Narwastu.id – Jenderal TNI (Purn.) T.B. Simatupang adalah sosok tokoh dan Pahlawan Nasional yang telah memberikan sumbangsih luar biasa, tidak hanya untuk bangsa Indonesia, tetapi juga untuk gereja, bahkan dunia. Pada 1 Januari 1990 silam, Pak Sim, panggilan akrab T.B. Simatupang menghadap Sang Pencipta. Dalam otobiografinya yang ditulis empat tahun sebelum meninggal, Pak Sim menulis, “Segala sesuatu adalah milik kita, tetapi pada akhirnya semua yang kita miliki adalah milik Allah. Sehingga dalam cara kita memiliki segala sesuatu itu, kita membayar utang kita dengan melayani sesama kita dan dengan itu kita memuliakan nama Tuhan.”
Sosok Pak Sim tentu tidak asing lagi. Dia dikenal sebagai tentara profesional. Namun, sejatinya, militer bukanlah cita-cita dari seorang T.B. Simatupang. Sedari muda ia malah ingin menjadi seorang dokter di sebuah rumah sakit gereja. Namun, tawaran menjadi seorang taruna di Koninklijk Militaire Academie (KMA) alias Akademi Militer Kerajaan Belanda, berhasil meruntuhkan pertahanannya. Setelah kemerdekaan Indonesia pada 1945, T.B. Simatupang bergabung dengan Tentara Republik Indonesia (TRI) dengan pangkat Kapten. Selain itu, ia ditunjuk sebagai Asisten Kepala Bagian Organisasi Markas Tentara. pemikirannya yang cemerlang, membuat karier T.B. Simatupang semakin moncer di kemiliteran.
Selepas pensiun dari dinas tentara, Pak Sim mulai aktif dalam kegiatan-kegiatan gereja. Adalah Profesor Sutan Gunung Mulia, seorang teolog pendiri Dewan Gereja Indonesia (DGI) yang mengajak Pak Sim bergabung dalam DGI. Sejak itu Pak Sim menemukan dunia baru. Dia berkhotbah dan menjadi penulis beberapa buku teologi.
Pak Sim juga aktif menulis dalam tajuk rencana harian Kristen “Sinar Harapan” yang kemudian berganti menjadi “Suara Pembaruan.” Sampai akhir hayatnya, Pak Sim tercatat memimpin beberapa lembaga Kristen, di antaranya Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Dewan Gereja-gereja Asia, Dewan Gereja-gereja Dunia, dan Universitas Kristen Indonesia (UKI).
Mengenang kembali Pak Sim, para sahabat, kolega, keluarga, serta sejumlah tokoh Kristen berkumpul bersama mengikuti “Ibadah Syukur 100 Tahun T.B. Simatupang (28 Januari 1920-2020)”, di Graha Oikoumene, Jakarta, pada Selasa, 28 Januari 2020 lalu, yang dipimpin oleh Majelis GKI Kwitang, Jakarta. Pada kesempatan itu, sejumlah tokoh turut menyampaikan testimoni. Membuka acara ini, Sekretaris Umum PGI, Pdt. Jacklevyn Frits Manuputty menyampaikan rasa syukur karena dapat merayakan 100 Tahun TB Simatupang.
“Dia adalah prajurit, intelektual, yang gagasannya memberi sumbangsih tidak hanya bagi TNI, tetapi juga gereja. Tak heran jejaknya bagi bangsa ini telah tercatat, ada dalam memori kolektif kita, maupun pribadi yang pernah terlibat bersamanya. Bagi PGI, T.B. Simatupang adalah tokoh oikoumenis, kita merasakan kontribusinya bagi PGI melalui salah satu putra terbaik bangsa ini,” ujarnya.
Dalam testimoninya, mantan Ketua Umum PGI dan Ephorus Emeritus HKBP, Pdt. Dr. SAE Nababan menegaskan, Pak Sim sebagai pemberian Tuhan sebagai manusia yang sangat cerdas bagi bangsa Indonesia dan gereja. Selain kecerdasan, dia juga sosok yang dibungkus oleh dua hal, kerendahan hati dan kesederhanaan. “Salah satu contoh kesederhanaannya, waktu kami mau beli sepatu di luar negeri, saya usulkan untuk beli sepatu yang lebih bagus, tapi dia bilang tidak, kita harus cari sepatu yang bisa dipakai 20 sampai 30 tahun, dan dapat dipakai waktu olah raga, juga ke Istana. Jadi kalau kita punya Presiden Joko Widodo yang sederhana tetapi ada yang lebih sederhana lagi,” kata Pdt. SAE Nababan yang disambut tepuk tangan dan tawa dari mereka yang hadir.
