Menjadi Tua itu Pasti, Tetapi Menjadi Dewasa itu Pilihan

* Oleh: Togap Balduin Silalahi, S.H.

139

Narwastu.id – Untuk Pilkada 2017, Pemilihan Gubernur DKI Jakarta, saat ini situasi sedikit memanas. Reaksi keraspun bermunculan untuk Ir. Basuki Tjahaya Purnama, M.M. isu SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) asal bukan Ahok. Filsuf Yunani Plato mengajarkan bahwa pemimpin adalah orang yang berilmu tinggi dan bijak yang memiliki hampir seperti dewa ”The Wise Shall Lead and Rule and The Ignorant Shall Follow.” Agung Laksono, Ketua Dewan Pakar Partai Golkar, menyatakan, tak baik membawa isu SARA. Masyarakat Jakarta memerlukan pemimpin yang mensejahterahkan rakyat. Tidak perlu bermuka manis, basa-basi dan berlagak santun tetapi kerjanya nol besar.

Presiden Jokowi, perilakunya tidak formalistik, malah berkesan bersahaja seperti batang kelapa yang tampil apa adanya. Bahwa segala yang mungkin terjadi, memang sangat mungkin akan terjadi. Semua berpulang kepada diri pribadi masing-masing dan selama kepemimpinannya rakyat sudah merasakan titik terang kesejahteraan. Saat ini sulit menandinginya, karena “kinerjanya yang tiada henti.” Ditunjuknya Kapolri Tito Karnavian dengan harapan menyegarkan dan mereformasi internal Polri. Pembinaan karier yang lebih tegas dan objektif, sehingga pelayanan publik menjadi lebih baik. Jokowi akan membenahi bobroknya Lembaga Peradilan, ditangkapnya oleh KPK, pengacara dan jaksa, hakim, panitera serta pejabat lainnya.

Banyaknya kasus penyimpangan keuangan membuat Gary Goodpaster (2007) menulis “Sistem hukum Indonesia tidak bisa dipercaya sungguh, tidak bisa digunakan untuk dapat memberikan keputusan jujur tetapi boleh jadi bisa dipercaya untuk melindungi kegiatan korup.” Kata Bung Hatta (Wapres RI 1945-1956): Tidak jujur itu sulit diperbaiki. Jika kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar. Jika kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Tito Karnavian, termuda, lulusan terbaik sebagai Kapolri, setelah menilai kerjanya selama ini yang: Tanggap (kompeten, cerdas, profesional): Tanggon (berkarakter): Tangguh (tegas dan kukuh pendirian): Trengginas (kemampuan melaksanakan tugas secara prima dalam berbagai medan dan situasi).

Hal-hal di atas perlu disimak oleh organisasi/keagamaan dari pimpinan tertinggi sampai dengan terendah agar tidak menimbulkan keresahan bagi pengikutnya. Patutlah kita ucapkan terima kasih dan rasa hormat kepada pimpinan tertinggi/Ephorus HKBP terdahulu beserta jajarannya yang membawa sederet prestasi dalam mengelola huria (gereja), antara lain kesejahteraan di hari tua para pendeta dan dana sosial peduli pendeta dengan program pensiun manfaat pasti per 31 Desember 2014. Dalam bahasa Ibrani, pengharapan disebut dengan kata “Batakh” melukiskan suatu keadaan di mana seseorang telah sampai pada suatu batas bahwa sebentar lagi apa yang didambakannya atau diharapkannya akan terwujud.

Pengharapan sedemikian adalah riil dan wajar. Bukan hal-hal yang muluk-muluk tetapi sekadar “seteguk air” yang seharusnya menjadi haknya. Sebab bila tak demikian, bagaimana nasib para hamba Allah itu di hari tua kelak? Mungkin karena belum adanya jaminan hari tua itu, para pendeta dan pekerjanya tidak fokus menggembalakan jemaatnya, sibuk cari tambahan melalui kepintaran sendiri-sendiri di tempat/di gereja lain, di luar HKBP. Yang penting ada namanya di buku Almanak HKBP, terkendali sudah dan aman.

