Saat Hidup yang “Berat” Menjadi “Berkat”

* Oleh: Pdt. Johny Gerungan, M.A.

348

Narwastu.id – Dalam masa hampir setahun pandemi Covid-19 di negeri tercinta Indonesia, terhitung sejak pertengahan Maret 2020, masyarakat Indonesia mengalami begitu banyak kesulitan. Namun, sebagai anak-anak Tuhan, kita umat Kristiani mesti bersyukur karena telah dibekali oleh Tuhan dengan hikmat untuk mengubah kondisi hidup yang berat ini untuk menjadi berkat. Ada sebuah ungkapan sederhana, “Hidup ini berat.”  Tetapi, bagi anak-anak Tuhan hidup yang “berat” itu apabila ditambahkan dengan huruf K, maka kata berat itu serta-merta akan berubah menjadi kata “berkat.” Huruf K yang ditulis dengan huruf besar itu tidak lain bermakna sebagai Kristus. Hidup seberat apapun, kalau dijalani bersama Kristus, maka hidup itu pun akan menjadi berkat.

Baiklah kita semua sebagai anak-anak Tuhan menjalani hidup ini dengan selalu mengandalkan Kristus dan kasih setiaNya.  “Marilah kita melakukannya dengan mata tertuju kepada Yesus Kristus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah. Ingatlah selalu akan Dia, yang tekun menanggung bantahan yang sehebat itu terhadap diri-Nya dari pihak orang-orang berdosa, supaya jangan kamu menjadi lemah dan putus asa” (Ibrani 12:2-3). Sangatlah terbukti bahwa Yesus Kristus adalah anugerah terbesar yang berasal dari Allah demi memenuhi kebutuhan total manusia, yakni memperoleh keselamatan.

Kemahakuasaan Allah yang diwakili oleh pribadi Yesus Kristus adalah mutlak. Suatu ketika, seorang atheis bernama Richard Halverson dengan lantang berkata, “Tidak ada Allah!” Pada suatu pagi, Halverson ditemukan mati di ranjangnya. Orang-orang yang menemukan jasad Halverson terkejut mendapati secarik kertas di genggaman tangan Halverson. Ada coretan tangan Halverson yang berbunyi, “Aku telah berusaha mati-matian dalam semua cara, untuk memadamkan ketakutan dan melambungkan harapanku. Tetapi apa yang aku butuhkan, menurut Alkitab hanyalah Yesus seorang. Jiwaku malang, hatiku baja. Aku tidak bisa melihat. Aku tidak bisa merasakan untuk terang, untuk kehidupan. Aku harus memohon dalam iman yang sederhana kepada Yesus.”

Atheisme yang diyakini Halverson telah memberinya kepuasan jasmani seumur hidup, tetapi sama sekali tidak memuaskan rohaninya pada saat kematian. Robert Harkness, seorang moralis, menanggapi kesadaran Halverson itu dengan sudut pandang moral kasih Kristiani. Harkness berkata, “Tampaknya dia berbalik atau berpaling kepada satu-satunya Pribadi yang dapat menolong kita saat kita turun ke lembah bayang maut.” Pribadi yang dimaksud tidak lain adalah Yesus Kristus. Sebagai anak-anak Tuhan kita mesti selalu bersyukur memiliki Yesus, Tuhan dan Juruselamat. Tuhan kita Yesus Kristus telah memilih keluar dari “zona nyaman” di sorga mulia, untuk masuk ke “zona beban” di dunia fana. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yohanes 3:16). Yesus datang sebagai Allah dalam rupa manusia untuk memberikan keselamatan dan berkatNya kepada manusia. Maka, oleh karena Yesus Kristus, baiklah kita selalu berusaha menjadi saluran berkat bagi sesama, dengan mengubah hidup yang berat menjadi berkat.

 

* Penulis adalah Bible Teacher sekaligus Pendeta Sekolah, pada Sekolah Lanjutan Adven Tompaso II, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here