Narwastu.id – Nama yang diberikan sang ayah A.A. Paat kepadanya adalah Erick Samuel Paat, S.H. Nilai-nilai kejujuran ia dapatkan dari bapaknya yang seorang pensiunan polisi. “Beliau aparat sederhana dan keras. Ayah saya seorang yang mengajarkan hidup dengan sepatutnya hidup,” katanya. Berdarah campuran Manado, Dayak dan Tionghoa Bangka ia mengatakan, berjubel pengajaran bapaknya yang pekat mewarnai cara pandangnya terhadap hidup sebagai anak Tuhan.
Kalau bicara hukum dengan pria kelahiran Banjarmasin, 30 Januari 1959 ini, akan diresponsnya antusias. Namun ia juga merasa sedih kalau tak dikatakan pesimistis terhadap penegakan hukum di Indonesia. “Kalau melihat penegakan hukum, kita pesimis. Nyatanya orang-orang yang mengerti hukum, penegak hukumlah yang bermain-main demi hukum. Yang salah bisa benar dan yang benar bisa disalahkan,” cetus pejuang HAM ini.
Tentu dia bukan sosok asing dalam belantara hukum Indonesia. Namanya berderit-derit disebut seorang pengacara/advokat yang gigih, dan pantang menyuap demi memenangkan sebuah perkara yang ditanganinya. Tak heran, bila pengacara yang satu ini selalu tampil bersahaja. Bahkan, dirinya tak begitu disukai para panitera dan hakim di pengadilan karena dianggap kere, dan tak mau memberi uang pelicin.
“Saya sudah tetapkan diri, tak mau bermain-main dengan hukum. Lebih baik saya tak punya klien kalau disuruh menyuap. Kalau klien saya mengajari saya menyuap agar memenangkan perkaranya, saya langsung katakan, saya tak bisa membantu kasus Anda, saya mundur,” tegasnya. Pengalaman itu beberapa kali dialaminya.
Keras dan tak mengenal kompromi, itulah watak pria pengagum Yap Tian Hiem ini. “Jangan pakai saya sebagai pengacara Anda jika ingin menang, tapi jika saudara merasa cukup puas menemukan kebenaran perkara itu, maka saya siap menjadi pembela Anda. Ini ungkapan Om Yap yang selalu saya katakan jika klien datang pada saya,” ucap Erick. Di balik sikap tegasnya ketika berbicara soal penegakan hukum ia pun seorang yang sederhana dan menghargai orang lain.
Pengalamannya selama berpraktik sebagai pengacara, Erick kerap mendapat teror dan intimidasi. Bahkan, pengalaman itu dirasakannya sejak menjadi pengacara dalam kasus 27 Juli 1996 (TPDI) bersama R.O. Tambunan, Trimedya Panjaitan, Sugeng Teguh Santoso, Petrus Salestinus dan lainnya, termasuk perseteruannya dengan Menteri Hukum dan HAM, Dr. Hamid Awaluddin, S.H. ketika menangani kasus korupsi di KPU.
Pengalaman lain, ada-ada saja memang calon klien, oleh karena merasa punya uang, sok mau mengaturnya. “Saya bukan orang suci, tetapi saya tak boleh disuruh-suruh klien untuk menyuap,” terangnya. Pengalamannya banyak pula klien yang datang mengarahkannya untuk bermain suap. Namun itulah konsekuensi dari pilihan hidup, menjadi pengacara yang konsisten pada jalurnya. “Tak disukai banyak orang,” paparnya. Baginya, lebih baik mengundurkan diri sebagai kuasa hukum ketimbang dipaksa menyuap aparat hukum oleh calon kliennya.
Dulu sebenarnya saat masa kanak-kanak ia ingin menjadi pendeta. Tetapi, karena menjadi pendeta, baginya berat, maka dipilihnya menjadi pengacara, yang juga punya esensi keberimanan, membela orang yang sedang tersudutkan. “Saya bangga menjadi seorang pengacara yang bekerja secara professional, sesuai ilmu yang saya miliki,” ujar bapak satu anak ini.
Di matanya, profesi pengacara tak kalah dengan menjadi pendeta. Pengacara pun bisa mulia dan terhormat sehingga dia berusaha keras untuk tetap menjaga citra dan kewibawaan profesi sebagai pengacara yang teguh pada prinsip kebenaran. ”Saya takut pada Tuhan. Saya percaya kalau aparat hukum menjalankan profesinya dengan benar, dan percaya bahwa Tuhan melihat apa yang dilakukannya, saya kira penegakan hukum di Indonesia ada harapan,” ujarnya.
Dia memulai kariernya tahun 1991 di Pos Bantuan Hukum (Posbakum) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Beberapa tahun bergulat di ranah ini, dia kemudian membuka Kantor Hukum Erick S. Paat & Rekan. Saat ini berkantor di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, sepelemparan batu dari tugu proklamator, itu. Rona-rona kehidupan sebagai pengacara yang bagi segelintir orang mewah, sesungguhnya berkebalikan dengan pengalamannya.
“Umumnya kita telah diracuni pemikiran orang-orang yang pragmatis. Kalau orang yang berhasil itu selalu dikategorikan punya mobil mewah. Padahal keberhasilan sejati adalah ketika bisa menjalankan profesinya dengan jujur dan benar. Profesinya membawa kemanfaatan bagi orang lain” pungkasnya. Menjalankan profesi pengacara dengan benar, bukan hanya materi kering, tapi orang-orang yang pragmatis umumnya tak suka pada pengacara seperti dirinya. Dan ia pun pengacara yang teguh berpegangan pada isi Alkitab dalam menangani perkara yang ditanganinya.
Alumni Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, ini di awal membuka kantor pengacara, sempat terlibat di Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) yang mengadvokasi kasus penyerangan Kantor PDI di Jalan Diponegoro No 58, Jakarta Pusat, pada 27 Juli 1996 silam. Dia pun pernah menjadi kuasa hukum anggota DPR-RI dari PDIP, Emir Moeis. Baginya, sebagai pengacara mesti mengacu pada asas praduga tak bersalah. “Pengacara itu bertugas mengawal hak hukum kliennya. Jangan kliennya dijadikan korban politik,” tukasnya. Dan penenang jiwanya sebagai pengacara adalah membaca Alkitab. Ia selalu telaten menggali isi dari Firman Tuhan. “Saya merasakan kedahagaan iman terpuaskan, jikalau kita senantiasa mensyukuri kehidupan yang diberiNya. Saya selalu merasakan kesegaran yang baru setiap ada kepenatan hidup, bahwa hanya bersama Tuhanlah kita tenang,” cetusnya.