Tetapi bagaimana mereka yang tinggal di pelosok sana, mau berbuat apa? Roma 5:3-5, “Kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan dan pengharapan tidak mengecewakan.” Didirikannya bangunan baru dekat Kantor Pusat HKBP Pearaja dengan nama Perintis Pengikut Rasul Batak I.L. Nommensen “Raja Pontas Lumbantobing” kebanggaan masyarakat dan menambah nilai sejarah rohani untuk Kota Tarutung, Tapanuli Utara, Sumut. Adanya Sopo Marpingkir di Jakarta yang dibangun puluhan miliar, megah dan spektakuler, kemegahan tersebut perlu divalidasikan dalam sikap yang rendah hati serta semua diarahkan kepada kemuliaan Allah.

2 Korintus 10:17, “Tetapi barang siapa bemegah, hendaklah ia bemegah dalam Tuhan.” Bukan maksudnya untuk mereduksi program sinodal yang telah dilaksanakan, hanya mengingatkan kembali agar kita tidak melupakan membangun mental spiritual anggota jemaat, khususnya mereka yang jauh di pelosok tanah Batak sana, yang menjadi cikal bakal lahirnya huria kita, agar tidak termarjinalkan, walaupun mereka yang di pelosok sana realitanya masih saja tetap termarjinalkan.

Kita salut dan menaruh hormat kepada mereka para marjinal, seperti pendeta, guru huria di pelosok yang dengan kesetiaannya tetap melayani jemaat demi kemuliaan Allah dengan segala keterbatasan dan kemiskinannya. Para Hamba Allah Marjinal mereka menjadi prioritas pembangunan kemegahan huria. Ada kecenderungan para pendeta lebih memilih melayani  di kota ketimbang di desa, tentu kita faham motivasinya. Tragisnya penempatan di kota atau di desa, khawatirnya dilandasi, diukur, ditimbang sampai sebesar mana nilai tambah yang dapat diberikan oleh mereka yang ingin melayani di kota kepada pejabat sinodal.

Revolusi mental dan lainnya sangat diperlukan, kata Jokowi. Stop pungli dan korupsi ucapnya sewaktu meresmikan Pelabuhan Tanjung Priuk baru dan ditangkapnya Ketua DPD-RI, Irman Gusman pada September 2016. Beliau memperluas lapangan terbang di Tapanuli Utara, kabupaten di lingkaran Danau Toba dibenahi lebih maju agar rakyatnya sejahtera.

Kita mengucapkan selamat atas terpilihnya Ephorus HKBP Pdt. Dr. Darwin Lumbantobing, Sekjen HKBP Pdt. David Sibuea, M.Th dan Praeses Distrik se-Indonesia. Ada sebuah iklan mengatakan demikian “menjadi tua itu pasti, tetapi menjadi dewasa itu pilihan.” HKBP telah lebih dari 100 tahun, dan apakah telah dewasa? Kebesaran dan kemegahan yang telah dibangunnya hanyalah ibarat bangunan sebuah hotel. Kendati enak dipandang dan tentu saja dapat menampung kehadiran warga masyarakat untuk tidur di kamarnya. Tetapi hubungan antarkamar tersekat-sekat, hubungan personal terkotak-kotak tidak saling menyapa, sehingga yang nampak kemudian ialah bangunan megah tetapi terasa hampa.

Timbulnya tanggung jawab itu, karena seseorang bermasyarakat dengan lainnya dan hidup bersama di lingkungan alam. Manusia tidak boleh dan tidak bisa berbuat semaunya terhadap sesama manusia atau alam sekitarnya. Manusia harus menciptakan keseimbangan, keselarasan antarsesama manusia di lingkungan sekitar.

