Narwastu.id – Di era disruption ini sering sekali muncul istilah industri 4.0, istilah baru dalam dunia bisnis dan dimaknai sebagai dunia baru yang penuh persaingan kecerdasan yang diiringi modernisasi teknologi. Pada awal abad 20 terjadinya modernisasi dengan produksi massal dalam assembly line di pabrik mobil menggunakan Aplikasi Scientific Management dari Frederick W. Taylor. Kompetisi dunia terus berlanjut pada tahun 1960 pabrikan melakukan otomasi dan robotisasi, produksi massal dengan kualitas tinggi menggunakan Programmable Logic Controller yang pada gilirannya menjadikan proses produksi cepat dan murah.
Industri 4.0 membawa pembaharuan dengan mass personalization, melakukan optimalisasi semua resources, industri berubah seperti memainkan suatu orkestra didukung oleh teknologi internet of things, cloud computing, big data analytics, 3 D printing, artificial intelligence termasuk teknologi robot yang semakin cerdas. Memasuki industri 4.0 tidak sekadar investasi teknologi cerdas dengan inovasi di luar nalar saja, melainkan pasar tercipta, penawaran dan permintaan yang tepat. Persoalan muncul tatkala kompetitor lebih cerdas dan kebutuhan konsumen berubah, maka munculah ketidakpastian dalam bisnis. Perubahan terus menerus inilah perlu dikelola oleh SDM unggul.
Perubahan dalam Dunia Sekuler Berdampak pada Gereja
Disruption turut mempengaruhi dunia kerohanian, khususnya gereja di Indonesia. Otomasi, efisiensi, aplikasi, bonus demografi mengubah pola dan model bisnis yang selama ini dinikmati, perubahan besar mengakibatkan pergeseran preferensi (pilihan) milenial dan membentuk perilaku baru. Bagi kalangan Baby Boomers dan Gen-X tetap setia melakukan hal yang rutin, seperti ke kantor maupun ibadah gereja, berbeda dengan kaum milenial yang menuntut fleksibitas bekerja, lebih menyukai remote working dan mengejar pengalaman dan mengkonsumsi leisure dengan nongkrong di warung kopi, menikmati goggling, dine-out, cuci mata menjadikan mall ramai tanpa belanja apapun.
Ternyata tuntutan mereka kepada gereja juga sama, mereka merasakan gereja merupakan sesuatu yang menjemukan. Liturgi yang dilakukan setiap minggu terasa membosankan dan tidak menemukan esensi bergereja. Salahkah kaum milenial? Tentu saja sulit memastikannya, zaman menuntut perubahan. Sampai kaum Gen-Y masih banyak yang membawa Alkitab saat ibadah tetapi saat ini aplikasi di gadget mengubah pola dan cara, semua ada dalam genggaman. Alkitab tidak lagi dalam bentuk buku tebal, cukup membawa handphone.
Hanya itukah perubahannya? Ternyata gereja perlu menyesuaikan banyak hal, gereja tidak sekadar ibadah saja, di samping itu berbagai kegiatan yang mendukung yang perlu pembaharuan. Dalam ibadah perlu event organizer yang mengorkestrasi kegiatan dari awal hingga akhir. Walaupun seakan kegiatan rutin mingguan, Industri gereja 4.0 harus mengawal persiapan Team Praise & Worship mulai dari penampilan, pilihan lagu, harmonisasi hingga suara dan daya tarik orang di panggung yang menawan. Pemain musik yang mahir disertai peralatan modern dan canggih yang menghasilkan suara enak di telinga dipadukan dengan aktivasi multimedia dengan big screen LED disertai lighting yang dinamis mengikuti alunan musik yang membawa suasana hidup dan menjadikan kaum milenial betah di gereja.
Setelah itu memasuki sesi khotbah, bagian ini juga harus menjadi perhatian, pembicara yang suka melawak bisa saja dianggap aneh, atau pembicara yang lebih mengarah ke motivasi bisa dianggap membosankan, atau kupasan teologi terlalu dangkal dianggap tidak mutu, tetapi khotbah seperti pelajaran teologi di kampus dianggap kurang pas. Pembicara sebagai pengkhotbah harus memiliki komunikasi antarpersonal yang bisa menarik minat. Walaupun tidak dari sekolah teologi, kaum milenial sangat kritis terhadap kupasan Firman Tuhan yang disampaikan, pada saat yang sama bisa saja mereka melakukan googling terhadap pokok bahasan, maka penilaian demi penilaian terhadap bagian khotbah. Sehingga peranan gembala menjadi sangat penting dalam meracik seluruh kegiatan ibadah yang inovatif dan membangkitkan semangat.
Pengalaman Terjadi Perjumpaan Dengan Tuhan Yesus
Sebagaimana industri akan menghasilkan suatu produk jadi, demikian pula Industri Gereja 4.0 haruslah menghasilkan jiwa-jiwa petobat baru. Suatu produk biasanya disertai dengan services dan ketersediaan suku cadang maka di Indusrti Gereja 4.0 juga harus mempersiapkan hal yang sama. Ke gereja tidak sekadar beribadah memenuhi kewajiban, melainkan menghasilkan pengalaman terjadi perjumpaan dengan Tuhan Yesus. Pengalaman ini menjadi penting, jika kita melihat industri perbankan, Customer Experience dimulai dari ketersediaan tempat parkir dan petugasnya, meeters & Greeters yang berkelas seperti pelayanan di SQ, kenyamanan ruangan, premises yang sejuk dan nyaman.
Cukupkah industri perbankan memberikan pengalaman menarik bagi nasabah? Jawabannya belum, nasabah membutuhkan produk-produk yang menghasilkan bunga tinggi, return yang maksimal dan tentunya ketersediaan sophisticated product wealth management, dan seterusnya. Demikian pula Industri Gereja 4.0 selain khotbah yang membangun dan memulihkan jiwa, jemaat memerlukan pelayanan yang sophisticated dalam bentuk konseling, pelayanan yang touching spirit, kelompok sel, consolation & prayer dan berbagai program yang menjawab kebutuhan secara holistik.
Gereja tidak saja seperti bengkel yang melakukan perbaikan, melainkan suatu pengalaman berproses yang ditangani oleh pelayan yang terlatih, edukatif dan memiliki integritas tinggi. Jemaat menemukan bapak dalam gereja sekaligus menemukan jatidiri dan panggilan rohaninya sebagai seorang Kristen. Tuntutan Industri Gereja 4.0 tidaklah merubah kiblat orang menyembah kepada Tuhan Yesus, justru memperkuat pengalaman rohani sebagai seorang Kristen. Sehingga memiliki kemampuan bercerita pengalaman rohaninya kepada orang lain dan membangun semangat agar orang percaya kepada Tuhan Yesus.
* Penulis adalah Sekretaris Umum PGLII DKI Jakarta dan Fasilitator My Home Indonesia.