK patut didukung karena itu merupakan perintah undang-undang. Sekalipun begitu, menempelkan pelabelan intoleran dan radikalisme dengan TWK haruslah dikritisi. Tujuh dari sembilan orang pegawai KPK yang berkunjung ke Grha Oikoumene PGI pada hari Jumat kemarin jelas-jelas tak bisa dikategorikan ‘kadrun’, ‘Taliban’ dan diksi-diksi serupa yang sangat bias identitas (agama), karena mereka merupakan warga gereja (dan tentunya bukan hanya terhadap mereka PGI mengkritisi tautan TWK dengan stigma Taliban maupun kadrun). Pada pokok inilah Ketua Umum PGI, Pdt. Gomar Gultom, menyampaikan sikap dalam konperensi pers yang digelar selepas berlangsungnya pertemuan antara PGI dengan perwakilan pegawai KPK yang dinonaktifkan.
Disadari sungguh bahwa stigmatisasi ini sangat berbahaya karena menyangkut masa depan pegawai bersangkutan, sekaligus menjadi beban bagi keluarganya. Apakah dengan demikian, maka mereka tak layak dinonaktifkan? Tentu saja bisa bila memenuhi parameter lainnya dari TWK. Sayangnya informasi itu tak kita peroleh, sementara sebagian besar masyarakat terlanjur dikendalikan oleh pembesaran narasi tunggal, tautan antara TWK dengan radikalisme di KPK. Terhadap kecenderungan berbahaya ini, PGI meminta pemerintah untuk menjelaskan secara transparan parameter TWK yang digunakan sehingga masyarakat tidak dengan mudah menautkan TWK dengan stigma intoleran, radikalisme, kadrun, Taliban, dan sejenisnya.
Keenam, permintaan PGI kepada pemerintah patutlah dimaknai sebagai control public terhadap kebijakan yang diambil, hal mana harus dilakukan sebagai bentuk partisipasi gereja dalam gerak kebangsaan. Presiden Jokowi telah bicara dan meminta hasil TWK tidak dijadikan alasan pemberhentian 75 orang pegawai KPK, namun proses pemberhentian terus berlangsung terhadap 51 pegawai dari antara mereka. Dalam kondisi ini baiknya pemerintah secara transparan menyampaikan alasan pemberhentian mereka melalui instrument TWK yang dipakai. Dengan begitu, narasi dominan menyangkut stigma kadrun yang terlanjur ditelan mayoritas masyarakat tidak menjadi beban bagi langkah mereka ke depan. Kalaupun ada parameter lain semisal jual beli kasus dan sebagainya, baiknya itu pun dibuka secara transparan supaya kita bisa bersepakat bahwa bahwa lembaga terdepan antikorupsi di negeri ini telah menghancurkan dirinya sendiri, dan karenanya harus diselamatkan.
Dengan penjelasan yang komprehensif disampaikan oleh Sekretaris Umum PGI, diharapkan pro-kontra yang terjadi segera usai. JT