Narwastu.id – Salah satu tokoh buruh negeri ini, Prof. Dr. Muchtar Pakpahan, S.H. telah kembali ke pangkuan Sang Pencipta pada Minggu, 21 Maret 2021 di Rumah Sakit Pusat AD Gatot Subroto, Jakarta. Kabar tersebut disampaikan melalui Instagram oleh salah seorang putra almarhum yaitu, Pdt. Binsar Pakpahan, ”Telah berpulang ke rumah Tuhan, suami, ayah, orang tersayang kami, tokoh buruh Indonesia, Prof. Dr. Muchtar Pakpahan, S.H., M.A. Beliau Kembali ke rumah Allah, Minggu 21 Maret 2021 pukul 22.16 WIB setelah berjuang melawan Nasofaring. Rumah Duka di RSPAD Gatot Subroto, Lantai 2, Ruang N. Mohon doakan keluarga kami dalam masa duka ini.”
Nama Muchtar Pakpahan di kalangan buruh dan pejabat dari tingkat daerah sampai nasional pasti sudah tidak asing lagi. Karena dia adalah salah satu aktivis buruh yang mendirikan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) pada tanggal 25 April 1992 di Cipayung, Jawa Barat. Saat itu, ada beberapa tokoh nasional yang turut hadir memprakarsai pembentukan organisasi buruh itu. Seperti Gus Dur, Rachmawati Soekarnoputri, Sabam Sirait dan dr. Sukowaluyo Mintorahardjo. Dalam pertemuan perdana tersebut, Mucthar Pakpahan lalu terpilih menjadi Ketua Umum SBSI yang pertama.
Tokoh reformasi ini lahir di Bah, Jambi 2, Tanah Jawa, Simalungun, Sumatera Utara, pada 21 Desember 1953, dan menghabiskan masa kecilnya di kampung halaman bersama keluarga besarnya. Memulai sekolah di Sekolah Dasar 6 (selesai 1966) lalu Sekolah Menengah Pertama di Tanah Jawa (selesai 1969), Simalungun. Di usia 11 tahun, Muchtar harus menerima kenyataan pahit, karena ditinggal oleh sang ayah (Sutan Johan Pakpahan) untuk selamanya. Tetapi kepergian ayahnya tidak terlalu membuatnya larut dalam kesedihan, sebab di satu sisi dirinya dikelilingi oleh orang-orang tersayang seperti ibu dan sanak saudara. Dia lalu bangkit mengemban tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga membantu sang ibu.
Saat masuk SMA, Muchtar pindah ke Medan dan sempat bekerja sebagai penarik becak untuk dapat bertahan hidup dan terlebih khusus menabung untuk kuliah. Tahun 1972, ia melanjutkan Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU). Di usia 18 tahun, Muchtar kehilangan ibunda tercinta (Victoria boru Silalahi) yang menjadi sumber kehidupan dan kekuatan baginya. Sejak duduk di bangku kuliah, Muchtar aktif dalam kegiatan masyarakat. Ia sering demo dan melakukan aksi protes atas ketidakadilan yang dialami oleh kaum buruh, petani dan nelayan di bawah rezim Orde Baru yang represif. Ia sempat bekerja sebagai reporter koran “Sinar Harapan” edisi Sumatera Utara (1975-1976).
Di kampusnya, ia aktif berorganisasi dan menduduki jabatan strategis, antara lain menjadi Senat Mahasiswa Fakultas Hukum USU, dan BPC GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) Medan periode 1978-1979. Setelah lulus, Muchtar membuka kantor pengacara bersama rekan-rekannya, dan menjadi advokat sejak 1985. Pekerjaannya fokus pendampingan hukum bagi petani, buruh dan nelayan yang tersangkut masalah hukum serta melakukan advokasi memperjuangkan hak-hak.
Konsekuensi dari pekerjaannya itu, ia sering kali dianiaya hingga menerima ancaman pembunuhan oleh oknum militer ataupun orang suruhan. Bahkan, ia sempat keluar masuk penjara dengan tuduhan menghidupkan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI). Kedekatannyaa dengan gerakan buruh, tani dan nelayan mengakibatkan dia dicap bagian dari PKI oleh penguasa Orde Baru. Di mata rezim Orde Baru, PKI adalah dalang atas semua peristiwa kelam tahun 60-an.
Ia sempat menjadi dosen Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen, Medan, tahun 1981-1986 dan dipecat atas perintah langsung Pangdam Bukit Barisan karena dianggap menghidupkan PKI. Ia juga pernah menjadi Sekretaris Eksekutif Unit Bantuan Hukum 1982-1984. Ia pindah ke Jakarta dan mengajar di Universitas Kristen Indonesia (UKI)dan Universitas Tujuh Belas Agustus (1990-1994). Tahun 1994 ditangkap dan ditahan di Rumah Tahanan Tanjung Gusta, Medan. Dari balik jeruji besi ia tetap berjuang dan terpilih sebagai Ketua Umum SBSI tahun 1992 hingga 2003. Selain itu, ia juga pernah menjadi salah satu Ketua DPP Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia (PIKI) tahun 1989-1993.
Ia kembali masuk penjara LP Cipinang di tahun 1996 karena menulis buku “Potret Negara Indonesia.” Buku itu dianggap membahayakan oleh rezim Orde Baru sehingga hampir dikenakan ancaman pidana seumur hidup. Muchtar Pakpahan melanjutkan studi S2 di Universitas Indonesia (selesai tahun 1989). Program Doktor Hukumnya juga diselesaikan di UI pada tahun 1993, dan menyandang gelar Profesor dari Universitas Kristen Indonesia (UKI). Dia meninggalkan istri Rosintan Marpaung dan tiga orang anak-anak, yaitu Binsar Jonathan Pakpahan, Johanes Dharta Pakpahan dan Ruth Damai Hati Pakpahan serta cucu-cucu. Di masa hidupnya, Muchtar dikenal tokoh yang nasionalis, humanis dan religius serta vokal. Dia sejatinya tokoh reformasi, karena di saat banyak orang takut bicara pada rezim Orde Baru, anggota jemaat HKBP ini sudah berani mengkritisi kekuasaan Presiden Soeharto. FG