Narwastu.id – Di kalangan jemaat Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS), pemuka masyarakat dan kaum cendekiawan di Sumatera Utara (Sumut), agaknya pria yang satu ini bukan figur yang asing lagi. Pasalnya, selain ia dikenal seorang intelektual yang kerap memberikan ceramah, baik di kalangan generasi muda maupun kaum awam, ia pun aktif menulis di berbagai media massa cetak di Medan. Selain itu, ia sudah menulis banyak buku perjalanan hidup tokoh masyarakat, pejabat dan politisi asal Sumut.
Namun kiprahnya yang paling menonjol saat ini adalah menulis melalui media sosial (Medsos), khususnya Face Book. Tulisan-tulisannya yang terasa mencerahkan, memotivasi dan meneguhkan hampir setiap hari bisa disimak lewat akun Face Book-nya. Dan melalui tulisan-tulisannya yang bahasanya gampang dicerna, dan sering bercerita tentang kehidupan sehari-hari, ia selalu mengajak para warganet agar cerdas dan bijaksana di dalam menyimak informasi dan memanfaatkan medsos, sekaligus agar warganet bijaksana dalam menjalani kehidupan ini.
Banyak kalangan yang memuji tulisan-tulisan Jannerson Girsang yang ditampilkannya di akun Face Book-nya. Pasalnya, tulisannya mencerahkan dan memotivasi. Salah satu tulisannya yang dikutip majalah ini dan cukup menarik berjudul “Warisan Paling Berharga Jangan Dilupakan.” Di masa tua, kita akan menghadapi masalah yang jauh lebih pelik dari apa yang tidak kita bayangkan sebelumnya. Kegagalam paling fatal, ketika kita tidak memiliki anak-anak, generasi sesudah kita yang tidak sesuai harapan. Kita jarang memikirkan hal-hal kecil, yang sangat menentukan lama atau tidak nilai-nilai kita akan terwariskan kepada keturunan kita, kepada generasi di belakang kita. “Misalnya kalau suatu ketika kita akan punya menantu, punya cucu, bahkan seperti orang tua saya punya cicit, punya generasi di belakang kita. Kita lupa, kalau suatu ketika kita tidak bisa berbuat apa apa lagi, karena tubuh kita makin lemah,” tulisnya.
“Dan suatu ketika kita hanya bisa menjadi ‘pengikut’ bukan sebagai ‘inisiator’ lagi. Sayangnya, bagi kebanyakan kita, karakter ‘pengikut’ tak ada dalam kamus, karakter tak bisa berbuat apa apa karena fisik yang lemah tidak pernah terlintas dalam pikiran kita,” tulisnya. Tulisan ringan lainnya yang cukup menarik berjudul “Hati yang Riang Tak Bisa Dibeli dengan Uang.” “Kalau Anda mencintai hal-hal yang terlihat, suka pamer hal-hal yang terlihat, maka biaya suka cita, biaya membuat hati Anda riang sangat mahal. Semua itu harus dibeli dengan uang yang banyak, tetapi Anda hanya beroleh harta yang mudah pudar,” tulisnya.
Ditulisnya lagi, Helen Keller berkata, “Hal-hal terbaik dan terindah di dunia tidak dapat dilihat atau bahkan disentuh. Mereka harus dirasakan dengan hati.” Harta termahal di dunia adalah hal-hal yang membuat hati kita bekerja, mampu merasakan keindahan dari hal-hal yang berkekurangan. Hal yang tidak bisa hanya dilihat dengan mata, didengar oleh telinga, tetapi adalah hal-hal yang hanya bisa dirasakan dengan hati. Anda bisa suka cita dalam keterbatasan, dalam keadaan sulit, seperti yang dialami Helen Keller. Helen Keller adalah wanita buta dan tuli sejak usia 19 bulan. Dia tidak bisa merasakan musik yang indah tidak bisa merasakan baju yang cantik.
“Dengan keterbatasan itu, dia berjuang hidup dan mampu melihat semua keindahan, meski tidak bisa mendengar, tidak bisa melihat. Helen Adams Keller (27 Juni 1880-1 Juni 1968) adalah seorang penulis, aktivis politik, dan dosen, berkebangsaan Amerika. Dia masuk dalam tokoh 18 orang berpengaruh di seluruh dunia. Dia bisa merasakan dunia ini dengan hatinya. Suka citanya dari hal-hal yang hanya bisa dirasakan dengan hati sangat menginspirasi kita hingga hari ini. Harta yang ditinggalkannya masih dapat saya rasakan malam ini. Dia memiliki harta yang tidak dapat dibeli dengan uang, tidak bisa dirasakan mata, telinga, tetapi hanya bisa dirasakan dengan hati,” tulisnya.
Sekadar tahu Jannerson Girsang lahir di Desa Nagasaribu, Kabupaten Simalungun, Sumut, pada 14 Januari 1961 silam. Sejak 2002, dia telah menulis lebih dari dua puluh buku otobiografi, biografi tokoh-tokoh di Sumut dan asal Sumut, serta beberapa buku sejarah perjalanan lembaga gereja dan universitas di Sumut. Buku otobiografi yang pertama ditulisnya adalah “Bukan Harta Duniawi,” yang diluncurkan pada Oktober 2002. Buku tersebut merupakan otobiografi orang tua dari Prof. Dr. Bungaran Saragih, mantan Menteri Pertanian Republik Indonesia.
Lalu sejak itu, mantan Rektor Universitas Simalungun, pengurus di berbagai Yayasan Gereja dan terakhir di Yayasan Universitas HKBP Nomensen ini, menulis beberapa tokoh penting gereja dan pemerintahan di Sumatera Utara, di antaranya “Anugerah Tuhan yang Tak Terhingga” (Biografi Pdt. Dr. Armencius Munthe, M.Th, mantan Ephorus Sinode GKPS), “Hanya Oleh Anugerahnya” (Otobiografi Pdt. Prof. Dr. Sutan Hutagalung, mantan Sekjen Sinode GKPI), Hanya Oleh KasihNya (otobiografi Pdt. H.M. Girsang, mantan Sekjen GKPS), “Berkarya di Tengah Gelombang” (biografi Drs. Rudolf Pardede, mantan Gubernur Sumatera Utara), “Tuhan Adalah Gembalaku” (otobiografi Lundu Panjaitan, S.H., mantan Wakil Gubernur Sumatera Utara), “Gagal Menjadi Dokter, Jadi Jaksa” (otobiografi TSH Sidabutar, S.H., mantan Kajati Papua), “Berbicaralah Tuhan HambaMu Mendengarkan” (otobiografi Kol. J.P. Silitonga, mantan Bupati Simalungun) dan lain-lain.
Jannerson Girsang pun aktif menulis di berbagai media cetak di Medan, seperti di harian Analisa, Medan Bisnis, Sinar Indonesia Baru dan Jurnal Asia. Juga aktif menyampaikan materi pada berbagai training penulisan bagi wartawan harian lokal di Sumut, pers kampus, dan dewan juri pada penulisan cerita rakyat yang diselenggarakan Badan Perpusatkaan Pemprov Sumut. Menurutnya, menulis adalah pelayanan. Melalui blognya: http//www.harangan-sitora.blogspot.com dan akun facebooknya: Jannerson Girsang, setiap hari ia menyajikan artikel dari berbagai topik untuk dinikmati ribuan pengunjungnya. Ayah empat orang anak dan kakek tiga orang cucu ini (Juandra Yasin Saragih, Ceiliin Saragih, dan Javier Marck Simanjuntak), saat ini menjabat Ketua Dewan Pengawas Yayasan Pendidikan GKPS.