Narwastu.id – Siapa sangka perempuan Batak kelahiran Jakarta, 29 Oktober 1960 ini adalah aktivis gereja. Keluarganya kini beribadah di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Kedoya, Jakarta Barat. Dan istri tercinta Johanes B. Kandio dan ibu satu anak ini sering ikut dalam kegiatan-kegiatan pelayanan gerejanya, termasuk ikut menjadi panitia, seperti di acara Paskah, kegiatan sosial, bahkan mereka pernah mendatangi rumah sakit jiwa untuk menjangkau orang-orang yang kurang beruntung. “Hidup ini harus menjadi berkat,” kata Dr. Ir. Asye Berti Saulina Siregar, M.A. saat berkunjung ke kantor Majalah NARWASTU bersama timnya pada Selasa sore, 8 Oktober 2019 lalu. Selain itu, selama ini Asye giat membantu warga di pedesaan atau pedalaman, seperti Papua dan sejumlah daerah di Sumatera, dengan mengirim buku-buku bacaan. Tujuannya untuk pencerdasan anak-anak atau orang-orang di pedesaan. “Saya lihat anak saya senang sekali membaca, dan mendapatkan bukunya pun gampang. Makanya saya tersentuh melihat saudara-saudara kita di pedalaman agar bisa membaca buku-buku berbobot. Sehingga saya kirimi buku-buku bacaan, baik buku cerita anak-anak, buku rohani maupun buku-buku yang mendidik,” cetus perempuan lulusan S1 dari Universitas Trisakti, Jakarta, dan S3 dari STT IKAT, Jakarta, ini.
Sebagai pengusaha minyak, Asye mengatakan, ia terpanggil kuliah di sekolah tinggi teologi (STT) karena bersyukur atas kebaikan Tuhan di dalam kehidupan keluarganya. “Selama 30 tahun ini kami sudah merasakan banyak berkat Tuhan dari usaha perminyakan. Dan sekarang kita berbagilah pada orang lain. Saya tidak bisa berkhotbah, makanya saya melayani banyak orang lewat media film, seperti film bernafaskan Batak ‘Horas Amang.’ Saya lihat film itu punya roh, yakni hati bapa yang peduli pada kehidupan dan masa depan anak-anaknya. Di situ digambarkan hati bapak yang mengampuni anak-anaknya dan seorang bapak yang ingin anak-anaknya agar hidup dengan nilai-nilai moral. Juga bapak di cerita film itu ingin anak-anaknya supaya rendah hati. Karena orang Batak itu, kan, ada yang merasa dirinya ‘raja’ dan sulit merendahkan hati, dan lewat film ini disentuh agar rendah hati, terutama rendah hati pada orang tua. Pesan dalam film ini agar keluarga itu selalu hidup damai dan rukun, makanya harus ada selalu kasih dan kerendahan hati. Meskipun dalam film ini tak ada ayat-ayat Kitab Suci atau atribut-atribut agama, namun pesan-pesan dalam film itu semua jelas ajaran kasih. Dan ajaran Yesus pada kita adalah kasih,” ujarnya.
Film “Horas Amang Tiga Bulan Untuk Selamanya” digarap selama 30 hari, dan lokasi shootingnya di kawasan Tangerang (Banten), Jakarta, Gunung Putri (Bogor, Jawa Barat), serta Sipisopiso dan Haranggaol, Sumatera Utara. Film ini berbiaya lebih dari Rp 5 miliar, dan banyak dipuji khalayak ramai, terutama orang Batak dan diacungi jempol oleh sejumlah kritikus film. Pasalnya, di dalam film ini ada pesan-pesan moral, pesan-pesan kehidupan, kritik sosial dan pesan-pesan budaya yang terasa menyentuh pada masyarakat luas. Menurut Asye, tahun 2016 lalu ia pertama kali menonton cerita “Horas Amang…” dalam panggung teater di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dengan durasi waktu 4,5 jam. Dan di situ Asye melihat film itu punya keunikan, dan punya nilai-nilai kasih dan pesan-pesan moral. Akhirnya ia memutuskan untuk mengangkat cerita di teater tersebut ke layar perak setelah berbicara panjang lebar dengan sejumlah pakar perfilman, termasuk dengan sutradara Steve Wantania.
Menurut Asye, film ini diharapkannya sejak awal supaya bisa menjadi berkat bagi banyak orang. “Untuk menyampaikan pesan-pesan moral atau kalau kita ingin mengedukasi anak-anak muda sekarang tak cukup hanya dengan lisan, tapi sangat efektif lewat media film. Melalui cerita di film ini kita harapkan supaya anak-anak menghormati orangtuanya, dan menjaga keutuhan keluarga, karena keluarga itu nomor satu dalam kehidupan. Karena jika keluarga berantakan, maka generasi mudanya pun akan berantakan,” paparnya.
