Narwastu.id – Sidang MPL-PGI (Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja-gereja si Indonesia) 2021 yang berlangsung selama dua hari pada 25-26 Januari 2021 telah berakhir. Dari kegiatan ini peserta menetapkan apa yang disebut Pesan Sidang MPL-PGI 2021. Dalam pesannya mengajak gereja-gereja untuk, pertama, waktunya kita meratap. Panggilan pertama bagi gereja adalah merendahkan diri seperti Kristus yang merendah menjadi manusia, dan menempatkan diri bersama saudara-saudara kita yang sedang berduka akibat pandemi Covid-19, diskriminasi berdasarkan agama, politik identitas, rasisme, ekstremisme, bencana alam, rupa-rupa kehilangan (pekerjaan, orang yang dicintai, sumber penghidupan, kemerdekaan karena ketidakadilan), kerusakan lingkungan, kekerasan seksual, dan berbagai sebab lainnya.
Saat ini adalah waktu untuk merenung, menahan diri, berpuasa sekaligus menyadari kerapuhan kita di hadapan Allah dan mengakui bahwa Dialah Sang Pemilik Kehidupan dengan kemahakuasaanNya. Kedua, waktunya kita bertobat. Di tengah kerapuhan diri, ini saatnya kita untuk bertobat. Dimulai dengan melihat lebih jauh, apa yang sedang terjadi, apa kontribusi kita di tengah berbagai persoalan yang menimpa bangsa ini. Bagaimana cara kita merawat kehidupan dan melewati berbagai duka ini? Selama ini bisa jadi kita terlalu egosentris dan egois sehingga mengabaikan hak dan kepentingan sekitar kita termasuk juga alam semesta. Kerusakan ekologi, rasisme, ketidakadilan menjadi potret kita hari-hari ini. Sidang menyerukan agar gereja terus memberi perhatian serius dalam hal ekologi.
Pertobatan ekologis menjadi suatu langkah nyata dalam kehidupan bergereja. Di sisi lain kita juga meminta pemerintah untuk tidak mengabaikan hak-hak rakyat dan kelestarian lingkungan di tengah upaya mencapai pertumbuhan ekonomi. Ketiga, kasihi sesamamu. Gereja harus terlibat aktif menghadirkan Kerajaan Allah dalam pergumulan dunia, masa kini di sini, berinisiatif dalam berkolaborasi dan saling merangkul dengan segenap warga bangsa dalam mengusahakan ketahanan kesehatan dan ekonomi umat, terutama dalam konteks pandemi, pasca pandemi, dan di segala zaman. Gereja bukanlah jembatan atau tempat pelarian manusia dari dunia ini, tetapi jembatan bagi karya Allah untuk dunia ini. Kita harus mensyukuri dan terlibat dalam karya Allah di dalam dan di luar gedung gereja, membawa kesembuhan dan pengharapan jauh melebihi pagar gereja yang tampak. Karenanya kehadiran gereja harus menumbuhkan pengharapan supaya pandemi Covid-19 tidak berubah menjadi pandemi keputusasaan. Dalam kaitan dengan mengasihi sesama, kita perlu secara aktif merawat kehidupan dengan memutus mata rantai penyebaran pandemi ini.
Gereja perlu mendukung upaya pemerintah untuk melakukan vaksinasi bagi masyarakat luas, melalui keteladanan para pemimpin gereja dan upaya edukasi yang memberikan keyakinan umat untuk ikut serta dalam upaya baik ini, dan hendaknya tidak-lelah-lelahnya menyuarakannya lewat mimbar-mimbar gereja. Keempat, jangan lupakan persoalan Papua. Dalam kaitan dengan persoalan Papua, setelah lebih dari setengah abad berintegrasi ke dalam Republik Indonesia, kita sangat prihatin dengan pelanggaran HAM yang tak kunjung usai, Papua masih terus bersimbah darah dan penuh dengan ketidakadilan serta kemiskinan. Oleh sebab itu, pemerintah diharapkan membuka ruang dialog yang lebih serius untuk menyelesaikan persoalan Papua bukan dengan pendekatan keamanan melainkan melalui pendekatan kultural yang lebih komunikatif dan persuasif.
Kelima, kembangkan pelayanan virtual. Di tengah pandemi yang masih terus terjadi, gereja perlu mewujudkan pelayanan virtual yang seoptimal dan seefektif mungkin, namun dengan tetap memperhatikan esensi gereja sebagai sebuah persekutuan yang hidup saling menopang dan menjadi berkat bagi dunia, serta tetap memperhatikan warga jemaat yang gagap teknologi dan/atau tak memiliki akses bagi pelayanan virtual. Pelayanan pastoral terhadap warga gereja tidak boleh diabaikan di tengah maraknya pelayanan secara virtual.
Dengan demikian, kehadiran dan peran pastoral gereja sungguh terus dialami di tengah kehidupan warga gereja dan masyarakat. Keenam, kembangkan eklesiologi baru. Pandemi Covid-19 sungguh telah mengubah begitu banyak hal. Oleh sebab itu, demi kehadiran gereja yang terus relevan dalam kehidupan bersama, sebagaimana sebelumnya juga telah diamanatkan oleh Sidang Raya PGI 2019 di Waingapu, NTT, gereja perlu memikirkan dan merekonstruksi kembali eklesiologi dan teologi ibadah yang ada selama ini. Pandemi telah meretas hegemoni kuasa pejabat dan institusi gereja, dan memberi ruang luas bagi peran umat dalam kehidupan bergereja. Rekonstruksi eklesiologi itu hendaknya juga dengan memerhatikan kondisi nyata medan gereja-gereja di Indonesia yang rawan bencana. TF