Narwastu.id – Pakar hukum yang rendah hati, Hulman Panjaitan, S.H., M.H. yang ditemui oleh Majalah NARWASTU pada Jumat, 17 Januari 2020 lalu, di kantornya di Kampus UKI (Universitas Kristen Indonesia) Cawang, Jakarta Timur, berpendapat, class action yang kini ramai dibicarakan masyarakat DKI Jakarta pasca banjir pada 1 Januari 2020 lalu adalah sesuatu yang menarik dibahas. Class action adalah gugatan perwakilan yang diajukan oleh sekelompok warga masyarakat yang jumlahnya sedemikian besar. Dan mereka mempunyai kerugian yang sama dan mengalami peristiwa hukum yang sama, sehingga kalau masing-masing warga yang mempunyai kerugian yang sama mengalami peristiwa yang sama dianggap tidak efektif, dan masing-masing mengajukan gugatan secara pribadi ke pengadilan.
Oleh karena itulah, diperkenankan gugatan perwakilan kelompok. Nah, sejarah dari gugatan perwakilan kelompok itu sesungguhnya tidak dikenal di dalam sistem peradilan di Indonesia, karena gugatan perwakilan kelompok atau class action ini hanya dikenal di dalam sistem peradilan yang hukumnya menganut sistem hukum common law. Sedang di Indonesia menganut sistem hukum Eropa, kontinental, yaitu tidak mengenal gugatan perwakilan kelompok. Sehingga dalam sejarah peradilan di Indonesia kita bisa lihat sampai dengan tahun 1995-1998-an. Gugatan perwakilan kelompok yang diajukan ke pengadilan selalu kandas. Artinya tidak pernah diterima atau ditolak dengan alasan yang sama, yaitu gugatan perwakilan kelompok tidak dikenal dalam sistem peradilan di Indonesia.
“Awalnya gugatan perwakilan kelompok itu menjadi suatu lembaga yang dikenal dalam sistem peradilan. Itu dimulai tahun 1997, dan di Undang-Undang Lingkungan Hidup tahun 1999 dengan UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Nah, sejak itulah mulai dikenal gugatan perwakilan kelompok. Dan aturan teknik tentang gugatan perwakilan kelompok karena memang sudah dikenal dalam sistem peradilan di Indonesia oleh Mahkamah Agung. Dan dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2002 tentang pengajuan gugatan perwakilan kelompok. Jadi secara teknis itu sudah diatur dalam peraturan Mahkamah Agung. Dan sejak diaturnya secara teknis mengenai peraturan Mahkamah Agung itu, sehingga saat ini sudah beberapa keputusan pengadilan yang mengabulkan gugatan perwakilan kelompok di DKI Jakarta sendiri. Pernah ada gugatan perwakilan kelompok yang dikabulkan oleh pegawai negeri, kaitannya dengan berbagai isu atau pendapat yang menghendaki adanya gugatan perwakilan kelompok kepada Pemda DKI Jakarta akibat terjadinya peristiwa banjir di tahun 2020,” ujar Dekan Fakultas Hukum UKI Jakarta, kelahiran Tapanuli Utara, Sumut, 20 September 1968 ini.
Hulman yang menyelesaikan S1 di Fakultas Hukum USU, Medan, dan S2 di UKI Jakarta serta sekarang kandidat Doktor Hukum dari Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, menerangkan, kalau secara materil itu sudah menemukan syarat, yaitu adanya sejumlah masyarakat yang sedemikian besar jumlahnya yang mengalami banjir dan peristiwa yang sama, yaitu banjir dan kerugian yang sama diakibatkan peristiwa yang sama, yaitu, banjir. “Jadi secara materil sudah menentukan syarat untuk diajukan gugatan perwakilan kelompok melalui pengadilan. Sedangkan dampak gugatan class action bagi warga DKI Jakarta, gugatan perwakilan kelompok seluruh warga DKI Jakarta yang merasa dirugikan di Jakarta memang tidak perlu mengajukan gugatan ke pengadilan,” cetus mantan Direktur Operasional Biro Jasa dan Konsultasi Hukum Solidaritas di Medan ini. Dalam kiprahnya di bidang hukum, Hulman pernah pula jadi Asisten Pengacara pada Thomas Abbon, S.H. di Jakarta (1998-2001), konsultan hukum pada Japto S. Soerjosoemarno, S.H. dan Associates di Jakarta (1999 sampai sekarang).
