Marrinda Ministry, sebuah lembaga nirlaba yang berdiri 5 tahun lalu, yang dalam masa pandemi ini telah beberapa kali mengadakan kegiatan berdiskusi secara on line dengan membahas berbagai topik (zoominar), kali ini mengadakan Zoom Talk, dengan topik “Cerita di Balik Tokoh.” Tokoh yang menjadi tamu adalah Ketua MPH PGI(Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia), Pdt. Gomar Gultom, M.Th. Zoom Talk yang diadakan pada Rabu, 1 Juli 2020 lalu itu dibuka dalam doa oleh Pdt. Nus M. Liur, M.Th, pimpinan Marrinda Ministry, yang juga aktivis gerakan oikoumene dan mantan aktivis GMKI dan KNPI.
Acara Zoom Talk yang juga diikuti secara live di YouTube ini dipandu oleh moderator Pdt. Daniel Zacharias, M.Th, diawali paruh pertama dengan meminta Pdt. Gomar bercerita tentang masa kecilnya sampai kepada pentabisannya sebagai pendeta. Sangatlah menarik, karena para peserta kemudian tahu bahwa Pdt. Gomar lahir di rumah yang dibangun dan didiami Pdt. Dr. I.L. Nomensen (Tokoh Pekabaran Injil dari Jerman di Tanah Batak) dan dibaptis di HKBP Huta Dame, Tarutung, Sumatera Utara, yang juga dibangun Pdt. Nomensen.
Pdt. Gomar juga bercerita tentang kenakalannya sehingga harus dikeluarkan dari sekolah saat duduk di bangku kelas 2 SMP. Bahkan, menjadi bandar judi dan penjaga bioskop pernah dilakoni remaja Gomar kala itu. Dari Medan, pindah sekolah ke Salatiga, Jawa Tengah, dan kemudian datang ke Jakarta sampai tamat SMA. Saat duduk di kelas 3 SMA PSKD, Gomar muda mulai mengajar Sekolah Minggu di HKBP Pulo Asem, Jakarta. Di sinilah Gomar bertemu para mahasiswa STT Jakarta yang melayani di gerejanya.
Pergaulan dengan mereka membuat mantan Sekretaris Umum PGI ini kemudian memutuskan untuk masuk STT Jakarta, walaupun awalnya hanya coba-coba. Sehingga goncangan dan tantangan tahun pertama di STT dialami Gomar saat itu. Di STT Jakarta ini jugalah Gomar bertemu Pdt. Dr. Sularso Sopater (mantan Ketua Umum PGI) yang baru saja meninggalkan kita semua. Pertemanan dengan Pdt. Sopater merupakan cerita indah bagi Gomar karena secara perlahan luka-luka lamanya saat ada di rumah, sekolah, dan gereja mulai terobati lewat kesetiaan pendampingan seorang Pdt. Sularso Sopater.
Saat diminta moderator memberikan pandangannya tentang keluarga, Ketua Umum PGI ini langsung bercerita tentang orang tuanya. Ibunya yang seorang pedagang di Proyek Senen selalu menyiapkan makanan di pagi hari bagi mereka. Orang tua Gomar membiasakan anak-anaknya untuk makan makanan bergizi dulu di rumah sebelum mereka keluar rumah. Pdt. Gomar mengaku tidak pernah diberikan uang jajan. Tapi untuk urusan sekolah, semahal apapun biayanya, pasti diberikan oleh orang tuanya.
Pdt. Gomar juga bersaksi bahwa orang tuanya tidak memaksakan anak-anaknya harus jadi apa. Mereka diberi kebebasan untuk memilih. Hal itulah yang membuat Pdt. Gomar kemudian berpandangan bahwa anak memiliki dunia mereka sendiri. Mereka bukan merupakan investasi bagi orang tua. “Yang penting adalah bagaimana mereka dididik untuk berakar di rumah, sehingga saat mereka bertumbuh di luar mereka sudah punya dasar yang kuat. Beres di dalam, di luar bisa diberesin,” tegas Pdt. Gomar. Gereja dan masyarakat ada karena keluarga. Sehingga keluarga bagi Pdt. Gomar adalah segala-galanya. Pertanyaan berikutnya yang menggelitik dari moderator adalah, apa peran seorang mantan Ketua Umum PGI alm. Pdt. Sularso Sopater dalam percintaan Pdt. Gomar dan mantan pacar yang menjadi isterinya saat ini. Pdt. Gomar tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Dan kemudian dengan sedikit malu-malu mulai bercerita. Awalnya ketika terdengar kabar duka meninggalnya Pendeta Sopater, Pdt. Gomar menuliskan perasaan dan rasa dukanya di akun Facebook-nya sambil menyinggung sedikit peran Pendeta Sopater dalam hubungan percintaannya dahulu.