Lanjut mantan Presiden WCC ini, salah satu sumbangsih Pak Sim kepada gereja-gereja adalah kesadaran mengatasi pengaruh pietisme. Sebab sampai akhir 60-an pemikiran kita masih dikuasai oleh pietisme, yang terpenting adalah kerohanian, orientasi ke sorga, dan sebagainya. Sementara yang lain tidak penting. Namun T.B. Simatupang berhasil memberikan contoh pemikiran bahwa perjuangan keadilan, perjuangan kemerdekaan, dan perjuangan mewujudkan kemakmuran adalah bagian dari Injil. “Itu sebabnya Sidang Raya tahun 1961 berhasil merumuskan Injil secara utuh yang juga menekankan pentingnya perjuangan di tengah masyarakat. Dan ini membawa perubahan yang luar biasa di dalam gereja,” tukasnya.
Sumbangsih lain bagi gereja, yaitu membantu gereja-gereja di Asia untuk tidak terlalu memikirkan bahwa jumlah mereka kecil. Pak Sim selalu mengatakan, jumlah itu tidak menentukan, melainkan kecemerlangan, bahwa kita dibutuhkan. “T.B. Simatupang juga menggugah para pendeta, para teolog di Indonesia ini untuk bangkit memperluas wawasan, dan kerjasama lintas agama. Sedangkan pada tingkat dunia, dia menekankan bahwa semua bangsa adalah sama. Perkataan orang Eropa lebih maju dari bangsa-bangsa lain dianggapnya hanya mitos. Dan dia buktikan dengan menjadi orang Indonesia pertama yang dipercaya menjadi Presiden WCC. Ini adalah bentuk persamaan seluruh bangsa. T.B. Simatupang telah mengangkat kehadiran gereja-gereja di Indonesia di seluruh dunia, yang kalau sebelumnya dianggap enteng,” papar Pdt. SAE Nababan yang juga mantan Sekretaris Umum PGI.
Sumbangsih lain, meski terkesan kecil, namun menurut SAE Nababan, sangat bermanfaat, yaitu tepat waktu, dan tidak boleh mendahului. “Sebab, pada tahun 50-an-60-an penyakit masyarakat kita, juga gereja, adalah jam karet. Pak Sim telah menerapkan contoh yang baik bagi hal ini. Dan sekarang ini PGI juga sudah rapat ontime, juga gereja-gereja. Tetapi ada satu hal lagi, tidak hanya tepat waktu, tetapi juga tidak bisa mendahului waktu,” cetusnya.
Di akhir testimoninya, Pdt. SAE Nababan mengingatkan untuk terus mengembangkan, meneruskan, dan mau menghargai apa yang telah diberikan Tuhan kepada kita melalui T.B. Simatupang. Sementara itu, tokoh nasional Prof. Emil Salim melihat, selain cerdas, Pak Sim juga sosok yang punya semangat juang tinggi, dan berintegritas. Dengan kecerdasannya, di usia muda kariernya melejit di militer. “Ketika Jenderal Sudirman meninggal, Presiden Soekarno menunjuk T.B. Simatupang sebagai penggantinya. Padahal tahun 50-an usianya belum sampai 30 tahun, tetapi sudah memikul tanggung jawab yang tinggi. Juga memiliki semangat juang tinggi. Ketika terjadi pemberontakan di mana-mana, bersama sahabatnya Jenderal Nasution, mereka berhasil mengatasi hal ini dengan semangat juang yang tinggi, dan akhirnya berhasil menyelamatkan NKRI,” kisahnya.
Sedangkan integritas ditunjukkan oleh Pak Sim, dengan tidak tergoda untuk memanfaatkan kekuasaannya demi kepentingan pribadi. “Dalam perjalanan hidupnya, dia banyak menemui tokoh-tokoh besar, salah satunya Bung Karno, tetapi tetap memelihara integritas. Dominasi kekuasaan sipil hidup di dalam dirinya,” ujar Emil. Di pengujung acara, perwakilan keluarga Pak Sim didaulat untuk menerima tiga buah buku, karangan Pak Sim, yang diluncurkan pada kesempatan itu. Ketiga buku tersebut, yaitu “Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos (PPM Manajemen)“, “Tugas Kristen dalam Revolusi” (BPK Gunung Mulia), dan “Laporan dari Banaran” (PMK HKBP Jakarta). GH