Guna mencapai harapan jemaat, pimpinan HKBP perlu menangkap tiga dimensi posisi yang kiranya direposisi ulang yakni: Reposisi huria sebagai jembatan komunikasi, sebagai wadah interaksi, dan sebagai entitas integritas. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada “MIS-Komunikasi” dalam tubuh huria. Komunikasi yang terjalin hanya satu arah dari atas ke bawah yang bersifat doktrinal dan baku, baik itu antara petinggi dengan gembala jemaat, antara Penatua (Sintua) dan antara jemaat itu sendiri.

Sehingga yang terjadi kemudian ialah kehidupan berjemaat yang kendati tetap berjalan, tetapi seperti robot, kaku tanpa penghayatan dan sebagai wadah interaksi juga kelihatan “Memble. Meski ada, namun adanya interaksi tersebut berdasarkan kepentingan sektoral serta entitas integritas warganya hanya didasarkan atas ritual yang memang harus demikian.

Jembatan Komunikasi

Dalam dunia arsitektur dikenal istilah Void dan Foyer. Void adalah jembatan dalam sebuah rumah tinggal untuk menghubungkan ruang lantai bawah dengan ruang lantai atas. Foyer adalah ruang pintu yang menghubungkan antara ruang luar dengan ruang dalam atau antar ruang di dalam. Pengertian jembatan penghubung untuk memaknai peran gereja dalam kontak hubungan antara jemaat dan antara jemaat dengan pimpinan gereja, seharusnya dimaknai seperti Void dan Foyer.

Kehadirannya menjadi bagian integral dalam konstruksi sebuah bangunan rumah tinggal, bukan bangunan hotel. Segala permasalahan yang timbul, pertama haruslah dilihat kejujuran niatnya. Kejujuran niat inilah yang perlu disemai dan ditumbuh kembangkan, yaitu kejujuran niat untuk menciptakan kesadaran bahwa huria adalah milik kita bersama. Karena kesadaran akan adanya kerinduan semacam itu merupakan embrio dari terciptanya harmoni persekutuan, seperti yang didalilkan filsuf dan teolog Jerman Martin Buber, bahwa harmoni: tercipta dalam Hubungan Aku-Engkau dalam relasi manusia sebagai intersubyektivitas.

Wadah Interaksi

Huria sebagai bangunan sebuah rumah dan bukan bangunan hotel seharusnyalah menciptakan suatu kondisi di mana para penghuninya dapat berinteraksi secara naluriah alamiah dalam konteks manusia sebagai intersubyektivitas.  Jemaat mau berkomunikasi dengan jemaat lain atau jemaat dengan petinggi gereja. Dan sebaliknya seringkali bukan dilantarkan oleh kesadaran, tetapi secara tidak sadar dipaksakan oleh apresiasi kepada status yang disandangnya, apakah dia dari kelompokku, apakah dia bermanfaat  untukku.

Tak terkecuali dalam praktik pelaksanaan hierarki gereja, penempatan gembala jemaat misalnya, bukan berdasarkan kualitas mumpuni, para petinggi mau datang berkunjung ke gereja tertentu atau ke acara tertentu, bila mereka mendapatkan manfaat, dengan kata lain kita berkomunikasi dengan predikat. Dalam kondisi ini manusia bukan lagi diterima sebagai “Who I am” tetapi ”Who I Have.

Entitas Integritas

Sebagai bagian integral sebuah komunitas kita perlu memiliki entitas integritas, yaitu memiliki kesejatian dalam sikap terhadap para anggota komunitas kita: ini berarti dimulai dengan keinsyafan bahwa kita adalah pengemban amanat masyarakat kita. Aristoteles mengemukakan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk social, karenanya kesempurnaan kodrati manusia hanya mungkin dalam hidup sebagai Socius (teman, sahabat). Kita lalu dibebaskan dari atribut atribut yang dapat menghalangi timbulnya sebuah perjumpaan.

Hanya Masalahnya, Segampang Itukah Pelaksanaannya?

Jawabannya: tidak, malah sebaliknya, kita harus berangkat dari pra anggapan bahwa menggapai mimpi dan kerinduan seperti yang dipaparkan di atas ibarat mencampur air dengan minyak. Bukan maksudnya untuk putus asa, melainkan justru bersiap menghadapi putus asa. Dalam konteks ini kita perlu melihat diri dalam posisi sebagai sungai dan jeram yang hidup di antara arus dan tebing. Antara halangan dan kebuntuan.