Menurut Asye, agar film yang diproduserinya ini ditonton banyak orang Batak, khususnya di Sumatera Utara, ia pun sampai mendatangi ephorus-ephorus (pimpinan) gereja-gereja etnis Batak agar mengimbau jemaatnya lewat warta jemaat gereja masing-masing supaya menonton film ini. Tak hanya itu, tokoh-tokoh Batak dan pemuka-pemuka marga Batak di DKI Jakarta pun diimbaunya lewat group WA supaya mengajak anggota atau saudaranya untuk menonton film ini. Termasuk seorang tokoh penting di pemerintahan, yang juga tokoh masyarakat Batak sudah didatanginya agar bisa mengimbau orang Batak menonton film ini.
“Saya hanya bisa berupaya keras, termasuk mempromosikan kepada tokoh-tokoh Batak dan para pimpinan gereja agar mengimbau orang Batak menonton film ini, dan berdoa agar Tuhan campur tangan. Dan memang banyak kemudahan yang kami rasakan saat film ini sudah selesai digarap,” terangnya. Menurut Asye, setelah film “Horas Amang” ramai diputar di bioskop-bioskop ibukota RI dan sejumlah kota-kota di Tanah Air, ia pun masih berupaya membawa film “Horas Amang” ini ke sejumlah kota di Sumatera Utara agar ditonton masyarakat di sana. Acara nonton bareng ini, akan diisi juga dengan acara seminar tentang bahaya narkoba, pornografi, media, keluarga dan manajemen keuangan. Karena ini penting bagi keluarga-keluarga. Dan untuk merealisasikan ide ini Asye telah berbicara dengan sejumlah kepala daerah agar misi mulia ini bisa berjalan dengan baik dan lancar.
Berbicara mengenai pemain utama film “Horas Amang”, yakni Cok Simbara, Asye menerangkan, sejak awal ia sudah memilih aktor senior itu sebagai pemeran amang (Bapak), karena Cok Simbara pernah berada di kampung halaman, Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Cok Simbara yang menganut Islam juga sudah terbiasa bergaul dengan berbagai lapisan sosial masyarakat dan agama, sehingga ia sangat cocok untuk menjadi pemeran utama di film ini.
Di film ini, katanya, ada pula pemainnya orang dari etnis Simalungun, Karo, Dayak dan Papua, sehingga beragam suku dilibatkan ikut main. Media film, menurut Asye, sesungguhnya sangat efektif untuk menyampaikan pesan-pesan kehidupan. Asye juga mengimbau agar gereja-gereja jangan hanya beraktivitas Hari Minggu saat ada kebaktian, tapi juga setiap hari mestinya dibuka agar anak-anak dan keluarga-keluarga bisa mendengarkan firman Tuhan di situ. Firman Tuhan itulah yang menuntun kehidupan kita di tengah dunia yang semakin banyak tantangan.
Sedangkan Steve Wantania, sutradara merangkap produser pelaksana film “Horas Amang” saat berbicara tentang film ini di kantor Redaksi Majalah NARWASTU, mengatakan, setelah film ini ditayangkan di bioskop-bioskop DKI Jakarta dan sekitarnya, ada banyak respons yamg positif dan ada banyak penontonnya yang terharu. “Dari komentar-komentar yang kami terima di group-group WA dan media sosial, respons cukup luar biasa. Misalnya, saat keluar dari bioskop matanya sembab karena meneteskan air mata. Juga ada anak yang menonton film ini tadinya tak berbicara dengan orangtuanya, kemudian menelepon orangtuanya. Juga ada anak yang mendatangi orangtuanya setelah menonton film ini. Jadi keluarga-keluarga, terutama keluarga Kristen sangat penting menonton film ini,” ujarnya. Steve Wantania juga menilai peran Asye dalam film ini luar biasa. Dan Asye dinilainya giat melayani, dan selalu berupaya agar anak-anak muda tidak jauh dari orangtuanya.
Asye Berti Saulina pun menambahkan, dalam waktu dekat ada pula rencananya untuk menggarap film sejenis yang temanya mengenai kerukunan, kedamaian dan toleransi. Apalagi di negeri ini sering orang berkonflik karena berbeda keyakinan. Jadi, ujarnya, cerita-cerita tentang kebersamaan dan perdamaian serta toleransi harus kita angkat melalui media film. “Kita harus berbuat sesuatu bagi bangsa ini agar keluarga-keluarga di negeri ini hidup damai dan rukun. Kita jangan bosan menyampaikan pesan-pesan damai. Seperti di Manado, Sulawesi Utara, bisa umat beragama hidup damai, dan ada mesjid berdiri di sana. Kerukunan seperti ini mesti diangkat,” paparnya. GH