Selain itu, pria yang pernah menjadi “Dosen Teladan” di UKI Jakarta ini pernah menjadi Kepala Tata Usaha Fakultas Hukum UKI Jakarta, Ketua Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum UKI Jakarta, Ketua Program Kekhususan Hubungan Antar Sesama Anggota Masyarakat merangkap Bagian Hukum Perdata di Fakultas Hukum UKI Jakarta. Pria Batak yang giat berorganisasi ini, juga giat menulis pemikiran-pemikirannya yang mencerahkan seputar hukum di media massa, termasuk di koran nasional “Suara Pembaruan.” Dalam jejaknya sebagai pakar hukum, ia pun aktif memberi penyuluhan hukum ke sejumlah daerah tentang hukum pertanahan, penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, kekerasan dalam rumah tangga, kesehatan, pendidikan dan kewirausahaan.
Dalam organisasi sosial politik dan kemasyatakatan, Hulman tercatat sebagai deklarator Partai Patriot Pancasila (2003), Wakil Ketua Bidang Hukum Majelis Pimpinan Nasional Pemuda Pancasila sejak 2010 sampai sekarang, Ketua Umum Ikatan Alumni Pascasarjana UKI Jakarta, sejak 2012 sampai sekarang. Ia pun Ketua Bidang Pengabdian Kepada Masyarakat Ikatan Alumni UKI Jakarta sejak 2015 sampai sekarang. Selain itu, ia Wakil Ketua Komite Etik Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) pada 2011-2015, anggota Bidang Kerjasama dan Hubungan Antar Lembaga Asosiasi Penyelenggara Program Studi Ilmu Hukum Indonesia tahun 2015 sampai sekarang, anggota Majelis Pengawas Daerah Notaris Wilayah Jakarta Pusat (2018 sampai sekarang) dan Dewan Penasihat PSSI Asosiasi Kota Jakarta Timur (2018 sampai sekarang).
Sekaitan dengan gugatan sekelompok masyarakat yang kini ramai, kata Hulman Panjaitan, mereka hanya diwakili oleh beberapa wakil kelompok. Dan apabila gugatan class action dikabulkan, maka mereka yang tidak mengajukan gugatan pun ke pengadilan, yang hanya diwakili kelompok akan mendapat ganti rugi dari pemerintah. Jika gugatan pengadilan kelompok digabungkan oleh pengadilan, itu adalah gugatan pengadilan. Gugatan pengadilan kelompok ada dua cara, apakah warga yang tidak mengajukan gugatan itu ikut di dalam sebagai anggota atau tidak, yaitu dengan menyatakan pernyataan keluar dan pernyataan masuk. Jadi dengan pernyataan keluar apabila warga masyarakat tidak menyatakan keluar sebagai anggota kelompok, dia dianggap masuk sebagai anggota kelompok.
“Nah, pernyataan masuk, saya rasa sebaliknya dengan cara inilah warga DKI Jakarta yang tidak ikut mengajukan gugatan ke pengadilan akan mendapat ganti rugi seandainya gugatan perwakilan kelompok itu dikabulkan oleh pengadilan. Sedangkan gugatan perwakilan kelompok dalam bentuk class action itu adalah gugatan perlawanan hukum. Konsekuensi dari gugatan perbuatan melawan hukum adalah ganti rugi. Ganti rugi terdiri dari ganti rugi material dan ganti rugi imaterial. Ganti rugi materil itu terdiri dari kerugian riil yang dialami oleh warga masyarakat, misalnya, rumahnya rusak, yang tidak bisa dipakai, hilang segala macam atau termasuk sakit, yang harus disembuhkan melalui rumah sakit.
