(Tulisan dari akun Face Book ini dimuat NARWASTU untuk mengenang almarhum yang termasuk dalam “21 Tokoh Kristiani 2018 Pilihan Majalah NARWASTU)
Narwastu.id – Pernyataan-pernyataan menghakimi, akan membuat banyak orang tersakiti, mengundang konflik, rasa benci, apatis bagi sebagian orang. “Kamilah yang paling berjasa bagi negeri ini!” Orang lain hanya penumpang. Menganggap sepele orang lain. Peran yang lain akan hilang. Mungkin mereka tidak bicara tapi menumbuhkan ketidaknyamanan yang tersembunyi.
“Kamilah yang menyumbang banyak bagi kemerdekaan negeri ini.” Terus kami ini apa? “Sayalah yang berjasa di rumah ini, kalau mamamu/bapakmu tak ada apa apanya.” Wah, anak anak, saudara saudara yang lain, teman teman, kan, banyak juga membantu. Terus mereka apa? Emang di dunia ini bisa hidup sendiri. “Tidak semua orang yang datang ke gereja ini berniat baik!” Wah, siapa pula yang tidak berniat baik. Masing-masing yang hadir akan bertanya satu dengan yang lain. “Kau, kau, kau!” “Itulah. Keluarga itu sudah tidak setia lagi kepada Tuhan!” Indikator apa menilai seseorang tidak setia kepada Tuhan. Itu urusan pribadi, kok. Dari mana orang tahu seseorang tidak setia. Lagi pula, kan, ada yang namanya pertobatan.
Kan ada yang namanya panohuon. Itu tugas orang yang mengaku pelayan. Kalau ada yang “tidak setia” tentu bukan dihakimi, diberitakan di media sosial, tapi dilayani. “Orang percaya pasti kaya!” Yang ngomong percaya nggak. Apakah dia sudah kaya juga? Lagi pula, kaya itu relatif. Di atas langit masih ada langit.
Jemaat yang lain, yang tidak kaya? Apa mereka tidak percaya? “Kalau tidak ke gereja setiap minggu, artinya sudah tidak mau mencari Kerajaan Allah lagi.” Apakah yang bicara setiap Minggu ke gereja? Yang lain nyeletuk, “Wah saya sudah tiga kali nih nggak ke gereja gimana nih?” Menghakimi adalah hak Tuhan. Kita adalah anak anakNya, pengikut-pengikutNya. Namanya juga pengikut, pasti tidak sesempurna yang diikuti. Kita hanya berhak melakukan yang terbaik, dan tidak berhak menilai diri kita atau kelompok kita. Mari mengurangi kata kata, ucapan-ucapan yang menghakimi.
Ceritakan kata-kata, pernyataan-pernyataan yang menginspirasi kita dan orang lain, tentunya juga menyenangkan bagi Tuhan. Mari menyampaikan pesan yang berisi informasi, pencerahan, penghiburan. Aturannya sudah jelas. Kitab suci mengatakan pesan kita membuahkan sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemah lembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu. Kalau jantung kita sudah berdenyut cepat sebelum mengucapkan sesuatu, karena emosi, karena marah, karena ingin menjatuhkan orang lain. Tahan dulu. Jangan mengucapkannya, apalagi menuliskannya di medsos.
Ketika kita menuliskan sesuatu dengan marah, dengan niat ingin menjatuhkan seseorang, membela diri yang belum tentu juga benar, percayalah, jelas akan menuai badai. Jujur kita. Ketika kita menuliskan sesuatu yang menghakimi, melukai orang, kita juga tidak nyaman. Jantung kita berdegup degup, khawatir. Orang yang membacanya pun akan marah, benci, khawatir, curiga. Kecuali teman dekat Anda, group Anda, pasti mendukung. Pro kontra akan berjalan tanpa kesimpulan. Sudah bosan baru berhenti. Capek. Hasilnya nihil, kecuali menambah orang yang terluka. Pesan yang mendatangkan khawatir bagi orang lain akan menimbulkan kekhawatiran juga bagi pengirim pesan itu sendiri. Kalau itu terus menerus dilakukan, akan membuatnya sakit jantung atau stroke.
Mari kita lebih banyak bercerita, menghitung berkat, sukacita yang kita capai sendiri atau bersama-sama, cerita yang saling menginspirasi, saling mendorong, membesarkan hati, dan menciptakan suasana nyaman dan damai. Dia yang mati di kayu salib itu, dia yang kita khitahkan itu mewariskan damai, bukan keresahan, kekhawatiran, atau kebencian. Tidak mudah. Mari kita belajar dan belajar terus.
* Penulis (Almarhum) selama ini dikenal cendekiawan di Sumatera Utara dan pernah melayani di Gereja Kristen Protestan Sumalungun (GKPS).