Saat pacaran, mahasiswa Gomar tidak disetujui oleh orang tua sang mahasiswi kedokteran itu karena meragukan masa depan seorang pendeta. Bahkan keluarga sang mahasiswi sampai datang ke STT Jakarta dan ditemui Pendeta Sopater, meminta agar mahasiswa Gomar tidak lagi berhubungan dengan anak mereka. Ternyata pertemuan antara pihak keluarga tersebut dengan Pendeta Sopater sudah diatur Tuhan. Pak Sopater ternyata juga punya pengalaman yang sama, pernah ditolak oleh keluarga sang isteri. Pesan yang kemudian disampaikan oleh almarhum Pendeta Sopater kepada mahasiswa Gomar adalah: Maju terus.
Paruh ketiga, Pendeta Gomar diminta menjelaskan apakah beliau punya latar belakang dan kecintaan terhadap musik dan dunia tulis menulis. Hal ini mulai beliau jelaskan dengan bercerita tentang bagaimana “Buku Ende” yang dimiliki dan dinikmatinya sejak kecil sangat mempengaruhinya. Buku nyanyian yang selalu digunakan dalam persekutuan keluarganya inilah yang lagu-lagunya selalu terngiang-ngiang di kupingnya. Sampai saat menjadi guru Sekolah Minggu, Gomar semakin sadar bahwa dia harus bisa bernyanyi dan memainkan alat musik.
Alfred Simanjuntaklah yang kemudian mempengaruhi Gomar terhadap cara bernyanyi dan bermusik. Pdt. Gomar sering diajak Alfred dalam acara-acara musik gerejawi dan ini menjadikan salah satu hal yang mendorongnya untuk kemudian berani membentuk paduan suara beranggotakan 40 orang anak. Sedangkan buku “Komposisi” karya Dr. Gorys Keraf diakui Pdt. Gomar merupakan buku yang mempengaruhinya saat mulai belajar menulis, selain waktu yang juga digunakannya untuk belajar dari para wartawan senior di Harian “Sinar Harapan” kala itu. Di bagian lain, Pdt. Gomar menyebutkan kegelisahannya tentang betapa lambatnya kita sebagai pribadi, sebagai jemaat, dan juga sebagai bangsa untuk berubah mengimbangi cepatnya perkembangan saat ini. Pdt. Gomar menyebut bahwa semua yang kita lakukan hari-hari ini menjadi suatu rutinitas dengan beragam aksesoris yang tidak mengena pada substansinya.
Menurutnya, kita perlu tahu dan sadar betul apa yang menjadi substansi saat kita melakukan sesuatu. Semisal apa sih substansinya kita ke gereja, kita sekolah, bahkan kita beragama? Janganlah semua itu hanya menjadi aksesoris bagi kita yang pada akhirnya akan membebani kita dalam menjalani hidup. Hidup beroikumene saat ini, mau tidak mau harus dalam kelenturan. Tentukan dengan bijak mana yang menjadi hal yang substansi dan mana yang hanya aksesoris.
Zoom Talk yang berlangsung lebih dari 2 jam itu diikuti oleh cukup banyak peserta dari berbagai kalangan dan juga daerah. Pdt. Gomar secara santai bercerita tentang banyak hal saat menjawab berbagai pertanyaan dari para peserta, mulai dari perjalanan panjang menduduki kursi nomor satu di PGI, saat berharga bertemu Presiden Jokowi, sampai pandangan bagaimana gereja harus menyikapi pandemi Covid-19 di era new normal saat ini. RR