Narwastu.id – Pada tanggal 15 Juni 2020, ada 80 mall di DKI Jakarta yang dibuka kembali dengan memperhatikan protokol kesehatan. Intinya, harus memperhatikan social distancing/jaga jarak, memakai masker, dan sering cuci tangan. Sangat sederhana dalam kalimat tetapi tidak mudah dalam implementasinya. Reaksi pro dan kontra terhadap new normal seketika muncul di berbagai media.
Pihak yang mengerti mengapa new normal harus dilakukan oleh Pemerintah adalah mendasarkan pada logika berpikir yang sederhana namun realistis. Pandemi Covid-19 belum dapat ditentukan kapan dapat teratasi dan kapan berakhirnya. Negara tentu saja tidak dapat menutup usaha warganya dalam batas waktu yang tidak ditentukan. Selain perekonomian negara bisa hancur, kepentingan warga juga terhambat dan bencana yang lebih dahsyat akan menimpa rakyat, yakni kelaparan. Sentra perekonomian tertutup, usaha tidak bisa dilakukan, maka warga kehilangan pekerjaan, kehilangan usaha, maka akan terjadi chaos di tengah masyarakat.
Untuk itu perlu diambil kebijakan agar peristiwa tersebut tidak terjadi. Kebijakan yang diambil Pemerintah adalah dalam bentuk pelonggaran menuju new normal. Dengan demikian, diharapkan roda perekonomian bergerak dan warga dapat kembali melakukan usaha dan pekerjaannya. Namun karena masih dalam masa pandemi, maka protokol kesehatan wajib dijalankan. Diharapkan situasi ini, di satu pihak pandemi Covid-19, dan di lain pihak keberlangsungan iklim usaha dapat berjalan pararel sehingga bangsa ini terselamatkan.
Pihak yang kontra berpendapat bahwa Negara hendak mengorbankan warganya dan lebih mementingkan jalannya roda perekonomian daripada kepada masalah kesehatan untuk menghadapi pandemi Covid-19. Pemerintah menyerahkan pada warga masing-masing. Yang daya tubuh kuat, mungkin bisa selamat menghadapi pandemi Covid-19, sedangkan bagi yang tidak kuat, Pemerintah hanya bisa mendoakan saja. Statistik, menurut yang kontra, menunjukkan hanya sekitar 9% saja yang rentan terkena virus karena faktor usia dan komplikasi dengan penyakit lain.
Sedangkan apabila roda perekonomian tidak bergerak, maka akan ada banyak sekali warga yang kelaparan, tidak mempunyai pekerjaan karena PHK dan pekerja harian dll yang dapat menembus jumlah yang sangat besar. Dan itu akan rentan membuat kekacauan. Maka Pemerintah dianggap harus melakukan pilihan, dan itu merupakan pilihan realistis bagi kelompok yang menentang pelonggaran PSBB.
Bagi Pemerintah, memang bak buah simalakama. Pilihan yang sangat mengandung risiko. Dan apa yang sedang dilakukan oleh Pemerintah adalah tetap melindungi rakyatnya dengan meminta seluruh warga tetap waspada dan melakukan protokol kesehatan sehingga memperkecil risiko tertular virus Covid-19, dan di pihak lain juga mempersilahkan roda perekonomian bergerak sehingga bisa memberikan kesempatan pekerja mendapatkan nafkahnya, karyawan menerima gaji dari pekerjaannya, pengusaha mendapatkan kemampuan untuk membayar gaji bagi pekerjanya dan menikmati keuntungan dari hasil usaha. Tentu saja semua di lakukan dengan penuh kehati-hatian, sesuai pesan Presiden RI Jokowi dalam pengarahannya untuk menuju new normal, era tata peradaban baru.
Indonesia sedang menghadapi tantangan yang berat, baik dari situasi pandemi Covid-19 yang juga melanda dunia. Masih juga harus menghadapi masalah perekonomian dunia yang juga menimpa keuangan negara. Maka diperlukan satu kesatuan, gotong royong dalam menghadapi situasi maha sulit ini. Namun di lain pihak, Pemerintah juga harus transparan dalam menggunakan anggaran bantuan sosial, sehingga rakyat percaya bahwa Pemerintah kredibel dalam melindungi rakyatnya dari segala bencana. Karena kalau sampai terjadi bahwa penggunaan anggaran untuk bantuan sosial disalahgunakan, maka itu akan mencoreng dan menghancurleburkan kepercayaan rakyat terhadap Pemerintah. Dan itu akan mempersulit pemulihan di segala bidang dan akan ke mana Indonesia sebagai sebuah bangsa.
* Penulis adalah pemerhati masalah sosial politik dan ketenagakerjaan, anggota FORKOM NARWASTU serta Ketua Umum DPN Vox Point Indonesia.