Selain kerugian material, terang Hulman, ada juga kerugian imaterial. Kerugian imaterial ini adalah, tidak bisa ditentukan jumlahnya, relatif. “Ini tergantung pengadilan untuk menilai seberapa besar kerugian imaterial yang dialami oleh warga masyarakat. Contohnya, masuk biaya pemulihan atau rehabilitasi, segala macam termasuk keuntungan yang diharapkan, misalnya, ada toko atau ruko yang tidak bisa buka karena masih mengalami kerusakan oleh banjir. Nah, ini konsekuensinya,” ujarnya.
Sedangkan harapannya kepada Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, kata Hulman, adalah berpihaklah kepada warga. “Rasakan penderitaan warga, dan jangan mementingkan kepentingan diri sendiri. Artinya, coba perhatikan kepentingan rakyat, apa yang perlu, apalagi untuk mengantisipasi banjir bisa seperti kejadian tahun lalu. Jadi segala upaya dilakukan untuk mengantisipasi banjir atau diminimalisasikan. Yang penting ada upaya dan keseriusan dari pemerintah daerah tentang Undang-Undang Lalu Lintas. Kebetulan yang baru-baru ini ada di pemberitaan di media, yang menunjukkan uji materiil terhadap Undang-Undang Lalu Lintas.
Diterangkan Hulman, sebenarnya mahasiswa kita dari Fakultas Hukum UKI Jakarta terkait dengan menyalakan lampu. Kewajiban menyalakan lampu di siang hari, menurut Hulman, di dalam Undang-Undang Lalu Lintas itu tidak ada kepastian hukum. Di situ dinyatakan bahwa lampu sepeda motor wajib dinyalakan pada siang hari. “Nah, tetapi di dalam Undang-Undang Lalu Lintas tidak dijelaskan lebih lanjut siang hari dimulai dari jam berapa. Dan sampai jam berapa. Sehingga kenyataannya yang dialami oleh mahasiswa kita yang mengajukan gugatan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) RI, mereka ditangkap di pagi hari antara jam 9. Tidak ada penafsiran lain, karena dalam hukum pidana yang menganut azas legalitas hanya penafsiran otentik yang diperbolehkan. Tidak ada penafsiran yang mengatur bahwa siang hari itu mulai dari matahari terbit sampai matahari terbenam. Jadi Undang-Undang Lalu Lintas itu bertentangan dengan undang-undang dasar khususnya yang mengatur azas kepastian hukum. Jadi Undang-Undang Lalu Lintas harus merumuskan bahwa siang hari mulai dari jam berapa sampai jam berapa. Sehingga tidak timbul penafsiran lain. Jadi sangat beralasan bagi mahasiswa UKI untuk mengajukan gugatan uji materiil terhadap Undang-Undang Lalu Lintas,” tukasnya.
“Sedangkan soal peraturan ganjil genap, memang ada keuntungan di jam-jam tertentu yang mempergunakan ganjil genap. Dan volume kendaraan berkurang, dan bisa mengatasi kemacetan. Tetapi bagi saya sendiri, menjadi lebih sulit, karena mobil hanya satu tidak bisa dipergunakan setiap hari. Jadi sesungguhnya di satu sisi membatasi hak seseorang. Dan apapun yang merupakan hak-hak, padahal kita bayar pajak penuh. Ini perlu kajian ulang terhadap untung dan ruginya, nilai positif dan nilai negatifnya. Nilai positifnya, yaitu dari segi mengatasi kemacetan memang terasa,” pungkasnya.
“Dan nilai negatifnya, tidak sebanding dengan hak warga untuk mempergunakan apa yang dimilikinya. Padahal hak milik menuntut hukum hak yang bersifat absolut, atau hak yang tidak bisa diganggu oleh orang lain dalam perlakuannya dalam penggunaannya. Kecuali hak milik yang berfungsi sosial, artinya penggunaan kita terhadap hak milik itu tidak boleh merugikan orang lain,” terang Hulman Panjaitan yang sering juga diundang sebagai pembicara di forum diskusi, seminar dan radio seputar hukum itu. JK