Tetapi betapapun sungai harus tetap mengalir. Karena memang tidak ada komunitas yang tanpa problem, yang steril dari perbedaan. Kita bisa menyelesaikannya asal ada kejujuran niat dari petinggi gereja hingga warga jemaatnya secara sadar bertekad membenahinya. Jokowi dalam kepemimpinannya dua tahun ini, tidak bisa ditekan-tekan: merombak kabinet harus lebih membawa manfaat dari mudarat.

Politik harus politik kerja dan bukan politik rencana atau wacana. Tidak suka pencitraan dan mampu membawa keluar dari jebakan bahwa pemimpin nasional adalah tokoh pusat. Bila ada mengkritik atau sebutan negatif lainnya, hanya tersenyum renyah, tidak sakit hati dan tidak membalas ejekan dengan ejekan, cukup berkata, “Diejek Yo Ra Popo, Sing Penting Rak Nyatane.

Gereja sebagai rumah penyembahan diandaikan sebagai konfigurasi sebuah orkestra Illahiah yang mendengungkan suara indah dan harmoni. Tetapi sering terjadi cekcok hanya karena hal hal sepele. Imbasnya, kedengarannya tidak hanya tidak merdu, malah terdengar berisik, seperti Cekcok Antar Kucing Garong di atas Genteng Memperebutkan Kucing Betina Buduk.

          Ternyata amplifiernya sedang terdistorsi. Problemnya bila amplifier sungguhan hanya benda mati yang mudah direvisi, sedangkan amplifier gereja komponennya terdiri dari sosok manusia, dan manusia religius pula. Sehingga revitalisasinya memerlukan tindak kajian yang tidak hanya sekadar mendalam, tetapi perlu menyeluruh karena entitas permasalahannya tersembunyi dalam lubang labirin religiositas sunyi bernama kalbu.

Dalam kehidupan sesehari kita sering mempercayakan sebagian hidup pada orang lain mengenai suatu kebenaran, ketulusan dan pengharapan yang baik, mulai sopir bus, masinis, nahkoda akhirnya nahkoda hidup rohani pada pendeta petinggi gereja. Tetapi tidak jarang demi kebenaran, bahasa Latin “Pro Veritate” disalahgunakan orang-orang yang kita percayai sampai menyesakkan dada atau kematian, sopir bus ugal-ugalan, masinis mengantuk, nahkoda kapal lengah membaca kompas sehingga kapal karam, pendeta sibuk mengurus dirinya sendiri, sehingga para jemaat terlantarkan.

Gereja adalah ibarat perahu atau kapal di mana telah kita pasrahkan tumpuan harapan dari lubuk hati terdalam sebagai penumpang berharap perahu itu membawa kita ke dermaga pelabuhan yang damai seperti yang disenandungkan lagu: “Sing-Sing-So.” Sotung manimbil roham da hasian, lugahon au da parahu, manang tudia petaho, Tu huta ni datulang i, Tu huta Sitopotonhi (jangan menyimpang dan perahu itu tiba ke tempat yang dituju dengan selamat).

Dalam Matius 8:23-27 dinarasikan perahu para murid itu dihantam angin ribut hingga oleng. Tetapi para murid itu tidak bertengkar sama sendiri kendati mereka adalah para nelayan yang tentu ahli dalam menangani peristiwa tersebut. Namun mereka meninggalkan ego pribadi dan segera datang kepada Tuhan Allah, lalu selamatlah perahunya.

 

  • Penulis adalah pensiunan Jaksa Utama Golongan IVE Kejagung RI, mantan Inspektur Polisi Golongan IIIB Polda Metro, dan mantan Asisten Golongan IIIA FH & IPK UI. Juga Penatua GMIT (1988) di Larantuka, Flores Timur, dan anggota jemaat HKBP Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here